Sebenarnya gadis kecil berambut pirang sepinggang itu tidak terlalu menyukai tomat. Hanya saja neneknya bekerja di perkebunan tomat seorang bangsawan di desa mereka, dan dia membantunya. Hingga mereka sering makan sup tomat yang dimasak oleh nenek. Sup tomat sangat enak, sangat cocok di lidahnya. Rasanya sangat berbeda dengan tomat segar, lebih manis dan terasa meleleh saat di dalam mulutnya. Awalnya dia juga kurang menyukai sup tomat. Namun, Nenek tepat menyajikannya sebagai menu makan malam mereka setiap malamnya. Lama-kelamaan dia terbiasa, dan tidak masalah dengan menu sup tomat. Bahkan rasanya akan terasa ada yang kurang jika menu itu tidak terlihat di atas meja makan saat makan malam.
Beatrice Llyod sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Sejak berumur satu bulan, dia sudah ditinggalkan Ibu kandungnya, dan tinggal bersama neneknya. Mereka hidup dalam serba kekurangan dalam segala hal. Neneknya sudah tua, tidak bisa bekerja terlalu berat lagi seperti halnya para anak muda. Tidak ada lagi tempat yang mau menerima neneknya bekerja, dengan alasan usianya sudah terlalu tua –bukan usia produktif. Hanya perkebunan tomat milik salah satu bangsawan ini saja yang mau menerima neneknya bekerja. Oleh karena itu, mereka sangat mensyukurinya. Beatrice juga sebenarnya ingin bekerja bersama nenek, tapi tidak ada yang mau menerima anak kecil sebagai salah satu pekerja di perkebunan atau di mana pun. Mereka semua takut pada peraturan yang dibuat oleh istana.
Beatrice selalu berpikir jika peraturan istana itu memang benar dan adil. Raja Namira sangat melindungi rakyatnya. Yang salah dan tidak adil adalah ibunya. Nenek memang tidak pernah menyinggung mengenai ibunya, tetapi setiap malam nenek selalu meratapi kepergian Ibu yang tidak pernah kembali. Nenek selalu berkata bahwa ibunya adalah seorang wanita kejam yang tidak memiliki perasaan. Semua Ibu di dunia menyayangi anaknya, hanya ibunya yang tidak menyayanginya. Ibunya lebih memilih untuk mengasuh pangeran Alexant ketimbang dirinya, putrinya sendiri. Hidup memang tidak selalu adil. Itu adalah kata-kata yang selalu dikatakan nenek di akhir sesi bicara seorang dirinya.
Iya, itu yang dipikirkan nenek, beliau selalu berbicara seorang diri. Padahal kenyataannya tidak, Beatrice selalu mendengarnya, dan selalu mengucurkan air mata. Apalagi jika nenek berbicara sambil mengusap rambutnya yang berpura-pura tertidur, dia tidak dapat menahan deras air matanya. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti semua yang dikatakan nenek, hanya hal-hal lumrah saja yang dipahaminya, tapi dadanya selalu terasa sakit dan sesak setiap kali mendengar nenek meratap. Di dalam hati, Beatrice selalu berdoa semoga dia cepat dewasa agar bisa bekerja menggantikan Nenek dan mencukupi kebutuhan mereka. Sup tomat memang enak, tapi terkadang dia bosan. Dia juga ingin merasakan memakan daging domba seperti anak yang lainnya.
Anak-anak bangsawan itu memang tidak berteman dengannya, mereka terlalu sombong dan angkuh untuk berteman dengan gadis yang berasal dari derajat yang lebih rendah dari mereka. Dia hanyalah rakyat biasa, perbedaan mereka terlalu jauh. Jangan para anak bangsawan, anak-anak tetangga yang berasal dari rakyat jelata seperti mereka pun juga tak ada yang mau menemaninya. Mereka selalu mengolok dan menghinanya, selalu mengatakan semua yang jelek-jelek tentang ibunya. Beatrice tidak pernah menyalahkan mereka tentang itu, semua yang mereka katakan merupakan sebuah kenyataan. Dia adalah anak yang terbuang, anak yang tidak diinginkan oleh ibu kandungnya sendiri. Ibunya lebih memilih untuk tinggal di istana daripada tinggal di gubuk reyot bersama dia dan neneknya.
Beatrice tidak pernah marah, tidak pernah mengambil hati atas perkataan mereka. Dia tidak peduli dengan ibunya, tidak pernah melihat apalagi mengenalnya, dia juga tidak menyayanginya. Baginya, ibunya adalah sesuatu yang tak pernah ada, sebuah mitos yang keberadaannya masih diragukan. Dia tidak memerlukan ibunya, hidupnya dan neneknya sangat bahagia, meskipun mereka hidup dalam kekurangan. Dia tidak membutuhkan orang lain lagi di dalam hidupnya. Yang dia perlukan saat ini adalah dirinya cepat besar dan dewasa. Dia ingin bekerja agar Nenek bisa istirahat di rumah.
"Makanlah yang banyak, Beatrice. Bukankah kau ingin cepat besar?"
Beatrice sudah hafal kata-kata yang dilontarkan Nenek setiap kali membujuknya untuk makan lebih banyak. Biasanya Nenek akan melakukannya jika dia tidak menghabiskan makan malamnya. Separuh dari isi mangkuk kecil itu sudah berpindah ke dalam perutnya, dan rasanya itu sudah cukup banyak. Perut kecilnya tidak dapat menampung sup tomat alam jumlah banyak lagi, bisa-bisa dia akan memuntahkannya. Sekarang saja perutnya terasa sangat penuh. Bukan karena dia sudah memakan makanan lain sebelum mereka makan malam, dia hanya bosan. Selalu memakan sup tomat dalam waktu satu tahun terakhir ini tanpa selingan makanan yang lainnya, siapa pun pasti akan merasakan hal yang sama dengannya.
Beatrice tidak pernah memilih makanan untuk mengisi perutnya. Dia selalu memakan apa pun yang disediakan Nenek. Hanya sekali-sekali saja dia merasakan kebosanan seperti sekarang ini. Sudah terlalu lama Nenek tidak memasak menu makanan lain. Tidak ada tambahan makan lain dalam setiap makan mereka, hanya sup tomat saja dalam satu bulan ini. Kata Nenek, persediaan mereka sudah menipis sehingga mereka harus berhemat. Upah yang diberikan oleh bangsawan pemilik perkebunan tomat tidak lagi mencukupi. Segala macam kebutuhan hidup semakin besar dan membutuhkan lebih banyak biaya, sementara upah Nenek tetap seperti itu saja karena Nenek tidak bisa menambah berat untuk setiap keranjang tomat yang diangkutnya. Seandainya saja Nenek bisa pastilah upahnya semakin bertambah.
"Perutku sudah penuh, Nenek." Beatrice tersenyum. Dia tak ingin mengecewakan Nenek, apalagi sampai membuatnya kesal dan bersedih. Jadi, sedapat mungkin dia akan selalu tersenyum meskipun di waktu yang tidak tepat. "Aku takut akan memuntahkannya jika terus makan."
"Benarkah?" tanya Imelda ragu. Bukannya tidak memercayai perkataan cucunya, tapi memang dia merasa Beatrice sedang menutupi sesuatu. Mungkin Beatrice bosan selalu menyantap sup tomat, tapi dia tak ingin mengatakannya karena tak ingin membuatnya sedih. Satu bulan terakhir hanya sup tomat saja yang bisa dimasaknya, tidak ada yang lain. Mereka hanya memberikan sedikit upah ditambah beberapa biji buah tomat segar setiap harinya. Buah tomat itu harus dimasak jika tidak ingin jadi busuk keesokan hari. Imelda juga tersenyum, dia tak ingin cucunya juga merasa sedih. Beatrice harus gembira.
Beatrice mengangguk. Dia menunjukkan perut ratanya sambil mengusapnya.
Tawa kecil meluncur dari bibir Imelda. Cucunya sangat pandai menghiburnya. "Besok nenek akan membeli roti untuk makan malam kita."
Yang paling membuat Imelda bahagia adalah melihat senyum manis di wajah cantik cucunya. Seperti yang sekarang tersaji di depannya. Beatrice menuruni kecantikan Selena. Rambut pirang dan bentuk wajahnya, meskipun tidak dapat dipungkiri Beatrice mirip dengan ayahnya, tetapi dia mewarisi kecantikan ibunya.
"Terima kasih, Nenek!" Mendengar kata roti, Beatrice jadi bersemangat. Entah sudah berapa lama dia tidak merasakan kelembutan roti di dalam mulutnya. Besok Nenek akan membelinya dan dia bisa merasakannya lagi. Tentu saja dia sangat gembira. Beatrice bangun dari duduknya, menghampiri Nenek, dan memeluknya. Di dalam hati dia berjanji akan membuat hidup mereka lebih baik lagi jika dia dewasa nanti. Itu adalah impiannya, membahagiakan Nenek dan memperbaiki kehidupan mereka.
***
"Selamat malam, Yang Mulia, selamat tidur." Selena mengecup kening Alexant setelah mengusap rambutnya. Dia menarik selimut Alexant, menutupi tubuhnya sampai sebatas d**a. "Tidurlah yang nyenyak." Selena tersenyum kemudian mematikan lampu dan meninggalkan kamar itu, menutupnya dengan hati-hati.
Alexant membuka mata, dengan kasar menyibakkan selimut. Bukannya ia tidak menghargai apa yang dilakukan Selena, akan tetapi ia merasa akan mengkhianati ibunya yang sudah meninggal jika bersikap lebih baik pada Selena. Alexant turun dari tempat tidur, melangkah menuju balkon. Malam ini cuacanya sangat bagus. Langit cerah, bintang bertaburan dengan indahnya. Alexant menumpukan kedua siku pada pagar balkon, kepalanya sedikit terangkat menatap langit kelam bertabur bintang. Senyum menghiasi wajah tampan anak laki-laki berusia sebelas tahun itu. Bintang-bintang itu membentuk wajah Crystal yang sedang tersenyum manis.
Sudah lebih dari satu tahun mereka tidak bertemu. Ulang tahun Raja Henry sudah lewat beberapa bulan yang lalu, tanpa perayaan besar-besaran seperti tahun sebelumnya. Ulang tahun keempat puluh enam ayahnya hanya dirayakan secara sederhana dengan makan malam keluarga –mereka hanya meratakannya berdua– di dalam kamar Sang Ayah. Kesehatan raja yang belum membaik menjadi alasan utama tidak dirasakannya pesta. Alexant memahaminya, tak mungkin ia memaksa untuk merayakan sebuah pesta di tengah kesakitan ayahnya. Rasanya sangat keterlaluan. Lagipula, pesta itu untuk ayahnya. Ayahnya yang berulang tahun, bukan dirinya ataupun orang lain.
Embusan angin tidak terlalu kencang, tapi lumayan terasa dingin di kulit. Alexant mengusap lengannya beberapa kali mengusir dingin. Wajahnya masih mendongak, tapi tak ada lagi senyum di sana. Ia terlalu merindukan Crystal, sangat ingin bertemu dengannya sampai-sampai selalu bermimpi bertemu dengannya. Rasanya sudah tak sabar menunggu dirinya dewasa, ia ingin cepat-cepat bertemu. Rasa takut dan was-was jika Crystal melupakannya sering dirasakannya membuatnya semakin ingin bertemu. Bagaiman jika Crystal juga dekat dengan anak laki-laki di daerahnya? Bagaimana jika mereka juga berjanji untuk menikah kelak dewasa? Ia tidak akan membiarkannya. Crystal adalah miliknya. Hanya ia yang bisa dan pantas menikahinya.
Kepala abu-abu Alexant perlahan tertunduk. Seandainya saja bisa, ia ingin mengunjungi keluarga Mars di Rainbow Hill. Namun, itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Mereka, para orang dewasa itu, melarangnya untuk keluar istana tanpa pengawasan. Tidak ada satu pun dari mereka yang akan memberikan izin untuknya meninggalkan istana. Padahal ia hanya akan pergi sebentar saja. Ia hanya ingin bertemu Crystal dan akan pulang keesokan harinya. Namun, tidak ada yang mau mengerti, tidak ada yang mau mendengar perkataan seorang anak kecil. Meskipun ia.seorang pangeran dan mereka menghormatinya, mereka juga selalu menuruti semua yang ia katakan, tapi tidak untuk keluar istana dalam waktu beberapa hari.
