Hal gila lainnya yang harus Ryan dan Chaz alami adalah kepala pengar lantaran terlalu kencang tertawa—menertawakan lebih tepatnya.
Serius. Bahkan Chaz terjungkal dari kursinya karena terlalu kencang tertawa. Hanya Adam yang terdiam. Lelaki itu seolah paham akan apa yang William tuturkan. Tanpa dua kali menyimpulkan, Adam mengerti, ini masa transisi untuk William menutupi kegugupannya.
Bukan hal konyol untuk Adam, ingat; mereka bersama sejak masih kanak-kanak.
Serahasia apapun William menyimpan, semudah itu pula Adam menilai. Segala sesuatunya terlalu matang.
"Kau benarkan masih bos kami? William Anderson si mulut mercon, berparas patung yang sialan tampan?!" Ryan memulai menghentikan tawanya. Perutnya sudah sekonyong-konyong sakit dan menyerah untuk melanjutkan aksinya. "Sialan! Kau memang benar William. Teman dan bos kami."
Chaz melakukan hal serupa. Tapi lebih dulu mendapati tatapan tajam segarang harimau itu hingga kedua tangannya mengudara tanda menyerah.
"Aku selesai," ujarnya, "Akan aku carikan alamat gadis itu. Siapa tadi, Rahee ya?" jari panjangnya mengusap dagunya.
"Rahee. Catat itu dengan benar," koreksi William.
"Ah iya anak magang itu. Dia cantik Will. Mungkin kau hanya perlu sedikit membesarkan d**a dan bokongnya. Dan aku jamin itu asli karena aku tak melihat suntikan di manapun."
Sejurus kemudian Ryan mengangkat tangannya. Mengambil sepatu kebanggaannya yang mendarat tepat di kepala Chaz.
"Pakai otakmu t***l. Apa seperti ini otak seorang ahli komputer?"
"Kau mungkin berjuang, tapi ada masa di mana kau harus berhenti." Itu Adam. Suara tegas itu menghentikan aksi tonjok Ryan dan Chaz. Dua bocah tengik itu menoleh, menelisik lebih dalam setiap ucapan Adam. Dan keduanya juga tahu, hanya Adam yang mampu mengendalikan William.
"Tidak semua pengorbananmu mendapat hasil yang setimpal. Mungkin, akan ada yang terindah di antara semuanya meski itu bukan bagian dari rencanamu."
William terpekur. Alih-alih mengabaikan, tapi nyatanya pernyataan Adam ia benarkan. Hati dan pikirannya bertolak belakang. Dan lebih sial ketika ruangan itu senyap mendadak. Padahal, jika harus diingat-ingat lagi baru beberapa menit yang lalu ruang kerja keempatnya ramai riuh. Jika tahu seperti ini, rasanya William tak keberatan mendengar gerutuan dua bocah tengik itu. Tak di pungkiri jika perlakuan itu memberinya hiburan tersendiri.
"Kau bisa memeriksa modelnya Ryan. Kita akan memulai lima belas menit lagi. Chaz, siapkan komputermu tanpa menyentuh kameraku."
Keduanya mengumpat. Dalam hati masing-masing menyerapah lantaran gagal mendengar nasihat gratis Adam.
"Kenapa Will?" Adam belum menyerah—tidak saat ini. Dirinya tahu harus bertindak dan menempatkan dalam posisi yang bagaimana. "Kau mau berjuang sekeras ini demi gadis baru itu?"
William masih bungkam. Namun begitu, dapat Adam menangkap secercah bimbang di netra tajam itu. Terlepas dari benar atau salahnya, hanya William yang tahu. Karena hanya lelaki itu sendiri yang mampu mengendalikan hidupnya.
"Aku pernah sangat miskin dan tidak diinginkan. Aku dan Austin, kami berada di dalam rahim yang sama dan berbagi tempat, berbagi makanan, saling memeluk dan menggenggam. Aku dan Austin menyayangi ibu yang sama—dan sayangnya juga di tolak di manapun tempatnya. Lalu apa yang akan kau lakukan ketika hidupmu berjalan normal selama tiga belas tahun tanpa seorang ayah?" William menjeda. Meredakan emosinya yang membuncah. Satu yang Adam ketahui: lelaki ini begitu lihai memainkan peran emosinya.
"Diperolok, direndahkan?! Benar?" Seringai jahat itu membuat bulu roma Adam meremang. Bertahun-tahun bersama dan rasanya tetap sama. Seringai itu lebih mencekam dari hal terburuk apapun di dunia ini.
"Aku dan Austin tetap bertahan. Tapi tidak ketika satu makhluk kecil kembali ayahku titipkan pada rahim selain ibuku. Kau mungkin tak percaya bahwa aku membenci mendengar suara ibuku. Wanita itu—yang sayangnya semua jiplakan ada padaku—hingga sikap pengendalian diri yang bagus juga menurun padaku."
William mendengus. Ia benci mengingat hal terpahit dalam hidupnya.
"Dan tiba-tiba tanggung jawab yang tak seharusnya kau pikul memberimu pilihan untuk mengemban. Bedanya di sini, aku memberontak. Tidak seperti Austin yang luluh dengan air mata ibuku. Gilanya lagi Austin menerima itu semua begitu saja dan di jadikannya unggulan. Tapi apa kau tahu jika Lucas juga tidak ada bedanya dengan ayahku?" Adam terkesiap mendengarnya. Bukan pada apa yang William sampaikan. Tapi pertanyaan terakhir yang merupakan fakta kebenaran membuatnya membeku. Jadi diam-diam lelaki dingin ini peduli?
Tanpa perlu penjelasan panjang Adam tahu, lewat satu kalimat itu Adam mengetahui jika William menguntit kegiatan apa saja yang Lucas lakukan.
Bukankah itu sikap yang sangat manis?
"Lucas dengan bangga mengakui semua kucuran dana dari Austin di kampusnya dan mempertahankan apa yang menjadi miliknya. Cih!"
William berdecih jijik sembari menampilkan seringai di bibirnya. Kembali menciptakan suasana ngeri di antara keduanya.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan ketika menjadi di tolak dan tidak diinginkan didunia ini? Mencoba menghapus garis-garis Tuhan?! Konyol!" Adam masih terdiam. Bertahun-tahun mengenal William dan sumpah dirinya hanya sedikit syok dengan penuturan yang lelaki itu sampaikan. Lantas yang merajut pikirannya adalah: mengurutkan semua kejadian-kejadian yang menimpa lelaki itu.
Menyimpulkan sendiri meski itu terdengar tidak relevan. Tapi melihat dari mana arus dingin itu berasal, sedikit memberi kesan untuknya menjelaskan kepribadian William.
"Kemungkinan buruk selalu terjadi William," tanggapnya. Susah payah Adam menekan suaranya. Tapi tetap saja, sesuatu seperti tertahan di tenggorokannya.
"Kau tak akan pernah takut, ya, aku tahu itu. Hanya saja, bisakah sekali saja kau tak melambungkan harapan terlalu tinggi? Kapan terakhir kali kau melakukan itu Hun? Dan apa yang berakhir denganmu?" Adam mulai membuka pikiran lelaki itu. Pun meski didalam hatinya meragu, setidak-tidaknya Adam berusaha bukan?
"Aku mendebat banyak orang untuk tak menerima apapun sokongan dari perusahaan William, ingat? Berhenti total pada garis yang aku buat dan melampaui batas yang semestinya. Tidakkah kau mengetahui Adam? Gadis itu memiliki mata yang sama dengan dia?"
Adam sudah menduganya. Jadi masih sama, ingatan enam tahun itu tetap pada mata.
"Lagi, memangnya apa yang akan kau perjuangkan ketika tahu ibumu di khianati oleh sebuah karir gemilang yang sedang di rintis ayahmu?" lanjutnyanya, "Pernahkah kau bayangkan Dam, aku dan Austin hampir—nyaris di bunuh oleh ibuku sendiri lantaran terus menangis karena ASI-nya tidak keluar. Atau mungkin, sedikitnya kau bertindak ketika ibumu kembali di khianati dengan wanita lain."
Adam diam. Berjuta-juta menit mulutnya bungkam dengan fakta kebenaran yang William ungkapkan.
"Kau tak akan bisa berbuat apapun meski otak rasionalmu menekanmu. Karena itu aku yang mengalami, mengambil alih beban yang sangat mencekikku. Bagiku, berjuang sekali lagi takkan menjadi masalah. Jika rumah sakit jiwa atau pun psikiaterku yang kau khawatirkan, obat penenangku masih rutin aku tebus lewat dokter Reese."
****
Kejadiannya terbilang cepat. Hingga Ryan berkali-kali meringis menahan ngilu. Bukan hal baik ketika atasanmu marah atau mengomel, Ryan setuju pernyataan itu. Tapi di sini berbeda, garis bawahi jika perlu: bosnya meneriaki semua orang termasuk dirinya entah karena apa.
Yang jelas, sorot matanya benar-benar nyalang seperti harimau yang siap menerkam. Suaranya menggelegar melebihi sambaran petir di tengah badai. Kira-kira siapa yang mempunyai nyali sebesar ini membangunkan singa yang tertidur?
Kini Ryan mengutuk dirinya yang berdiri di barisan paling depan. Jelas-jelas itu memudahkan dirinya terlibat masalah serius setiap kali menaikkan kepalanya dan mendapati tatapan menakutkan itu menghujamnya. Dalam hatinya mengumpat, tidak bisakah orang ini berpikir rasional, sedetik saja jika satu hari terlihat mustahil.
Ryan benar-benar mengumpat dalam hati.
Perut Ryan melilit sakit. Entah karena atmosfer kepanikan, ketakutan yang mencekam atau apapun itu yang dikuarkan oleh seisi ruangan. Atau karena melewatkan makan siangnya, Ryan tak bisa berpikir jernih. Terlalu cepat, benar.
Tapi serius, Ryan takkan berdusta soal nyali. Siapa pun itu, Ryan ingin memukulnya untuk memaki karena telah lancang membangunkan singa.
"Bubar!" bentakan itu menyadarkan lamunan Ryan.
Diam-diam dadanya melonggar meski tak sepenuhnya mendengar amarah William. Pikirannya terlalu diliputi tanda tanya soal apa yang merusak suasana hati bosnya itu.
Selama ini, William bukan tipe orang yang mudah terpancing atau meluapkan emosi sembarang tempat. Mengeluhkan soal sikap model yang menggodanya saja enggan, lantas hari ini?
"Kau pasti gila!" Chaz membuka suara. Ekspresi wajahnya sama tegangnya seperti milik Ryan. "Mengamuk hanya demi sebuah kamera. Kau bisa membicarakannya baik-baik Will!"
Adam bungkam. Dirinya berada di tempat tapi tidak tahu alasan apa sehingga emosi William tersulut. Sedang William lebih acuh, enggan menanggapi omongan Chaz persis seperti burung yang mengoceh.
"Jika itu tentang Rahee, kau mendapatkannya Will." Kaki William yang hendak melesat, mendadak terhenti. Terlihat jelas badannya menegang begitu nama itu disebut. "Satu kampus dengan Lucas. Penerima bea siswa terbaik dan kabar buruknya; Austin memilihnya sebagai pembimbing Lucas."
****