"Kau menyakiti mama," ujar Austin begitu menempatkan bokongnya di sofa ruangan William. Ini pertama kalinya ia berkunjung. Matanya menilai interior yang di pilih William. Dan Austin tahu, warna-warna ini padunan akan gambaran yang selama ini William rasakan.
"Mama lebih menyakitiku," tukas William tak sopan. Tangannya masih lihai merapikan beberapa kertas yang berserakan di mejanya tanpa peduli untuk menemani Austin. Fokusnya benar-benar di antara kertas-kertas itu.
"Sanggahan dari mana itu? Adikku tak pernah berkata kasar kepada mamanya, kan?"
William mengedik acuh. Bibirnya terkatup dan rahangnya mengeras. Dan Austin hanya bisa memerhatikan keterdiaman William selama ini. Adiknya telah berubah. Dia bukan lagi bocah lima tahun apalagi remaja lima belas tahun, tapi hampir dua puluh lima.
Austin tersenyum getir melihat perubahan itu yang kian menjadi terutama hatinya yang tak tersentuh sama sekali.
Sejak kematian ibunya, keduanya berusaha keras mengikuti pikiran ayahnya yang mendoktrin hidupnya mati-matian.
"Kau mirip mama," lirih Austin berbisik, "Kau benar-benar jiplakan mama. Wajahmu, rahangmu, matamu, alismu, dan sikapmu 99 % adalah mama. Aku melihat mama setiap kali memandangmu. Kau terlalu bebal dan pemberontak. Itu pembedanya." Austin terkekeh dengan mata menerawang jauh. Mengingat semua kenangan kecilnya yang begitu indah di mana hal seru tercipta begitu saja.
Hanya bertiga; Ibu, dirinya, dan William.
"Kau harus memeriksa matamu. Aku William, bukan mama. Bukan seorang pemaaf untuk semua rasa sakit yang ayah ciptakan."
Austin memahami itu. Ia takkan pernah menang mendebat William. Sampai kapan pun tidak.
"Aku membawa kejutan untukmu. Dia di sini dan bersama Adam. Akan aku panggilkan."
Masih terus William abaikan. Meski kepalanya terangguk sekilas memberi jawaban, dan yang Austin lakukan segera keluar ruangan. Berjalan menyusuri ruangan yang sedikit lengang mengingat waktu masih terlalu pagi.
"William tidak begitu suka ketika orang lain membawa serta makanan ke dalam ruangannya. Kau tahu, dia tipikal orang yang super bersih dan ngomong-ngomong aku mulai muak bekerja dengannya." Bocah sepuluh tahun itu terkikik mendengar cerita Adam yang seperti curahan hati.
"Tapi aku adiknya. Aku adik kesayangannya. Paman Adam jangan lupakan itu."
"Hei jangan memanggilku paman sayang. Astaga, apa aku setua itu? Sial!"
"Jangan mengumpat!" hardik Austin yang mendengarnya. "Jangan mengumpat di depan gadis kecilku," sambungrnya membelai kepala bocah itu
"Aku sudah cukup besar Austin!" protesnya sembari menyingkirkan tangan besar Austin yang membelai kepalanya. Suaranya mengerang tanda ketidaksukaan tengah di tunjukkannya.
Baik Austin maupun Adam hanya tertawa melihat tingkah itu.
"Apa William akan melarangku membawa ini?" tanyanya penuh permohonan dengan kedua tangan yang menyodorkan sekotak makanan.
Austin berpikir sedetik di iringi bibir yang berkerut. "Kita akan tahu ketika melewati pintu itu. Come on."
Sebelah matanya berkedip hingga bocah kecil itu menyetujui uluran tangannya. Berjalan berdampingan, saling menggenggam melemparkan Austin pada ingatan belasan tahun lalu. Di masa kecilnya, di masa kasih sayang ibunya yang tercurah tiada henti, melihat ibunya yang bekerja keras demi menghidupi ketiganya dan tetap bertahan dalam kondisi yang benar-benar miskin. Sesuatu menyelinap masuk di relung hatinya; sakit, iri, dendam.
William membenci bocah kecil ini. Seharusnya ia juga membencinya. Tapi, semua nasihat ibunya membekas di otaknya. Terpatri dalam kelamnya memori.
"William!" seru bocah itu berlari dan menerjang untuk memeluk lelaki itu, "Ya ampun! Aku merindukanmu!"
"S**l!" gerutu William menyentak pelukan bocah itu dan menatapnya tajam. "Aku tak pernah merindukanmu. Pergilah!" usirnya mengibaskan tangan. Hal itu tentu saja di saksikan langsung oleh Austin.
"Lucas menceritakan tentangmu setiap hari. Dan mama membicarakanmu sepanjang waktu," sahutnya tak peduli akan usiran yang William berikan. "Aku membawa kue cokelat kesukaanmu. Mama yang membuatnya."
Bocah itu menyodorkan sebuah kotak polos memaksa William untuk menerimanya. Tapi belum lagi sepenuhnya berada dalam jangkauannya, kotak itu telah terlempar jauh menghantam tembok tepat di depan meja kerjanya.
"William!" teriak William.
Tangannya bergerak menghentikan ucapan William. "Sampaikan terima kasihku pada mamamu dan pergilah. Aku hanya makan kue cokelat buatan ibuku, jadi Jazzy, jangan menampilkan wajahmu di hadapanku lagi. Pergilah!"
Bocah itu menangis. Matanya berair dan menatap Austin penuh permohonan. Siapa sangka jika suasana hati William benar-benar buruk?
****
Rahee tidak pernah mengatakan jika bosnya berpengaruh—memengaruhinya.
Ia enggan membenarkan ungkapan itu, namun nyatanya semua tak selaras sesuai keinginannya. Antara hati dan bibirnya 91 % bertolak belakang. Ketika bibirnya mengatakan tenang, lain halnya dengan hatinya yang bersorak gembira. Pengendalian dalam dirinya sangat buruk. Ia bahkan tak bisa setidaknya berhenti untuk tidak menoleh ketika mata harimau itu mengawasinya. Sekarang Rahee berpikir bahwa dirinya adalah mangsa William. Lelaki itu tak pernah sedetik saja beralih dari aktivitas anehnya; memandangi setiap gerak-geriknya.
Mendapat tatapan seintens itu—Rahee benar-benar menyerah dengan olokan hatinya. Tatapan itu terlihat mesra, maksudnya menciptakan suasana yang mesra. Ah, apapun itu. Dan lebih mengherankan ketika pagi ini ia memilih dress selutut ketimbang memakai jeans dan kaos oblongnya. Ini jelas bukan gayanya. Sekalipun Rahee tak pernah suka menjabarkan penampilannya dalam sehari-hari, tapi hari ini ia memberikan gambaran spesifik. Ini aneh, ia bahkan memoles wajahnya dengan bedak dan merias bibirnya dengan lipstik yang tak terlalu mencolok.
Demi Tuhan! Kenapa tatapan tajam itu membuatnya merasa senang dan nyaman secara bersamaan? Mengapa tatapan nyalang dengan kilatan sendu itu justru menentramkan hatinya? Mengapa ia benar-benar terpengaruh oleh bosnya.
Rahee tak pernah seperti ini sebelumnya. Yang selalu ia lakukan adalah acuh dan menekuri hal-hal yang menurutnya sesuai kehendak hatinya. Lantas hari ini—sejak insiden ciuman itu, pikirannya terpenuhi oleh wajah bosnya.
Rahee akui menyukai tatapan itu. Sekalipun di liputi ketakutan, ketegangan, dan yang terakhir bahagia. Ia bahagia mendapat tatapan seintens itu. Ia merasa terbutuhkan dan di puja.
Astaga! Matanya mengerjap sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba mengenyahkan kemungkinan buruk yang melintasi otaknya.
Ia ingin mencuci mulutnya segera. Ini pasti mimpi. Hanya orang t***l yang merasa bahagia karena sebuah tatapan.
Tanpa sadar tangannya menjatuhkan satu per satu gantungan pakaian yang membuat beberapa pasang mata menoleh padanya. Tak terkecuali Allinson. Gadis berambut panjang itu terang-terangan memicingkan matanya dan sedetik kemudian sudut bibirnya terangkat membentuk seringai ejekan.
"Kau selesai Selena. Keluarlah!" usirnya pada gadis berambut pendek sebahu itu. Gadis bernama Selena itu menggerutu usai mendapat riasannya yang tak sesuai keinginannya. "Fotomu hanya untuk satu lembar iklan. Kau tak perlu menyerocos mengenai riasanku. Kau ingat, William memberimu pilihan 'berhenti' jika kau memang tak suka." Allinson menghardik. Menghentikan sekaligus gerutuan Selena. Pun, ia merasa terheran dengan kebodohan William yang terus saja diam dengan sikap gadis itu.
"Sekarang giliranmu." Rahee mengangkat wajahnya. Merasa bingung dengan sikap Allinson. Mengerutkan dahinya, sesekali bibir Rahee mencebik sebal. "Ya, benar kau Rahee. Kau berhutang cerita padaku."
"Apa? Aku tak menjanjikan apapun untukmu Al," jawabnya.
"Memang tidak." Sekenanya Allinson menjawab. Inilah alasan mengapa Rahee menjauh dari hiruk-pikuk lingkungan. Di mana pun tempatnya semua wanita memang sama: menyusahkan.
"Dua kali. Dan aku tahu, kau terpengaruh olehnya." Tunjuk Allinson dengan dagunya. "Si berengsek itu!" umpatnya tiba-tiba. Wajahnya berubah berang ketika menatap bosnya yang begitu lihai memegang kameranya. Ekspresinya? Tebak saja.
"Aku merasa takut denganmu Al. Kau mengerikan, aku bersumpah." Rahee hendak melangkah pergi sebelum akhirnya tangannya di tarik.
"Kau menghindar ya?" selidik Allinson. "Wajahmu memerah begitu aku menyebut dia."
"Astaga! Aku akan gila sebentar lagi," keluh Rahee seraya mengembuskan napasnya, "Tapi Al, pertama-tama—"
"Kau berciuman dengannya," potong Allinson cepat.
"Ya... Maksudku tidak. Ciuman apa?" Wajah Rahee memucat. Keringat dingin menetes melewati pelipisnya. Atmosfer ketegangan terasa kental di sini meski pendingin ruangan menyala dengan benar. Setidaknya itu yang ia rasakan karena mendadak punggungnya begitu dingin.
Allinson terkekeh, "Beberapa hari yang lalu, di dapur. Kau dan William. Kalian berciuman dengan sangat mesra dan dekat. Aku sepenuhnya menyukai perlakuan si bodoh itu—ini pertama kalinya aku memuji sikapnya, sungguh. Kau terpenjara di antara kedua lengannya. Kalian serasi, kau tahu."
Rahee melebarkan matanya. Habis sudah hidupnya. Lagi pula, siapa yang mengetahui kejadian itu? Seingatnya, kantor dalam kondisi sepi dan hampir tengah malam.
"Akhirnya kau menyetujui. Aku lelah mengolok si patung es itu. Manusia patung, paling kaku dan si mulut cabe. Tapi ngomong-ngomong Rahee—" Allinson mengerlingkan matanya, "Ryan, Chaz, dan Adam terhibur dengan ciuman itu," katanya sebelum beranjak. Dapat Rahee lihat jika senyumnya masih menggantung di bibir tebalnya.
[]