William meletakkan tubuh Rahee ditempat yang nyaman. Tempat ini beraroma dirinya dan Rahee akan menyebutnya sebagai surga. William tak berhenti menciuminya dan Rahee juga tak ingin William berhenti.
Hembusan napas kasar William menerpa wajahnya. Dapat Rahee rasakan jemari William yang mengusap pipinya dengan kelembutan yang tak bisa Rahee jabarkan. William terus mengecup bibir Rahee berkali-kali—tanpa kata-kata, hanya sentuhan dan napas yang sama-sama tak beraturan.
Rahee memberanikan diri membuka mata dan mendapati mata madu William yang menatapnya. Refleks, gerakan tangannya merapikan rambut cokelat William yang tak lagi beraturan dan William menikmati perlakuan itu seolah menikmati tiap sentuhan yang Rahee hantarkan. Dalam hati Rahee merasa senang karena mereka mempunyai efek yang sama untuk satu sama lain.
Ingatan Rahee kembali terlempar ke belakang begitu mengingat sebaris kalimat yang William ucapkan. Suara sarat kesedihan yang tak sanggup Rahee dengar tiba-tiba berdengung ditelinganya. Tentu saja Rahee senang mendengar permintaan William untuknya tetap tinggal dan jangan pergi. Tapi, mengapa suara itu benar-benar penuh sarat dan kerapuhan didalamnya?
Rahee memberikan pelukan untuk William. Membuat lelaki dingin itu runtuh dan meletakkan kepalanya di d**a Rahee. Telinga kirinya menempel di d**a Rahee —menyerapi detak jantung Rahee yang tak beraturan. Sedang tangan Rahee melarikan ke arah rambutnya, mengusapnya lembut seolah-olah mengatakan lewat sebuah gerakan bahwa dirinya ada untuk William. Rahee ingin menjadi berarti untuk William sama halnya dengan William yang berarti untuknya.
"Apa ini nyata?" tanya William parau. "Jantungmu berdetak dengan indah dan aku tak ingin berhenti mendengarnya. Aku takut jika ini tak nyata."
"Aku nyata," jawab Rahee. "Dan kau juga bagian dari kenyataan."
****
Kilatan lampu terakhir.
Begitu menjepretkan tepat sasaran napas lega William terdengar. Meski tangannya masih memegang kamera, namun fokus matanya terpusat ke arah meja panjang di tengah ruangan yang kosong.
Berbagai sapaan dan godaan William abaikan begitu saja. Entahlah, namun hal itu membuatnya semakin risih. Hingga kepalanya terhuyung ke depan. "Astaga si Tuan ini!" ejek Chaz. "Berhenti memasang wajah sialan tampanmu itu karena aku tahu kau akan mengacaukan semua ini!"
"Aku muak sekarang!" serunya, "Kau bisa memecat mereka semua karena aku benar-benar muak!"
Chaz melongo. Membulatkan matanya dengan kedua tangan yang mendadak beku. Apa-apaan yang dilakukan manusia es ini, batinnya.
"Kau selalu saja menciptakan masalah Will. Berhentilah karena mereka juga bagian dari tim," jawab Chaz tak kalah kesalnya.
"Aku tak peduli b******k! Aku membayar mereka bukan untuk menggodaku seusai bekerja."
"Itu salahmu t***l! Kau memberi mereka kesempatan—ya Tuhan kau sungguh kesepian William," decak Chaz.
William mendengus jengkel akan pembicaraan ini. Ia tahu, menanggapi Chaz hanya akan berakhir sia-sia. William terlalu malas mendengarkan sedangkan Chaz akan menggebu-gebu mengutarakan jawabannya. Lantas menyambar tas dan berlalu pergi adalah keputusannya.
"b******n ini!" William menangkap u*****n yang tentu ditujukan untuk dirinya dan tetap berlalu pergi. Memasuki ruang ganti di mana Rahee seharusnya.
Dan benar saja, ketika kakinya berjalan memasuki ruangan sesak riuh penuh dengan model-model memuakkannya itu, Rahee terlihat asik bercengkerama bersama Selena.
Bencana, pikir William.
Baru saja William ingin membalikkan badannya dan berjalan memutar sebelum akhirnya. "Kau merindukanku?" Inilah bencana yang di pikirkannya tadi. "Aku tak percaya kau memasuki ruangan ini dan mencariku. Ngomong-ngomong aku sudah siap."
Selena menggamit lengan William tanpa peduli tatapan sendu Rahee. Gadis itu menunduk begitu ekor mata William menangkapnya. Pastilah gadis itu salah sangka dan merasa sakit hati. Terlebih setelah apa yang mereka lakukan semalam. Walau hanya sebuah ciuman dan sentuhan toh buktinya itu membuat kewarasan William meningkat.
Siapa yang tahu jika William telah jatuh cinta pada Rahee.
"Menyingkirlah!" pinta William. Suaranya rendah namun begitu mampu mengangkat kepala Rahee yang sempat tertunduk.
"Kau ingin mengajakku pergi, kan? Aku sudah siap. Rahee baru saja merapikanku," ucapnya seraya melambaikan tangannya kearah Rahee yang di jawabnya lewat senyuman tipis.
"Apa peduliku?!" William menjawabnya ketus dan telah kembali seperti sedia kala: mulut mercon, manusia patung, irit bicara.
"Tapi aku merindukanmu," rengek Selena belum menyerah. Gadis berambut sebahu itu masih terus membujuknya meski jelas-jelas Sehun menepiskan tangannya.
"Aku tidak!" bersamaan dengan itu William melangkah pergi setelah merajut matanya dengan mata Rahee.
****
Ryan mengomel untuk kesekian kalinya. Terlihat lelaki itu mengembuskan napas frustasi karena mendapati tanggapan yang jauh dikatakan tidak mengenakan. Terlebih mendengar jawaban singkat 'pecat dan berikan uangnya' dari William kian membuatnya gusar. Wajah putihnya memerah hingga menjalar ke telinganya. Kali ini cukup, batinnya.
"Kau merusak reputasimu sendiri—astaga—aku tak percaya bisa bekerja sama dengan orang kaku sepertimu Hun!" hardiknya. Kepulan emosi benar-benar Ryan luapkan.
Dan William masih sibuk berkutat dengan laptopnya. Tanpa peduli keadaan sekitar meski badai amarah sedang Ryan kobarkan.
"Aku juga mengeluh Ryan." Singkatnya berucap, "Selena terus saja menempeliku seusai bekerja. Aku butuh model profesional—bukan sekedar berlaga di depan kamera."
"Itu karena kau memberinya kesempatan. Semestinya—"
"Dan dia pun harus tahu diri ketika aku menolaknya berkali-kali," potongnya.
Ryan tidak tahan lagi, terlebih untuk mendebat apa yang William tuturkan. Dirinya terlalu memahami William, sangat. Lelaki itu takkan membuat keputusan dua kali apalagi untuk merubahnya. Jika sempat hal itu terjadi, artinya Carolina tengah di landa badai.
Ryan mendengus. Kedua tangannya menjambak rambut panjangnya. "Terserah apa katamu. Tapi kau harus memperbaiki sikapmu mulai dari sekarang."
Bertepatan dengan itu, Rahee yang hendak masuk mengurungkan niatnya dan memilih jalan aman. Ia tak ingin menjadi sasaran empuk keketusan bosnya—bagaimana dengan kekasih?
Rahee menggeleng, memukuli pelan kepalanya agar kewarasannya kembali pulih, namun belum sempat dua langkah. "Kau!" Suara berat itu menghentikannya. Mendadak kakinya kram dan hanya menuruti seruan itu. "Berbalik dan kemari," perintahnya. Suaranya bahkan terdengar dingin meski sarat kemarahan tak terkandung di dalamnya.
Mendengar titah itu, serta-merta Ryan menelengkan kepalanya. Dan satu seringai terukir di wajahnya. "Ah, aku tahu sekarang. Jadi ini alasanmu," katanya, "Masuk Ra!"
"Kau boleh pergi Ryan. Semua hasil foto tadi sudah aku letakkan di atas mejamu." Ryan mengangguk dan berlalu pergi. Namun sebelum itu, tangan jahilnya mencolek dagu Rahee tanpa merasa berdosa.
"Aku tak ingin memanggilmu dua kali," ujar William. "Kau yang memilih berjalan dengan kakimu atau dengan kakiku?" pilihan yang sama-sama mematikan.
Seketika Rahee gelagapan dan memasuki ruangan itu. Berdiri sembari menundukkan kepalanya yang hanya terpisahkan oleh meja kokoh berukiran antik.
"Aku bilang 'kemari' Rahee. Bukan berdiri di sana." Rahee mengangkat kepalanya dan tatapan itu kian tajam. Rahang kokohnya juga terlihat mengeras seperti menggeramkan sesuatu. "Astaga ya Tuhan!" pekik William. "Kau menguji kesabaranku, ya?" tekannya.
Rahee meneguk ludahnya getir. "Aku harus bagaimana?" tanyanya, "Aku sudah menurutimu."
"Kemari Rahee—apa itu susah dan kakimu tak dapat bergerak?! Baiklah—" William berdiri dan hendak menyeret Rahee. Namun melihat reaksi tubuh Rahee yang bergerak cepat dan memutari meja kerjanya menciptakan senyum tersembunyi di bibir terlipatnya.
"Apalagi sekarang?" sekali lagi Rahee bertanya. Jari-jari tangannya terjalin mereflekkan gerakan William untuk menggenggamnya.
"Kemari, duduk di atas pahaku." Tepuknya menggunakan satu tangannya yang bebas.
Rahee tekejut mendengar itu. Mau-mau saja dirinya berada dalam buaian William, hanya saja… "Ini di kantor dan jam kerja." Vokalnya serak lantaran tenggorokannya kering. "Bagaimana jika—"
"Aku tak peduli. Kemari sayang, dan duduklah. Aku merindukanmu."
****