"Kau tahu apa yang kuinginkan saat ini, Crystal?" Alexant kembali mendongak. "Aku sangat ingin bertemu denganmu. Itu mimpiku, itu impianku. Bertemu dan menikah denganmu, menjadikanmu ratuku. Bersama kita akan memimpin Namira."
Mimpi yang sangat indah, impian yang sangat besar, dan Alexant berjanji di dalam hatinya akan mewujudkan semua mimpinya bersama Crystal.
***
Gadis kecil itu membuka matanya yang tadi terpejam setelah mendengar suara pintu yang ditutup. Senyum lebar menghiasi wajah mungilnya. Dia terlalu senang karena akhirnya Mama meninggalkan kamarnya. Sudah beberapa.haru Mama selalu berjaga di samping tempat tidurnya, menungguinya sampai dia tertidur. Setelah itu barulah Mama akan keluar kamarnya. Bibir mungil Crystal mengerucut. Semua tidak akan terjadi seandainya dia tidak ketahuan masih terjaga sampai tengah malam.
Crystal bangun dengan perlahan. Tentu saja agar dia tidak ketahuan. Akan sangat berbahaya jika Mama kembali memergokinya masih belum tidur di jam seperti sekarang. Kemungkinan besar Mama dan Papa akan menghukumnya karena ini. Kedua orang tuanya sangat tepat waktu dalam beberapa hal tertentu. Salah satunya adalah waktu tidur. Mereka akan marah besar jika dia tidak tidur malam tepat waktu. Memang terdengar menyebalkan, tapi mereka melakukan itu demi kebaikannya sendiri. Anak kecil sepertinya tidak boleh tidur terlambat karena akan berakibat buruk pada kesehatannya.
Namun, akhir-akhir ini Crystal sedikit kesulitan memejamkan mata. Seolah saja dia belum mengantuk, padahal terus-terusan menguap. Semua itu disebabkan satu hal. Alexant. Dia sangat ingin kembali ke istana dan bertemu dengannya. Bermain bersama Alexant itu sangat menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan bermain bersama Chloe dan Neil. Yang membedakan hanyalah baik Chloe maupun Neil tidak ada yang membuatkannya mahkota bunga seperti yang diberikan Alexant.
Omong-omong soal mahkota bunga, Crystal melirik sebuah kotak yang berada di atas nakas sebelah kanannya. Dia meletakkannya di sana agar mudah mengambilnya. Kotak yang berukuran lumayan besar untuk seorang gadis kecil berusia delapan tahun sepertinya itu berisi benda yang sangat penting untuknya. Mahkota bunga pemberian Alexant. Tidak ada benda lain di sana, mahkota bunga itu sangat istimewa. Dia memperlakukannya seperti benda berharga. Begitu juga dengan kotak itu. Tidak ada yang boleh menyentuhnya kecuali dirinya. Sentuh saja jika kau ingin kehilangan nyawa. Well, ini hanyalah perumpamaan karena tak mungkin dia bisa melakukannya.
Tangan Crystal terulur meraih kotak itu, meletakkannya di atas pangkuan. Dengan sangat hati-hati dia membukanya, seolah tak ingin terjadi sesuatu pada kotak itu. Mata birunya berbinar melihat mahkota bunga. Di dalam cahaya remang-remang kamar tidurnya, mahkota masih terlihat sangat cantik. Meskipun semua ornamen yang menghabisi sudah mengering, di matanya mahkota itu tetap yang paling cantik. Disebabkan oleh bunga yang sudah mengering itulah dia memegang kotak dengan sangat hati-hati. Dia tak ingin merontokkan bunga yang menghiasi mahkota. Usianya yang sudah satu tahun lebih membuatnya rawan rontok. Itu juga alasan dia tidak pernah mengeluarkannya lagi. Mahkota bunga itu terus menghuni kotak tanpa disentuh sejak beberapa bulan yang lalu.
Crystal menutup kotak dengan kehati-hatian yang sama seperti sebelumnya. Meletakkannya dengan pelan tanpa menimbulkan suara. Kali ini dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengamati mahkota bunganya. Dia akan menggunakan sisa waktu sebelum bisa tidur untuk menyusun rencana bila bertemu Alexant nanti. Mungkin mereka akan bermain di hutan kecil di samping istana, dan dia akan meminta Alexant untuk membuatkannya banyak mahkota bunga.
Impian yang lebih sederhana.