Bab 6. Those Little Girls

2059 Kata
Suasana di pedesaan memang lebih asri dibandingkan di kota. Udaranya sejuk dan masih segar tanpa banyak polusi. Padang rumput dan pohon-pohon besar menghiasi setiap jalan yang dilalui. Pemandangan yang indah dan menyegarkan indra penglihatan. Crystal sudah sejak pagi berada di atas bukit yang terletak di belakang kastil keluarga Mars. Memetik bunga liar yang tumbuh di atas bukit dan menangkap kupu-kupu adalah dua hal yang dilakukannya. Meskipun matahari bersinar cukup terik, dia tak berhenti. Belum ada satu ekor pun kupu-kupu yang berhasil ditangkapnya. Crystal berjalan mengendap-endap, sangat hati-hati. Tangan kanannya memegang jala penangkap serangga, tangan kirinya memegangi gaun yang dipakainya. Dia berusaha agar ujung gaunnya tidak jatuh mengenai rumput yang dilaluinya, tak ingin menimbulkan gerakan berarti yang membuat kupu-kupu buruannya terbang. Seorang anak perempuan seusia dengannya dan seorang bocah laki-laki berlari ingin menghampirinya. Crystal meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, meminta mereka agar diam dan berhenti berlari. Kedua bocah itu menuruti permintaan Crystal. Mereka menghentikan lari mereka beberapa meter di depannya, menatap ke arah yang menjadi fokus tatapannya sejak tadi. Seekor kupu-kupu bersayap kuning dengan motif bintik-bintik hitam di tepi kedua sayapnya hinggap di salah satu tangkai bunga liar berwarna putih. Crystal sudah berusaha untuk menangkap kupu-kupu cantik itu sejak beberapa menit yang lalu, sayangnya selalu gagal. Kupu-kupu itu masih terlalu lincah untuknya. Bibir mungil Crystal mengerucut, kesal karena selalu kalah oleh seekor kupu-kupu kecil. Crystal mengangkat jalanya lebih tinggi dengan perlahan. Dia berusaha melangkah seringan bulu agar tidak mengejutkan kupu-kupu. Dia tak ingin kupu-kupu kuning itu kembali terbang. Dia tak ingin mengejarnya lagi, sudah lelah. Crystal melompat, mengayunkan jalanya dengan cepat ke arah kupu-kupu. Dadanya berdebar begitu kedua kakinya kembali menginjak tanah, napasnya memburu. Crystal mendekat ke arah kupu-kupu, memeriksa jalanya, dan mengembuskan napas kecewa. Dia kembali gagal untuk yang kesekian kalinya. Crystal melemparkan jala jauh-jauh darinya saking kesalnya. Semakin kesal saja ketika mendengar suara tawa yang berasal dari arah samping kanannya. Crystal membelalakkan mata birunya pada Chloe dan Niel, dua orang temannya yang berdiri beberapa meter darinya. "Tertawa saja terus!" ketusnya. Crystal membuang muka, kedua tangannya terlipat di depan d**a. "Maafkan aku, Crys, tapi itu sangat lucu bagiku." Chloe terus tertawa. Sementara Niel berlari untuk mendapatkan jala penangkap serangga yang tadi dilemparkan Crystal. Dia melemparkannya dengan jarak yang cukup jauh bagi seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Niel ingin menangkap belalang. Pasti ia bisa melakukannya, gerakan belalang tak selincah kupu-kupu. "Kau juga pasti akan merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan jika kau sudah mengalami kegagalan yang entah sudah berapa kali!" Crystal menggeram. Mata birunya mengikuti Niel yang sedang mengayunkan jala ke udara. "Rasanya kau ingin menghajar seseorang!" Tawa Chloe berhenti, dia memutar bola matanya kesal. "Terserah kau saja." Ia mengedikkan bahu seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan Crystal. Terkadang perkataannya seperti orang dewasa , membuatnya bingung saja. Seperti sekarang contohnya, katanya ingin menghajar seseorang seolah dia bisa berkelahi saja. Padahal, memukul seekor nyamuk pun dia tidak bisa. "Aku mendapatkannya!" Teriakan Niel membuat dua orang gadis kecil berbeda warna rambut yang masih beradu tatap, menoleh ke arahnya. Keduanya segera menghampiri Neil dengan berlari, mereka penasaran dengan apa yang ditemukannya. "Apa yang kau temukan?" tanya Chloe. Dia seusia Crystal –delapan tahun, berambut cokelat gelap, dan memiliki mata berwarna hijau terang. Ada bintik-bintik kemerahan di sekitar hidungnya yang membuatnya terlihat makin manis. Kedua orang tuanya bekerja di kediaman keluarga Mars. Ibunya sebagai salah satu koki dengan ciri khas masakannya yang gurih. Sedangkan ayahnya bekerja di perkebunan. Dia akrab dengan Crystal sejak mereka berusia empat tahun. "Awas saja jika kau berhasil menangkap kupu-kupu incaranku!" Mata biru Crystal bersinar mengancam. Wajahnya menekuk tidak senang. Neil tersenyum lebar, menunjukkan dua buah guci depannya yang ompong. "Tenang saja, Crys, aku bukan anak perempuan yang menyukai sesuatu yang cantik," katanya seperti orang dewasa. Dia sering mendengar kakak laki-lakinya yang sudah berusia remaja berkata seperti itu. Neil Howard, bocah laki-laki berusia sepuluh tahun. Rambutnya berwarna pirang kecokelatan, mata berwarna biru. Sama seperti Chloe, Neil juga memiliki freckles di sekitar hidungnya. Kedua orang tuanya bekerja sebagai pelayan di kediaman keluarga bangsawan Mars. Neil baru setahun ini berteman dengan kedua gadis kecil yang sedang menatapnya dengan sinar mata yang berbeda. Crystal dengan sinar mata laser, dan Chloe dengan rasa ingin tahunya. "Ayo, Neil, tunjukkan pada kami!" Chloe berseru. Dia sudah tak sabar ingin melihat apa yang ditemukan Neil. Siapa tahu, 'kan, Neil mendapatkan seekor serangga langka yang cantik, atau sesuatu yang lain. Asal jangan tempayak saja. Hewan itu tak hanya menggelikan, tapi juga membuatnya jijik. Tidak ada anak perempuan yang menyukai larva serangga, termasuk dirinya dan Crystal. Neil kembali tersenyum lebar. "Tidakkah kalian ingin menebaknya?" Ia menawarkan. Pertanyaan yang salah karena kedua gadis kecil di depannya kini menatapnya tajam dan kesal. "Oh, baiklah! Kalian ternyata tidak bisa diajak bercanda." Ia melangkah menjauh dari tempat mereka berdiri sekarang, bahunya merosot tanpa semangat. Inilah salah satu alasannya tidak terlalu suka berteman dengan anak perempuan, mereka tidak sabaran. Namun, meskipun tidak terlalu suka, ia tetap berteman dengan Crystal dan Chloe. Anak laki-laki seusianya tidak mau berteman dengannya. Mereka menganggapnya aneh hanya karena ia menyukai serangga. Crystal dan Chloe mengekor di belakang Neil. Mereka berhenti di atas padang bunga yang ditumbuhi rumput tebal. Rumput di sini tidak sepanjang rumput di bagian lainnya. Sisi kanan bukit juga terlihat lebih hijau dari sisi kirinya, makin dipercantik dengan aneka warna. Ketiganya duduk berkeliling membentuk segitiga jika ditarik garis-garis dari setiap mereka. "Kalian siap melihat serangga terbaruku?" tanya Neil penuh semangat. Matanya melirik ke arah Crystal dan Chloe bergantian, kemudian mengangkat kepalan tangan sedikit lebih tinggi dan membukanya perlahan. Awalnya hanya terlihat seperti sepiring ranting berwarna kecokelatan. Kemudian, saat Neil mengangkat tangannya lebih tinggi, mereka melihatnya. Seekor belalang kayu dengan warna cokelat gelap. "Bagaimana, keren, bukan?" Neil bertanya sambil menaik-turunkan alisnya. Ia sangat bangga. Saat Crystal tidak berhasil menangkap kupu-kupu yang sudah beberapa hari ini diincarnya, ia justru berhasil menangkap serangga kesukaannya. Belalang ini sudah lama diincarnya untuk melengkapi koleksi belalang di rumahnya. Ia memang memiliki hobi yang cukup unik, mengumpulkan belalang yang menjadi hama di perkebunan. "Biasa saja," sahut Crystal tak tertarik. Dia tidak terlalu menyukai belalang. Kupu-kupu jauh lebih cantik, di matanya. "Benar." Chloe menyetujui perkataan Crystal. Kepala berambut cokelatnya mengangguk. "Namun, ini masih lebih baik dibandingkan tempayak yang waktu itu." "Astaga!" Crystal menggeliat jijik. "Jangan mengingatkanku dengan hewan itu!" pintanya sambil menggelengkan kepala. "Kalian tidak menyukai tempayak?" tanya Neil dengan sepasang alis terangkat. "Tidak!" sahut kedua gadis kecil bersamaan. "Kenapa tidak?" tanya Neil memprotes. "Padahal mereka sangat lucu." Wajah mungilnya mengerut. "Apanya yang lucu?" Chloe membelalakkan mata ke arah Neil. "Tempayak-tempayak itu menjijikkan!" Dia menggeliat, membayangkan larva itu bergerak-gerak di kakinya. Menjijikkan! "Aku lebih suka Alexant!" kata Crystal. Mata birunya berbinar saat menyebutkan nama itu. Dia menopang dagu menggunakan kedua tangannya, tersenyum membayangkan Alexant yang menangkapkan kupu-kupu untuknya dan memasangkan mahkota bunga di kepalanya. "Dia lebih manis dari apa pun juga." Chloe dan Neil saling pandang sesaat, kemudian kembali menatap Crystal dengan sorot mata penasaran. Apakah yang dimaksud Crystal dengan Alexant adalah putra mahkota kerajaan mereka? Setiap orang tua di Namira selalu memperkenalkan nama pemimpin mereka, juga anggota kerajaan yang lain. Kerajaan Namira hanya memiliki dua orang anggota kerajaan, Raja Henry dan putranya pangeran Alexant. Sejak sedari bisa menyebutkan kata, para orang tua mengajari anak-anaknya tentang itu sehingga baik Neil maupun Chloe sudah mengetahui jika yang disebut Crystal adalah putra mahkota di kerajaan mereka. Tidak ada orang lain yang menggunakan nama itu selain dirinya. "Alexant?" ulang Niel bertanya. Sepasang alisnya berkerut. "Apakah yang kau maksud adalah pangeran Alexant?" Crystal mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya. "Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Chloe tidak percaya. Matanya melebar menatap Crystal. Sekali lagi Crystal mengangguk. "Kapan kalian bertemu? Apakah dia benar-benar tampan?" Chloe mendesak. "Kudengar matanya sangat cantik." "Tampan?" ulang Crystal dengan alis berkerut. Selama berteman dengan Alexant, dia tidak pernah memikirkan kata itu. Namun, Alexant memang tampan –sepertinya, Mama juga berkata demikian. Crystal mengangguk. "Iya, dia tampan. Rambutnya berwarna abu-abu.." Crystal mengerutkan hidung, mengetuk-ngetuk pelipisnya, berusaha mengingat sosok Alexant yang tak pernah lekang dari pikirannya. "Matanya berwarna biru, sangat cantik. Dia juga memberikan mahkota bunga padaku." Senyum lebar menghiasi wajah mungil yang cantik. "Alexant juga mengajakku menikah kelak ketika kami dewasa." "Eh, menikah?" ulang Chloe terkejut. 'Aku juga mau!" katanya cepat. "Jika dewasa nanti, aku akan menikah dengan Neil." Dia melirik Neil dengan tampak tidak peduli lagi dengan topik obrolan mereka. Neil asyik memainkan kaki belalangnya. "Benar, 'kan, Neil, kita akan menikah nanti?" Mata hijau Chloe berbinar menatap Neil. "Apa?" tanya Neil. "Menikah denganmu?" Ia menunjuk Chloe kemudian menggeleng dengan jari telunjuk bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti gerakan kepalanya. "Aku akan menikah dengan Crystal nanti–" "Aku tidak mau!" posting Crystal cepat. Wajahnya memerah. "Aku akan menikah dengan Alexant, itu yang dikatakan Alexant padaku. Kami sudah berjanji untuk menikah nanti!" Dia membuang muka, melipat tangan di depan d**a. Neil melongo. "Di mana kau berjumpa pangeran Alexant?" tanyanya. "Tentu saja di istana!" sahut Crystal ketus. "Tahun lalu aku pergi ke sana bersama Mama dan papaku, merayakan pesta ulang tahun Raja Henry." Tentu saja benar seperti itu. Mereka lupa jika Crystal juga merupakan keluarga bangsawan. Keluarga Mars menjadi salah satu yang diundang ke pesta itu. Sebenarnya undangan untuk seluruh rakyat Namira, hanya saja istana sangat jauh dari sini. Perlu waktu seharian berkuda untuk menempuhnya. Oleh sebab itu, hanya keluarga bangsawan Mars yang menghadiri, sebagai pribadi dan perwakilan desa mereka. "Astaga, bagaimana aku bisa lupa?" Neil menepuk dahinya. Well, ia meniru ayahnya yang memang seorang pelupa. Tak hanya hal kecil, pada hal-hal penting pun ayahnya sering lupa. "Keluargamu adalah bangsawan–" "Makanya kau tidak akan bisa menikah dengan Crystal." Chloe tertawa. "Jadi, kau menikah saja denganku. Kau mau, 'kan, Neil?" Neil memutar bola mata. "Terserah kau saja," katanya pasrah. Chloe memekik gembira, memeluk Neil dan mencium pipinya. Crystal tertawa, apalagi saat Neil mengusap pipinya yang tadi dicium Chloe Kedua temannya sangat lucu, bisa membuatnya sedikit melupakan keberadaan Alexant di hatinya. *** Di bagian kerajaan Namira lainnya. Tepatnya di sebuah desa yang terletak yang di bagian selatan Namira, seorang gadis kecil lainnya bersama dengan seorang wanita tua tengah berada di sebuah perkebunan. Gadis berambut pirang sepinggang itu sedang membantu wanita tua tersebut memetik apel yang siap panen. Gadis kecil itu bernama Beatrice Llyod, dia adalah putri Selena Llyod, pengasuh Alexant. Beatrice adalah gadis kecil yang cantik. Rambut pirang dan mata biru yang indah, ada sebuah tahi lalat kecil di hidung mancungnya. Tidak pernah terlihat sedikit pun kesedihan di matanya, meskipun selama sembilan tahun hidupnya tidak pernah melihat wajah Sang Ibu. Dia terus tinggal bersama neneknya, sementara Selena, ibunya, tak pernah menjenguk. "Apakah kita sudah selesai, Nenek?" Beatrice bertanya sambil meletakkan sebiji apel ke dalam keranjang yang dipikul di punggung neneknya. "Lihatlah, apel yang kita kumpulkan sudah banyak!" Dia berseru gembira. Imelda Llyod tersenyum. Tangannya yang keriput mengusap rambut pirang Beatrice. Terkadang, saat malam hari ketika Beatrice tengah tertidur pulas, dia menitikkan air mata. Dia mengasihani nasib cucunya yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Ibu kandungnya. Sebulan dilahirkan, Selena langsung meninggalkan Beatrice untuk kembali ke istana. Bahkan, Selena tidak menghadiri pemakaman suaminya dengan alasan tidak bisa meninggalkan pangeran yang sedang sakit. Padahal Imelda tahu, itu hanya alasan Selena saja yang tak ingin bertemu dan melihat putrinya. Imelda tidak tahu sebabnya, mengapa Selena tidak ingin melihat putri kandungnya sendiri. Selena seolah menolak kehadiran Beatrice. Sebagai seorang Ibu, dia tidak pernah mau ikut campur urusan putrinya. Selena juga tertutup mengenai masalah pribadinya. Tidak ada sekali pun Selena bercerita tentang masalah pribadinya, ataupun masalah pekerjaannya di istana. Pernikahan Selena juga terbilang baik-baik saja, dia terlihat bahagia dengan suami yang mencintainya. Lalu, apa alasan Selena tak ingin menemui putrinya? "Sedikit lagi, Sayang. Masih ada dua buah pohon lagi yang harus kita petik." Beatrice menelengkan kepala, menatap keranjang di punggung neneknya. Dalam pikiran anak kecilnya, terbayang betapa beratnya keranjang itu jika penuh. Keranjang yang terbuat dari anyaman rotan itu lumayan besar, muat sekitar sepuluh kilo buah tomat. Sangat kasihan sekali neneknya yang sudah tua memikul beban seberat itu di punggungnya. Seandainya dia bisa menolong, pasti akan dilakukannya. Sayangnya, nenek selalu menolak bantuannya. Katanya, dia masih sanggup. Beatrice tahu jika nenek hanya berbohong. Nenek hanya tak ingin memberatkannya. Nenek sering berkata saat dia tertidur yang sebenarnya tidak tidur –dia hanya berpura-pura tidur, jika nenek sangat kasihan padanya karena tidak pernah mendapatkan perhatian dan kasih sayang mamanya. Namun, dia tidak memikirkan itu. Dia bahkan tidak mengenal Mama, dan tidak membutuhkan kasih sayangnya. Dia sudah mendapatkan semuanya dari neneknya tercinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN