Masih gelap.
Kemudian cahaya remang-remang.
William terhenyak dalam posisi duduknya. Hal pertama yang ia tangkap jelas adalah gelap dan dingin. Bahkan udaranya mulai tak menyenangkan karena lembap. Namun lamat-lamat, kegelapan itu berubah menjadi setitik cahaya.
Ia bangkit dan mulai berjalan menuju cahaya itu. Cahaya yang bisa menuntutnya.
Kini cahaya itu sebatas menari di sumbu lilin. Dan benar, itu memang cahaya lilin. Lalu William mengenali pintu itu lewat secercah cahaya lilin.
Kemudian titik cahaya itu semakin banyak seiring William melewati pintu. Sinar terangnya menyilaukan matanya yang mengukungnya dalam kegelapan.
Satu sosok yang sangat William rindukan berdiri membelakanginya dengan loyang-loyang dan beberapa adonan kue. William tersenyum mendapati ibunya yang berdiri anggun seraya bersenandung riang.
Ia seperti melihat kehidupan lamanya.
"Sudah kubilang kau tak boleh berlari William!" omel ibunya.
Tanpa membalikkan badannya— William terus terkagum-kagum dengan kemampuan wanita paruh baya itu: kepekaan. Bahkan ibunya bisa mengetahui di mana dirinya bersembunyi lewat kuaran parfum.
"Mama..." William melangkah maju dan mendapati senyum ibunya yang terlihat bahagia ketika menatapnya. William menerjang begitu kedua tangan ibunya terbuka. Dan William meyakini bahwa ibunya benar-benar nyata karena ia merasakan pelukan kesukaannya.
"Aku memasak kue kesukaanmu. Tuhan memberkatimu," ujarnya membelai kepala William dengan sayang.
"Duduk sini," suruhnya menepuk kursi.
William terpaku menatap ibunya. Sekelebat rasa bersalah menguar dan hatinya berharap penuh kecemasan. Kalau-kalau bisa, William ingin mendapati sosok ibunya yang lebih muda. Ia ingin menebus kesalahan kala itu. Namun di hadapannya adalah manifestasi sosok ibu yang lebih dewasa; sosok ibu baginya dan Austin.
"Aku mengerti waktumu tak banyak." Ibunya masih terus mengaduk adonan lalu beralih menatap William dengan tatapan keibuan yang William rindukan. "Kau tak perlu menanggung segalanya. Tapi jangan singgah, aku memperingatimu William! Jika kau mau, silakan saja. Tapi tidak! Aku melarangmu." Ibunya menjeda.
Dalam hati William bertanya-tanya ke mana arah obrolan pagi kali ini. "Kau tak bisa mengambil semua jalan itu—bukan karena aku ragu akan kemampuanmu."
"Aku tak keberatan untuk tinggal."
"Tidak!" Ibunya menyahut cepat, "Jika kau takut aku tak bahagia, aku katakan aku sangat bahagia. Jangan khawatir, kau harus menata hidupmu kembali. Seseorang menunggumu. Ada sesuatu yang menunggumu." Ibunya kembali membelai kepala William "Belum waktunya untukmu."
"Tapi—mama—"
"Bisa kau ingat ini? Kau putra ibu, kan?" ucapnya menangkup pipi William, mengecup kedua pipinya bergantian. "Tak ada orang yang sempurna. Kau kuat—fisikmu kuat, karena aku telah mengajarimu cara bertahan sedari kecil. Tapi kau tak bisa menggenggam segalanya dalam satu waktu. Dalam satu genggaman. Terkadang, kau perlu melepas salah satunya. Pelajaran kelas empat soal beban, kau kelebihan beban dan kuasamu tak akan stabil."
William belum mengerti soal ini.
"Sudah saatnya kau melepas."
William tergugu di posisinya hingga tak menyadari pegangannya pada sisi kursi kian mengerat.
Ibunya mendekat. Kembali memberi kecupan pada William. "Waktumu habis. Kau harus tahu, aku selalu bangga padamu."
"Mama—"
"Bangun nak," bisik Ibunya. "Putraku."
****
"Mama!"
William tersentak dari tidurnya. Dan mimpinya kali ini berhasil menariknya untuk terjaga. Hal pertama yang ia temukan ketika membuka mata adalah Rahee.
Akal sehatnya belum sepenuhnya bekerja baik lantaran ketegangan dalam mimpinya. Refleks, William menjangkau tubuh mungil Rahee lantas mengukungnya erat dalam sebuah pelukan. Dapat William rasakan bahwa reaksi tubuh mungil itu menegang—mungkin terkejut—namun perlakuan ini benar-benar menenangkan bagi William.
Seperti inikah oase di gurun?
William masih terengah-engah dengan napas putus-putus. Kian mendekap erat tubuh Rahee dan membaui harum kayu-kayuan dan bunga yang semerbak. Kedua matanya terpejam sepenuhnya seakan rapuh jika kelopaknya terbuka.
Tak lama, dorongan pada kedua bahunya William rasakan. Kosong, begitu saja yang dirinya rasakan mana kala pelukan itu terurai. William sedikit mengerang memegangi kepalanya yang berdenyut.
"Aku meninggalkan laporanku di sini. Dan ketika aku ingin beranjak kau menarikku." Suara itu menyentak William untuk mengerjap. Menatap lembut wajah sayu di hadapannya dengan bibir yang sedikit terbuka.
"Suhu badanmu tinggi, tak seharusnya kau tidur di sini." Vokal itu benar-benar lembut hingga William harus egois untuk menyimpannya sendiri. "Kau oke?" Sekali lagi di iringi tangan yang menempel tepat di dahinya.
Kening William berkerut. Namun dengan tangkas, Rahee menggerakkan satu tangannya untuk mengurut kerutan-kerutan itu. "Aku akan membuatkanmu teh. Maaf, jika ini terlalu lancang."
William terus diam. Matanya sama sekali tak beranjak apalagi melihat ke arah selain mengikuti pergerakan Rahee hingga lenyap di balik pintu.
Per****n!
William mulai kehilangan kendali. Ia tidak pernah semarah ini sebelumnya. Tidak pernah sebelum gadis itu berdiri tepat di hadapannya. Dan keinginan hatinya yang egois untuk memiliki gadis itu kian menggebu.
Maka dengan langkah cepat—tanpa peduli keadaan sekitar, William menyusul Rahee yang di pastikan berada di dapur. Gadis itu berniat akan membawakan teh, bukan? Benar, William tak salah dengar.
Tak perlu waktu lama maupun permisi berbasa-basi. William menarik Rahee, membalikkan badan mungilnya secara paksa hingga tangannya menyentuh d**a William yang berbalut kaos putih polos. Sigap, William memenjarakan dalam lengan kekar yang mendominasi.
Hal selanjutnya yang terjadi—Rahee tak sempat untuk terkejut ketika William mendorong tubuhnya ke dinding dan merasakan sesuatu yang kenyal dan basah menyentuh bibirnya. Rahee membuka mata lebar-lebar, namun yang di dapatinya justru William yang sedang memejamkan mata dan bergerak penuh hasrat menciumnya.
Rahee masih membeku seusai William melepas ciumannya. Seratus persen Rahee meyakini jika dirinya kehilangan fungsi otaknya akibat perlakuan William. Rasa kecewanya tertelan begitu saja karena tak membalas ciuman William dan hanya diam.
Sedang William fokus menatap Rahee, menyingkirkan rambut-rambut halus yang menutupi wajahnya. "Jangan pergi."
****
Satu hari ini yang Rahee lakukan hanyalah menghindar. Terutama dari tatapan William yang nyalang persis seperti predator. Ciuman semalam benar-benar membuatnya kalut namun juga ketagihan untuk mencobanya lagi. Merasakan bibir tebal nan s*****l itu hingga sesuatu yang lain tertahan di tenggorokannya. Entah apapun itu, Rahee terpengaruh oleh tatapan intens itu.
Tatapan itu tajam, demi Tuhan Rahee merasakan ketakutan ketika matanya bertemu secara tak sengaja.
Sialnya lagi mereka berada di ruangan yang sama, waktu yang sama, dan penderitaan ini belum juga berakhir.
Itu ciuman pertamanya. Rahee mengirim sinyal ke otaknya untuk berhenti saja. Tapi tidak, itu sulit. Semakin ia menekan untuk melupakan kejadian semalam, lagi dan lagi bibirnya berkedut menahan senyum dan ingin mencicipi manis bibir milik William.
"Kau baik Rahee?" Allinson menepuk pundaknya membuatnya berjengit kaget. "Kau tampak baik tapi haruskah seterkejut itu?" dahi gadis itu berkerut.
"Aku baik." Sial tidak! Lihatlah di pojok sana. Mata indah itu kembali menatapnya tajam dan sarat kelembutan. "Aku—" Rahee menelan ludahnya getir sembari menundukkan matanya gugup. "Aku ingin makan siang, Al.”
Sontak jawaban itu membuat Allinson tergelak dan tertawa. "Nikmati siangmu Ra." Allinson berjalan menjauh. Namun belum sempat mencapai ambang pintu, langkah kakinya terhenti dan membalikkan badannya melirik sekilas seseorang yang duduk di pojok sana dengan tatapan intens dan Rahee yang terus menunduk. Senyum merekah di kedua bibir Aliinson, ia tahu. "Dan Rahee, kau tersenyum."
"Apa?" Rahee bertanya akan apa yang Allinson ucapkan.
"Kau cantik dengan senyum itu."
****