BAB 10

1999 Kata
Tuan Wu datang. Namun ketegangan yang tercipta antara William dan Lucas belum juga mereda. Pria berumur 50-an itu membuka koper yang di tentengnya dan mengambil beberapa berkas di dalamnya. Kemudian mengedarkan pandangan manatap satu per satu wajah tak asing yang menjadi topik malam ini. Tuan Wu mengangguk sebentar begitu bertemu pandang dengan mata Austin. "William telah merinci semua aset dan harta kekayaannya sekitar enam bulan yang lalu. Dalam kondisi yang sehat dan betul-betul sadar," katanya, "jelas terlihat di sini—di surat wasiat ini ada tanda tangan William juga stempel perusahaan yang menyetujui keabsahan surat beserta isinya yang artinya dokumen resmi—mutlak sah—secara hukum tanpa sedikit pun bisa di rubah," lanjutnya. "Mengenai nominal semuanya tidak tertera di surat ini tapi pengukuhan posisi dan siapa yang menerimanya tidak bisa lagi di rubah. Satu aset tersembunyi hanya akan di terima oleh satu dari keempat anaknya. Dan akan digunakan bersama mengingat pasang-surut perusahaan." Tuan Wu menjeda. Menyeka keringat dan mengusap kerongkongannya yang kering. "Untuk Nyonya Bradley, rumah dan apartemen serta dua mobil sport yang William hadiahkan sepenuhnya milikmu. Selanjutnya untuk keperluan lainnya, Tuan Austin akan memberikan rincian setiap bulan tanpa melebihkan nominalnya. Semuanya telah tercatat rapi di surat ini. Kau tak bisa meminta seperti apa yang menjadi keseluruhannya. Karena semua rincian tertera di sini." William mendengar jantungnya sendiri berdetak tak menyenangkan. Jika keseluruhan kekayaan ini tak jatuh di tangannya maka pengorbanan yang kelewat batas ini hanya sia-sia belaka. Tapi William juga berpikir pada Mikaela dan jabang bayi di perut Alaina jika ia tak menggenggam kendali di perusahaan. William menatap wanita itu. Gurat ketidakterimaan jelas terlukis di sana. Begitu pembacaan wasiat ini selesai, William menjamin wanita itu akan meledak-ledak. "Selanjutnya adalah pembagian untuk perusahaan dan aset-aset lainnya. Ini tak bisa di bagi rata, karena William pemilik sah-nya." Kepala William terdongak. Matanya membulat tak percaya. "Lalu Austin yang mengelola serta Lucas dan Jazzy yang di ijinkan membantu Austin mengelola—" "Jazzy masih terlalu kecil—sepuluh tahun," potong Lucas. Diam-diam lelaki itu merasa lega. William tak mencantumkan namanya dan Jazzy untuk memikul beban ini. "Benar. Tapi sekali lagi; keputusan ini tak bisa di rubah. Kau dan Jazzy masih menikmati seutuhnya harta William karena bagaimana pun kalian anak-anaknya," jelas Tuan Wu. "Dan William mendapatkan bagian itu sekaligus memegang jabatan tertinggi di perusahaan bersama Austin hingga mendapatkan penerus selanjutnya yang berpotensi." "Ini terlihat tak adil." Wanita itu bersuara. "Aku istri sahnya—Lucas dan Jazzy juga anaknya—tapi mengapa hanya mereka berdua yang mendapat bagian paling besar!" cecarnya. "Aku juga akan mengeluh jika bisa, Bradley," tukas William. "Harta kekayaan Anderson ada dalam perusahaan dan aset. Perusahaan itu yang akan mempertahankan kehidupan keluarga sampai generasi mana pun—" "Kita tidak semiskin itu mama," sambar Austin. "Lucas dan Jazzy diijinkan menikmati semuanya." "Tapi darah p*****r tetap ada dalam aliran nadi kalian!" kecam Bradley. William dan Austin bersamaan berdiri untuk menerjang Bradley, namun Aliana dengan sigap menghalangi keduanya. "Bradley memancing kalian. William, kendalikan emosimu. Kekerasan takkan mengakhiri semuanya." "Kau bisa mengataiku apapun tapi tidak dengan ibuku!" seru William. "Pergilah ke nereka!" balas Bradley. "Kau pikir aku sedang berada di mana? Keluarga ini bisa lebih di katakan dari neraka!" geram William mengepalkan kedua tangannya. Suasana kembali hening. Tuan Wu telah bersiap untuk pergi sebelum, "Bagaimana jika aku melepasnya? Bagaimana jika aku tidak mau menerima warisan ini? Kenapa nama Mikaela dan jabang bayi tidak tertera di sana?" tanya William. Tuan Wu mengulas senyum tipis. "Suka tidak suka, mau tidak mau kau tetap akan memikulnya Sehun. Kau dan Austin keturunan pertama William. Dan memang, ada peraturan baru yang tidak tertulis namun keabsahan isinya dipertanggungjawabkan. Terkait Mikaela dan jabang bayi akan di bacakan hak-hak khusus," jelasnya meski ketegangan di keluarga ini memang menyedihkan. William mengernyit, "Hak khusus?" Tuan Wu mengangguk. "Jika terjadi kekosongan di perusahaan, Mikaela akan langsung menempati posisi menggantikanmu dan begitu seterusnya. Itu juga berlaku nantinya untuk anak-anakmu William." "Dan laki-laki keturunan pertama yang akan menempati posisi itu." William menebak. "Sepenuhnya harus keturunanmu dan Austin," jawab Tuan Wu. "Terkait Lucas—" "Aku sudah cukup mendengar." William melangkahkan kakinya menuju pintu. "William!" pekikan suara cempreng itu kini tak hanya berisi satu namun dua. "Kau akan pulang? Aku akan ikut denganmu." William mendengus sekali dan memposisikan tubuhnya berjongkok guna mensejajarkan tingginya pada dua bocah itu. "Siapa yang akan ikut denganku?" tanya William. Keduanya serempak mengacungkan jari tinggi-tinggi dengan mata berbinar. "Maka terkabul," jawab William. Baik Mikaela maupun Jazzy segera meringsek maju dan melingkarkan kedua tangannya di leher William, menciumi pipi lelaki tinggi itu tanpa peduli krim yang mengotori wajahnya. "Kenapa kalian seperti puppy yang baru pipis?" ejek William. "Di mana bibimu Kaela?" Mikaela nampak berpikir. "Dia memakan udang di sana," tunjuknya yang langsung tertangkap oleh mata madu William. Kelucuan yang Rahee perlihatkan membuat William tersenyum. " William, kau tersenyum," ucap Jazzy memajukan bibirnya sekali lagi. **** Rahee menyadari perubahan sikap William. Setelah bertemu—entah siapa—yang berada di ruang kerja bersama Austin dan Lucas. Rahee juga tak mengerti mengapa sikap William begitu berjarak pada Lucas sedangkan secara teknis mereka adalah saudara. Meski ketidakmungkinan yang William sanggahkan, Rahee tahu, Lucas mencoba menyentuh lelaki dingin itu. William menjadi diam dan menyebalkan. Hal itu tentu merusak suasana hati Rahee yang telah mati-matian berusaha menikmati pesta. Dia terlihat dingin dan tidak ramah. William tidak tersenyum seperti sebelumnya ketika mereka akan menuju ke rumah Austin. Padahal atmosfernya lain ketika mereka akan berangkat dan bahkan tiba di sana. Dapat Rahee hitung jika William sudah banyak tersenyum dan sesekali tertawa. Sekarang pun hingga William memarkirkan mobilnya di halaman luas sebuah mansion dengan penerangan cahaya yang gemerlap dan mewah, tak ada pembicaraan yang berarti. Rahee mencoba mendorong William berbicara, tapi lelaki itu seperti sibuk dengan dunianya sendiri hingga tak seorang pun menyentuhnya. Tiba-tiba Rahee merasa frustasi karena tidak mampu menghadapi William. Memang ya, tangan William masih menggenggam tangannya sampai mereka memasuki rumah mewah itu. Dan ketika seorang pelayan menyapanya, ekspresi wajah William benar-benar datar. Genggaman tangannya—entahlah harus bagaimana Rahee jelaskan. Apakah ini sebuah bentuk kebiasaan baru lelaki ini atau memang tangannya yang hangat lantas menghantarkan kenyamanan tersendiri untuk lelaki dingin ini. Suasana rumah ini sepi. Beberapa ruangan yang terlihat jelas oleh mata Rahee telah temaram lantaran lampu-lampu mewah itu di padamkan. Dan William jauh lebih dingin dari rumah ini. Rahee baru ingin mengucapkan salam perpisahan ketika genggaman tangannya terlepas dan William memasuki sebuah ruangan yang di yakininya ruang kerja—tanpa mau menatapnya lagi. Catat itu! William bersikap menyebalkan dan seolah-olah dirinya tak ada di sana. Rahee membenci itu. Rahee tak akan mencoba mengerti soal masalah keluarga atau apapun itu yang terlihat pelik. Rahee bukan siapa-siapa untuk andil ikut serta dalam masalah itu. Tapi Rahee benci diabaikan dan sikap William yang mendadak berubah lalu dirinya yang terkena imbasnya. Boleh saja jika William ingin menunjukkan sikap menyebalkannya itu pada orang lain tapi Rahee tak suka William bersikap demikian seolah-olah dirinya adalah orang lain. Tidak ketika Rahee menjadi saksi betapa indah dan menawannya senyum seorang William. Bibir Rahee mengerucut sebal karena William benar-benar acuh padanya. Tidak mengatakan apapun, tidak ada terima kasih, maupun ucapan selamat malam untuk mengakhiri malam mereka. Apa Rahee baru saja berharap lebih? Astaga. Persetan saja jika Rahee akan dikatai tergila-gila pada bos dinginnya itu, tapi ditinggalkan di depan sebuah pintu—kali ini sungguh tidak sopan. Beruntung pintu mahoni cokelat itu masih bersisa sedikit sehingga memudahkan Rahee untuk mengintip. Hatinya tak bisa lagi menahan dan mendorong pintu itu. Tak peduli soal kesopanan karena William jauh lebih tidak sopan dengan mengacuhkan dirinya sepanjang malam. "Apa yang kau lakukan?" William mengernyit galak. Suaranya berat, tegas, dan dingin. "Aku yang seharusnya menanyakan itu!" cecar Rahee. "Kau mengacuhkanku sepanjang malam sedang aku sendiri tak mengerti apakah ini salahku atau sesuatu lainnya yang telah terjadi." Ketegangan terjadi di antara keduanya sementara raut wajah William sama sekali tak bersahabat. Dan Rahee bersiap membalas perlakuan tak menyenangkan William saat ini. "Kau tiba-tiba berubah dan aku tak tahu mengapa. Terlalu banyak yang terjadi hari ini—terlebih kau yang tiba-tiba mengikatku secara paksa untuk menjadi gadismu. Kau menyeretku untuk bergabung dalam pesta Mikaela. Kau juga mendadak menyenangkan dengan senyum dan tawamu. Lalu seketika kau menjadi menyebalkan dengan mendiamkanku." Rahee mengungkapkan himpitan dadanya yang sejak tadi di tahannya selama di mobil. "Setidaknya kau bisa memberi tahuku di mana letak kesalahanku dan apa yang telah aku perbuat. Aku mungkin sedikit norak karena ini adalah pesta pertamaku selama dua puluh tiga tahun di hidupku. Aku akan baik-baik saja jika kau ingin menyingkirkanku tapi yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakan padaku. Bukan mendiamkanku!" Rahee mengutuk mulutnya lantaran menyampaikan kata-kata yang kurang tepat. Di tambah raut wajah William yang kentara tegang dari sebelumnya—jelas-jelas terlihat sedang marah. Sebagian diri Rahee menyesali apa yang baru saja di katakannya namun yang separuhnya lagi berusaha bebal dan mengeraskan diri. Rahee tengah memikirkan kata-kata tambahan apa yang perlu ia lontarkan untuk mencecar William. Tetapi Rahee tak memikirkan apa yang perlu dilakukan ketika William mendorongnya ke dinding seperti sekarang ini, kemudian meraup bibirnya seakan-akan ingin di telannya. Ciuman kali ini berbeda—jelas berbeda. Di bandingkan dengan beberapa hari yang lalu, ciuman ini ganas dan brutal. Yang mengesankan, Rahee justru senang bukan kepalang karena William melakukan ini lagi padanya. Suara berdebum hadir di antara mereka dan Rahee tak melihat pintu tertutup sementara keduanya sibuk mencecap satu sama lain. Hanya William dan Tuhan yang tahu bagaimana anggota tubuhnya mampu membanting pintu. Rahee merasakan lidah William yang aktif bergerak di bibirnya. Dorongan lidahnya terlalu kuat seolah memaksa masuk. Lantas Rahee membuka bibirnya secara naluriah yang terasa kuat jika William menunjukkan tanda-tanda semakin terbakar hasratnya. William melepas setelannya tanpa melepas ciuman mereka. Spontan—tangan Rahee berusaha membantu melonggarkan dasi yang melilit di kerah William, tanpa peduli apakah William setuju atau tidak. Namun suara geraman yang teredam membuat Rahee tahu jika Sehun menyetujui perlakuannya. Lengan besar William merengkuh Rahee. Jemarinya menelusuri tubuh Rahee. Sentuhannya seperti sengatan yang menyenangkan dan tak mampu Rahee deskripsikan. Membuat tungkai Rahee melemah seiring sentuhan yang William hantarkan secara intim. Rahee mulai berharap lebih bahwa ia ingin jari William tak hanya dilengannya saja. Rahee ingin jari itu menyentuh setiap jengkal tubuhnya. Rahee tak pernah merasa ingin disentuh seperti sekarang ini. "William..." lenguhan pun tak mampu Rahee tahan seiring sentuhan panas itu. Tubuhnya panas—terbakar—dan Rahee hanya mampu memejamkan matanya seraya menikmatinya. William membuka rambut, memiringkan kepalanya dan meninggalkan tanda kepemilikan di lehernya yang telah diincarnya. Reaksi tubuh Rahee menggebu-gebu mendambakan sentuhan William. "Aku ingin menyentuhmu, Rahee," bisik William di lehernya membuatnya mengerang penuh nikmat. "Aku ingin menyentuhmu di mana pun. Apa yang telah kau lakukan padaku Rahee?! Kau membuatku gila—demi Tuhan aku tak pernah merasa seperti sekarang ini seumur hidupku." Batin Rahee bersorak. Ia senang William —malaikatnya—kini telah kembali membawa dirinya melayang dengan kata-kata manis. Sejujurnya, Rahee mengakui jika William berhasil menyentuh dinding hatinya. Mencairkan batu keras yang bertahun-tahun membentengi hidupnya. Rahee, sedetik pun tidak membuka matanya. Ia tak ingin keindahan ini berakhir. Dapat Rahee rasakan, William mencium telinganya, membisikkan kata-kata betapa dia menginginkan dirinya. Kembali mulut William mencium lehernya dan ciuman itu terus merambat hingga ke bahu telanjangnya. Membuat Rahee merapatkan tubuhnya ke William karena begitu menginginkannya. Yang jelas ia tak ingin William berhenti menyentuhnya. Lengan Rahee melingkari leher William dan di balas dengan rengkuhan di pinggang rampingnya. Bibir mereka bertemu lagi dan geraman nikmat terdengar memenuhi ruangan ini. Kini Rahee tahu bagaimana membalas ciuman. Ia tahu cara menikmati lidah yang saling menggoda dan sentuhan disela-sela ciuman keduanya saling membakar. "Kau cantik Rahee," kata William. "Aku tak bisa berhenti dengan ini." "Jangan berhenti." Rahee tak benar-benar menyadari apa maksud ‘jangan berhenti’. Namun kata-kata itu terdengar mengerikan di telinga William. William menyandarkan dahinya ke dahi Rahee. Berusaha mengembalikan udara ke paru-paru mereka dalam sebuah keheningan. Atmosfer di antara keduanya berubah menjadi melankolis. "Jangan pergi," bisik William lirih. Suaranya sarat akan kesakitan membuat Rahee tak sanggup mendengarnya. "Aku ingin kau di sini. Bukan karena kau buruk atau karena ini acara pesta pertama kalinya dalam hidupmu. Tapi, aku juga tidak tahu, aku hanya menginginkanmu." ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN