BAB 12

1254 Kata
Detak jantung Rahee terdengar begitu indah ketika lagi-lagi menelisik ke dalam pendengaran William. Sentuhan tangannya yang tepat terjatuh di bahu William membuat lelaki itu merasa jantungnya juga bertalu begitu hebat. Sesekali William harus menghirup udara guna mamasok himpitan sesak di paru-parunya dan meyakini jika ini semua nyata—bukan sekedar mimpi. Dan Rahee bukan sosok imajinasinya karena ini semua begitu mendadak. Rahee hadir sebagai bentuk lain dari penghubung di masa lalunya yang telah merubah dan memberinya warna baru di hidupnya. Rahee hadir dengan begitu indahnya hingga William tak mampu untuk berhenti memikirkannya. Rahee hadir dengan begitu sempurnanya. William benar-benar telah jatuh cinta kepada Rahee. Dan detik berikutnya yang William pikirkan adalah jika Rahee menghilang dari kehidupannya. William tak bisa membayangkan itu atau kembali merasakan kehampaan dan kehidupan lamanya yang datar. William ingin gadis sederhana ini berada di sampingnya, menjadi malaikatnya, dan menyentuhnya penuh kelembutan seperti sekarang ini. William memejamkan matanya—mendekapnya kuat-kuat supaya Rahee tahu bahwa ia tak bisa memulai putaran hidup selanjutnya tanpa Rahee. William menginginkan Rahee hingga rasanya menakutkan dan ia takut jika Rahee di renggut darinya—seperti apa yang telah terjadi pada ibunya. William takut sendirian lagi. "William?" Suara lembut yang memanggilnya itu terasa menentramkan hatinya. William mengangkat wajahnya dan bertemu dengan wajah Rahee. Gadis dihadapannya ini bisa mewakili perasaan yang tenggelam dalam dirinya hingga bibirnya terus-menerus mengecup bibir mungil ranum itu. Dalam hatinya bersumpah jika William tak bisa berhenti dengan ini. Keseluruhan dari organ aktifnya termasuk hati, pikirannya, dan bahkan tubuhnya menginginkan Rahee —sangat-sangat menginginkannya. Ketika tangan Rahee menyentuh dadanya disela-sela ciuman mereka, William merasakan hasrat yang membara. Dengan sigap, William menarik tangan Rahee tanpa melepaskan ciuman mereka. Hanya sebuah tangan, sedikit sentuhan namun mampu memercikkan gelombang gairah yang sejak semalam—dan lebih sial karena otaknya ingin tangan itu berada di seluruh tubuhnya, menyentuh setiap jengkalnya. William tak ingin dirinya berbatas dengan Rahee. William ingin memiliki Rahee seutuhnya. Tanpa kontrol, William menurunkan resleting di punggung Rahee hingga sebatas bahu dan menunjukkan kulit putih yang sempurna beraroma kayu manis atau apapun itu. William ketagihan menghirup aroma memabukkan itu hingga rasanya indra penciumannya tersiksa. Bibirnya berlari mengecup bahu putih itu berkali-kali dan Rahee tak menunjukkan tanda-tanda penolakan atas perlakuannya. Mata William teralih ke wajah Rahee yang sedang menatapnya intens. Mata coklat terang itu sayu nan indah—berkilat-kilat sama seperti miliknya lantaran menginginkan hal yang sama. Bibir mungil itu kini telah terpampang bengkak karena ulah ciumannya. Sekali lagi William mengutuk dirinya sendiri karena hasrat untuk melanjutkan. Tapi kesadarannya menahannya. Ia cukup menyadari bahwa Rahee pantas mendapatkan yang lebih layak tentang ini. Matanya mengerjap. William segera menaikkan lengan baju itu dan membenarkan letak resleting untuk kemudian mencium kening Rahee lama. "W-William?" William menurunkan matanya dan mendapati eksistensi Rahee yang sedang menatapnya penuh kecewa. Demi Tuhan, William sangat ingin melanjutkan. Dalam sejarah hidupnya, dirinya terlalu sulit menahan gejolak gairah yang mudah tersulut. Tapi bersama Rahee, William ingin menjaga dan menghormatinya. Ia tak ingin menjajaki kehidupan 'ranjang semalam' di masa lalunya bersama Rahee. William ingin sepenuhnya memiliki Rahee dengan cara yang normal dan bukan seperti masa-masa kelamnya. Gadis ini memengaruhinya—benar. Dalam kurun dua puluh empat jam, seolah-olah dunia William yang begitu terbatas dan dinding hatinya yang tak tersentuh tiba-tiba menguap entah kemana. Hanya karena seorang Rahee yang awalnya ingin William jadikan alat agar Lucas hancur dan merasa tidak diinginkan, justru berbanding terbalik menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena hatinya tak menolak pesona gadis ini. William tak bisa mengendalikan apapun ketika berada di samping Rahee. William tersenyum dan memajukan wajahnya mencium bibir Rahee. Gadis ini cepat belajar dan kini mereka saling membalas ciuman satu sama lain. "Jangan tunjukkan wajah itu," ucap William disela-sela ciuman mereka. Rahee melepas ciuman itu lebih dulu dengan dahi berlipat. "Apa?" Bingungnya bertanya. "Kau tahu, wajahmu mengisyaratkan cium aku dan tubuhmu mengerjarku. Itu membuatku gila." Astaga, Rahee merona, batin William. William mencium Rahee untuk menarik perhatiannya. Dan ia juga tak mengerti mengapa mencium Rahee menjadi suatu kebiasaan baru untuknya. "Aku berhenti bukan karena tak menginginkanmu. Justru karena itu aku harus berhenti lantaran sangat menginginkanmu. Kau pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik." "Tapi kau memperlakukanku dengan baik," cicitnya. William tersenyum. Kini ia menemukan jawaban yang tepat untuk alasan mengapa mencium gadis ini menjadi sebuah kebiasaan. "Aku berusaha sayang. Aku harus menghormatimu. Kau mungkin ingin mendengar ini; aku tak bisa menahan hasratku ketika berada di dekatmu." William mencium bibir Rahee lagi. "Jadi aku melakukan ini." William kembali memberikan ciuman. "Aku melakukan ini lagi." William mencium Rahee lagi, kali ini melibatkan lidah dan sentuhan penuh hasrat. "Dan aku tak bisa berhenti dengan ini." Jelas-jelas Rahee sangat responsif membuat William menyukainya. William memundurkan wajahnya guna melanjutkan kalimatnya yang menggantung. "Aku menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar ciuman. Aku ingin menciummu di manapun." "Aku ingin dicium di manapun olehmu William," gumamnya. Respon yang Rahee lontarkan membuat William senang tapi ini bukan apa yang di harapkannya, ini bukan hanya hasrat yang terlibat. Ada banyak hal yang harus William pertaruhkan. "Kau harus lebih mengenalku. Bisa saja aku tak baik untukmu atau aku tipe lelaki yang tak akan basa-basi tentang sebuah hubungan." William menggeleng. "Aku tak memiliki waktu untuk itu. Seperti katamu, aku ini menyebalkan dan tidak romantis. Kau membuatku sangat menginginkanmu, kau juga membuatku ketakutan dalam satu waktu sekaligus." William tertawa pelan. "Aku yakin kau bisa membaca sikapku Ra. Aku juga bukan orang yang mudah mengalah ketika menginginkan sesuatu—sama seperti sekarang ini: sangat-sangat menginginkanmu." Rahee menunduk, menyembunyikan wajahnya yang kian merona. Lelaki ini sepenuhnya benar dan Rahee juga mengharapkan hal yang sama. "Aku pasti terbawa suasana," lirih Rahee. "Kau benar. Kita harus saling mengenal. Tapi William, apa kau tahu?" Rahee mengangkat kepalanya dan memandang netra madu itu. "Kau menjungkir balikkan duniaku dengan ikatan ini. Ini pertama kalinya bagiku dan apa kau marah jika aku katakan aku sangat terberkati dengan ini?" William menggeleng seraya menampilkan senyum yang hanya Rahee sendiri yang tahu seperti apa menawannya ketika bibir itu tertarik ke kanan dan ke kiri. "Aku bahagia kau membalas perasaanku. Aku menjatuhkan hatiku tepat digenggaman tanganmu Rahee. Dan aku tak pernah goyah berada dititik ini meski kita harus saling menyadari keinginan masing-masing." "Aku ingin menyentuhmu," bisik William. "Di sini." William menjalankan telunjuknya menelusuri leher Rahee, terus menurun ke dadanya hingga William bisa merasakan detak jantung kencang milik Rahee. "Di sini." Telunjuknya terus turun ke perut Rahee membuat kedua matanya terpejam menikmati sentuhan William di balik bajunya. Telunjuk William tiba di bawah perut Rahee dan dapat lelaki itu rasakan napas Rahee yang tercekat mana kala William menyentuh intinya dari luar. Gairah pun menggeliat dalam diri William dan bersusah payah mengendalikannya. "Juga di sini. Di tempat yang panas ini. Aku membayangkan banyak hal fantastis yang bisa aku lakukan di sini." Rahee membuka mata menatap William seraya menelan ludah. Keduanya sama-sama terbakar. Pikirannya bertarung. William dengan segala tekanan kuat menahan naluri dengan akal sehat dan Rahee yang menunggu William bertindak. William tersenyum lagi. "Aku tak sabar menantikan itu. Bagaimana denganmu?" "Aku juga," jawaban Rahee yang seperti bisikan itu membuat William semakin menarik bibirnya. "Tapi, mengapa kita tidak melakukannya sekarang?" tanyanya dengan tatapan melayang ke bibir William. Siapa yang menyangka jika pertanyaan itu terlontar dari mulut Rahee. Raut polosnya sama sekali tidak sesuai dengan kalimatnya membuat William ragu soal konteks yang Sehun bicarakan. "Ini aneh William. Aku sangat ingin di sentuh olehmu." Perlahan, William menarik tangan Rahee dan merajutkan jari-jari besarnya di antara jari mungil Rahee. Menggenggamnya erat tanpa menyakiti tangan mungil itu lantas menciumnya lama. Meresapi setiap kelembutan kulit yang menempel pada bibirnya. "Nantinya kita tidak hanya saling menyentuh. Melebihi itu kita akan saling memiliki." ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN