“Rumit, ya?" Lucas memulai. Membuka pembicaraan setelah hening berkepanjangan. Paginya tentu tak pernah menjadi pagi yang terbaik. Paginya tak pernah menjadi pagi yang selalu terwujud sesuai keinginannya. Dan pagi kali ini, ia kembali menyambangi kediaman kakak panutannya. Kakak yang sayangnya tak pernah menganggapnya ada. Namun entah mengapa Lucas tetap memujanya. Lucas tetap mengikuti setiap hal bahkan hobi yang di gandrungi lelaki ini. Lucas tahu, semua ini menitik beratkan mentalnya, bukan hanya dirinya tapi juga berdampak pada orang lain. Dari semua penjabaran itu, Lucas mengagumi William dengan caranya.
"Aku tak pernah ingin dilahirkan," sambungnya, "Seperti ini." Kedua matanya terpejam lalu sedetik kemudian terbuka. Mata bening itu berkaca-kaca menahan guliran bening untuk terjatuh. "Aku tahu ini rumit dan salah. Tapi aku, mama, dan Jazzy sekali saja tak pernah berharap untuk semuanya. Atau sekelumit masalah yang papa tinggalkan dan pembagian warisan ini. Posisiku membutuhkan pengukuhan dan aku tak pernah ingin itu terjadi," ujarnya seraya menerawang jauh. Menyelami kelam mata madu milik William yang terlukis jelas sejuta kesakitan di dalamnya.
Hatinya tak memungkiri ingin berada dalam pelukan William, sekali saja seumur hidupnya. Dan jika ada sebuah keajaiban dari hal yang diinginkannya di dunia ini, ia ingin memeluk William meski hanya satu detik.
Barulah William mengangkat kepalanya. Sudut bibirnya menyeringai disertai decihan yang kentara jelas terdengar. "Tak pernah ingin, ya?" tekannya bertanya. Buku-buku jarinya memutih menahan kepalan akibat luapan emosi yang membuncah. "Tak pernah ingin?" ulangnya sekali lagi. Giginya mengerat, rahangnya mengeras. "Itu terdengar amatir, ngomong-ngomong. Apa aku tak salah dengar?!" Drama mengagumkan di akhir musim semi, tawanya nyaring terdengar. "Tapi ibumu manikmati harta itu, nak."
Lucas mengerjapkan matanya sekali. Luruh, hanya itu yang di rasakannya mana kala segulir air asin membasahi pipinya, mengecap di indra perasanya. "Kau berhak memperlakukanku tak adil. Tapi Jazzy tetaplah Jazzy. Dia begitu mengagumimu, William. Dia begitu menyayangimu dan setiap detiknya menanyakanmu. Darah papa tetap mengalir di nadinya—"
"Menyumbangkan satu s****a lagi bukan berarti mengartikan sebuah pengakuan," potongnya, "Seingatku, aku tak pernah mengucapkan ataupun menganggap kalian adikku. Karena kalian bukan bagian keluargaku. Hanya Austin, jadi berlindunglah di bawah ketiaknya." Sekarang Lucas ingin menangis.
Kalimat William benar-benar menohok dan membekas di relung hatinya. Dan selemah ini pun Lucas belum ingin menyerah. Lucas terlalu menyayangi William melebihi apapun yang ada di dunia ini. Meski lelaki itu tak pernah mengakuinya sekali pun. Lucas tetap menjadikan William idolanya.
"Mengapa?" tanyanya dengan suara bergetar. Lucas yakin William mendengar suaranya yang bergetar. "Kau membenciku dan Jazzy sedang kau tahu aku tak pernah mengharapkan untuk berada di kondisi seperti ini. Aku tak pernah meminta di lahirkan dalam keluarga ini," katanya, "Aku dan Jazzy tetap mengagumimu dan terutama aku; aku berjuang mengikutimu William. Aku berusaha untuk memukau di depanmu lewat prestasiku. Karena aku percaya kau akan luluh. Aku menyukai basket, skateboard, aku memainkan alat-alat musik yang sama sepertimu meski bakat itu tidak lahir secara naluriah. Aku memohon pada mama untuk mengikuti semua hal yang kau lakukan, apapun itu, karena aku ingin kau bangga padaku. Aku masuk di universitas yang sama sepertimu, berada di fakultas dan jurusan yang sama—"
"Maka berhentilah!" bentak William. Suaranya meninggi membuat beberapa pasang mata menoleh. Dalam benak mereka, lagi dan lagi badai akan mengguncang kantor, "Berhentilah sebelum aku berucap dua kali. Kau dan adikmu itu seperti penguntit. Aku bisa menuntut kalian meski kuasa ayahmu takkan menghasilkan apa-apa bagiku. Aku butuh bernapas dan bebas. Berhentilah Luc! Aku membencimu, Jazzy, dan orang tuamu—termasuk ayahku yang sialnya satu DNA denganmu!" William mendengus. Lidahnya terasa kelu menyebut b******n itu 'ayah'. Dadanya naik-turun tak beraturan pertanda gemuruh emosi yang membelenggu.
Sekali lagi William melemparkan tatapan tajam itu tepat di mata Lucas. Hazel matanya tak jauh berbeda seperti miliknya. Jika di amati lebih seksama, baik Austin dan Lucas; ia seperti bercermin pada sebuah kaca. Karena cetakan itu tak memiliki celah berbeda. Mereka bertiga sama. Mereka satu s****a. Mereka bertiga ada karena satu b******n itu.
William memejamkan matanya. Hatinya terasa sakit. Matanya memanas namun mati-matian William menghalaunya. Ia tak pernah ingin satu orang pun yang mengetahui kelemahannya.
"Aku mencoba dan aku tetap memujamu William. Aku berhenti dan itu menyiksaku. Dan, apa kau tahu, walaupun kau berlaku kasar pada Jazzy, setiap terbangun, dia selalu bertanya tentangmu. Jadi—"
William membuka kelopak matanya, mengerjap sekali lantas berdiri membelakangi Lucas. Menyapukan ke seluruh pemandangan kota yang berada di luar gedungnya. Dan bersamaan dengan itu, air matanya menetes; sama seperti tahun-tahun pertama saat ibunya yang meninggalkan dirinya dan Austin.
"Kau selalu tahu jawabanku! Aku tak pernah merubah semua keputusan yang telah aku buat. Mungkin, sekali saja dalam hidupmu kau harus merasakan arti penolakan dan tak diinginkan. Itu terdengar sama, kan? Tapi coba telusuri maknanya," termasuk gadis yang menjadi pembimbingmu. Aku akan membuatmu tak diinginkan olehnya. Sama seperti ketika b******n itu membuang ibuku dan Austin.
****
Rahee menjalankan jemarinya ke bibir. Ia mengingat ciuman yang William berikan beberapa hari yang lalu. Dengan kelopak mata yang memberat, kepalanya sesekali terantuk menahan kantuk, satu-satunya yang Rahee harapkan saat ini adalah kembali ke adegan itu lagi dan ia berharap tahu caranya membalas ciuman dan membuat momen ciuman pertamanya menjadi lebih manis dan layak.
Demi Tuhan! Itu adalah ciuman pertamanya. Seharusnya itu menjadi momen terbaiknya. Momen di mana ia sendiri takkan pernah melupakan kejadian itu. Momen di mana ia harus memutar secara berulang kejadian itu. Tapi apa yang dilakukannya?
Rahee mengutuk dirinya sendiri karena ketololannya. Dirinya benar-benar seorang i***t dengan perkara tak bisa membalas ciuman terlebih itu yang pertama baginya.
Namun tiba-tiba kepalanya terdongak secara spontan. Ia mengingat sesuatu: kenapa ia sangat ingin bisa membalas ciuman itu? Kenapa ia sangat mengharapkan kejadian itu terjadi lagi dan kali ini Rahee ingin memimpin ciuman itu. Dan kenapa bosnya itu begitu kehilangan kendali? Bosnya itu memojokkan dirinya di dinding dan menciumnya singkat penuh hasrat.
Rahee memukul kepalanya. Mencoba mengenyahkan bayang-bayang dan harapan gilanya—terlihat mustahil. Tapi harus sebelum ia berubah menjadi gila. Atau memang sudah gila.
Rahee mengerang. Memukul kembali kepalanya tanpa sadar jika sepasang mata madu memperhatikannya sedari tadi. Sudah lebih dari sepuluh menit mata elang itu terduduk di balik kemudi dengan seulas senyum yang tak pernah di tampilkannya. Bahkan saat ini pun, di kegelapan malam, tersapu sepoian angin malam, dan remang-remang cahaya lampu yang menembus masuk pun tak bisa menyaksikan senyum indah itu. Meski hanya seulas, dan tertahan selama beberapa detik—itu adalah senyum termanis yang seumur hidup tak pernah orang lain melihatnya.
Senyum itu milik William.
Lelaki dingin itu terkekeh pelan. Menggelengkan kepalanya diiringi derak tawa tertahan di tenggorokannya. Matanya menyipit menambah eksotis hazel madunya yang kian mencerah akibat pancaran cahaya lampu jalanan.
Dan di sini dirinya. Di dalam mobil—seperti penguntit—duduk berjam-jam mengawasi targetnya.
William ingin mengucapkan sebuah kalimat: cinta, mengagumi, obsesi.
Tidak! Ia tidak ingin menyimpulkan seawal ini. Ia tak ingin kejadian yang sama membawanya pada rasa sesal yang tak berujung. Cukup untuknya terjebak masa lalu; terbuang, tertolak, tak diinginkan.
Semuanya memiliki arti yang menyakitkan. Entah bagaimana definisinya namun William tak ingin gegabah mengambil langkah.
Jadi, setelah berpikir panjang, memecahkan spekulasi terburuk—lalu menekan dadanya bahwa hal buruk sekali pun akan menjadi positif jika logikanya yang bertarung.
Langkah berikutnya hanyalah mendekat. Mengucapkan hai—itu terdengar bukan gayanya yang menyukai basa-basi—tapi kali ini Sehun akan belajar.
"Baiklah William," katanya menyugesti dirinya sendiri. Telapak tangan besarnya berkeringat dan berkali-kali William menyatukan telapak tangan itu untuk saling bergesekan meredam kegugupannya. "Kau hanya perlu mendekat, berjalan, berhenti, berdiri di depannya dan hai. Astaga aku nyaris gila karena ini," gerutunya.
Ketika William membuka pintu mobilnya dan menutupnya secara perlahan, berjinjit untuk tak menimbulkan suara akibat ketukan sepatu dan aspal yang di jatuhi dedaunan menguning, sebelum langkahnya tepat di depan gadis itu dan ketika William mati-matian mengatur nada suaranya agar tetap stabil kesialan benar-benar tak dapat di cegahnya; Rahee tertidur.
Catat itu; Rahee tertidur dengan posisi terduduk dan tangan yang bersender pada ujung tangga teras rumahnya.
William mendengus. Memalingkan wajahnya menghalau geraman yang menyangkut di tenggorokannya. Tapi siapa sangka jika otak cerdasnya cepat-cepat mengirim sinyal.
Secerah awan di awal musim semi, wajah William terlihat sumringah. Alis tebalnya terangkat satu menandakan kepuasan dalam mencapai tujuannya.
"Hal baik." Tangannya menyugar rambut pirang gelapnya. "Dia cantik sekali," ucapnya mendekatkan wajahnya hingga aroma mint dan parfum maskulinnya menggelitik penciuman Rahee.
Belum sempat bertindak jauh untuk menegakkan badan atletisnya, kelopak mata Rahee bergerak sebelum kemudian ia membuka mata. Rahee mengerjap beberapa kali kalau-kalau salah jika dihadapannya ini pasti mimpi. Tapi setelah hitungan detik yang berlalu, sosok itu memang nyata. Bahkan aroma parfumnya tak berbeda, masih sama seperti ciuman pertamanya yang membekas.
"Bos?!" panggilnya dengan suara parau. Lelaki itu segera menjauhkan wajahnya lantaran tersentak kaget. "Kau di sini? Apa yang kau lakukan?" Rahee berdiri, merapikan dressnya yang sedikit tersingkap sampai ke pahanya. Matanya menatap William yang gelagapan.
"Astaga!" pekiknya keras. "Kau ingin mencuri di daerahku?! Ya Tuhan! Kau!" cecarnya menunjuk William dengan jarinya. "Kau salah alamat jika ingin merampok di sini. Lihatlah ini semua. Ini bahkan tak lebih dari rongsokan yang layak di daur ulang."
William memutar matanya. Yang benar saja, tuduhan gadis itu sama sekali tak masuk akal.
"Aku hanya melintas," kilahnya berbohong. "Dan aku baru saja melihat sosok bayangan hitam masuk ke pekarangan rumahmu. Aku mencoba mengejarnya karena gerak-geriknya mencurigakan.” Bagus! Sekarang mulutnya benar-benar terkutuk. Menuturkan apa yang tidak dilakukannya.
Sedang Rahee, sejak bibir itu bergerak menyuarakan jawabannya, fokus matanya tak lepas sedetik pun dari bibir s*****l yang beberapa hari lalu membungkamnya, meraupnya penuh hasrat.
Hal itu tak luput dari pengamatan William. Dalam hatinya berdesir mendapat tatapan segairah itu hingga seringai licik melintasi otaknya.
"Pilihanmu Rahee: ikut bersamaku atau mencoret surat permohonanmu di agensiku. Aku mengancam sekaligus memaksa," bisiknya.
[]