William tahu, Mikaela bukan tipe bocah pemilih ketika bertemu orang baru. Dia cenderung terbuka dan mudah bergaul berbanding terbalik dengan dirinya dan Austin. Dulu, masa kecil mereka hanya di habiskan di sebuah kedai roti reyot milik kakek dan nenek angkatnya.
Dan semua yang di dapatkannya kini adalah bukti nyata kerja kerasnya membangun segala sesuatunya dari nol. Berdiri sendiri di atas rasa benci yang mendarah daging dan dendam yang tak berkesudahan bahkan setelah ayahnya tertimbun tanah.
Semua ini rasanya belum adil. Semua ini belum William rasakan cukup apalagi puas. Hatinya belum sepenuhnya rela mana kala perputaran waktu tiba-tiba saja berhenti.
Ibunya yang meninggal dan kehidupan seolah-olah menjungkir balikkan dunianya bersama Austin untuk ikut serta dalam permainan ayahnya. Menjadi boneka ayahnya dan memasang topeng sedemikian apik demi menjaga kendali dirinya. Dan siapa sangka? William jauh lebih lihai mempertahankan topengnya selama bertahun-tahun ketimbang Austin demi memegang tangga kuasa perusahaan.
Meski agensi William beriri atas keringatnya sendiri, namun pengakusisian guna memperkuat kerja kerasnya patut membuatnya berbangga diri.
Hanya bermodal hobi semasa kuliah dulu, nyatanya kini agensinya benar-benar berkembang pesat, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama baik di Amerika maupun Eropa. Bahkan melebarkan sayapnya hingga ke kancah Asia. Bukan tak mungkin jika perusahaan miliknya akan merajai pasar international dan mengalahkan perusahaan pesaing lainnya.
Tak mengapa jika sebagian rekannya beranggapan agensinya mendapat kucuran dana dari perusahaan Austin—peninggalan mendiang ayahnya, namun William yakin jika Austin akan menyumpal mulut-mulut tikus itu dengan tatapan tajamnya.
William patut berbangga diri sekarang. Ia menikmati setiap hasil kerja kerasnya diumur yang terbilang muda. Meski kenangan semasa kecilnya hal terburuk sekali pun, baginya itu hanyalah proses.
"Kau datang," kata Austin dengan suara beratnya.
William melepas kontak matanya yang sejak tadi memperhatikan Rahee dan Mikaela secara tidak rela. Ia membalikkan badannya dengan satu tangannya seraya mengangkat gelas winenya.
"Aku tidak akan melewatkan sesuatu yang penting untuk Kaela."
Austin melirik Rahee yang terlihat akrab bersama putri sulungnya.
"Gadisku," jelas William mengikuti kemana arah lirikan saudara kembarnya itu.
"Kau tak mengenalkannya padaku?" tanya Austin tersirat nada sarkas di dalamnya. "Katakan padaku?! Ini bukan soal matanya atau senyumannya yang hampir sama, kan?"
William berusaha memasang senyumnya. Matanya kembali terjalin pandang dengan milik Rahee. "Aku katakan ya, tapi jawabanku tidak. Lagi pula, kau telah lebih dulu mengenalnya."
Austin tergelak sembari menggelengkan kepalanya. Adiknya ini sungguh keterlaluan, pikir Austin. Tapi tak ayal membuatnya senang. Tentu Austin mengetahui siapa Rahee yang malam ini menjadi pasangan—gadis—saudara kembarnya ini. Astaga! Pekiknya, lelaki ini serius mengabulkan permintaan putrinya dengan hadiah bibi baru.
"Dasar kolot! Kau itu konvensional, tidak romantis Hun!" cibirnya. Meski begitu Austin merasa lega. Seakan-akan beban yang belasan tahun menghimpit rongga dadanya terlepas—melonggar. Sejak hari itu, setelah kepergian ibunya dan Anabella, di mulai dari rasa pedulinya yang diam-diam mematai Austin dan segala gerak-geriknya, Austin tahu dan memberi kesimpulan jika William telah jatuh cinta kepada gadis bernama Rahee ini.
"Tutup mulutmu!" sergah William.
"Apa yang kalian lakukan?!" pekik Alaina yang baru saja datang. "Jangan berkata kasar di depan putriku William!"
"Rasakan."
William melotot menatap Austin. "Bukan aku yang berkata kasar Alaina."
"Sudah kubilang William itu kolot dan konvensional—"
"Kau juga! Kau dan dia sama saja. Jadi jangan turunkan keburukan itu pada putriku."
"Dan aku tak bisa mendebat wanita hamil," celetuk William sekenanya.
Kini berganti Alaina yang melotot. Mata biru cerahnya membulat dengan bibir mencebik sebal. Satu tangannya segera mengusap perut buncitnya dan tangan satunya menggamit lengan kekar Austin. Menggusalkan wajah muramnya di balik setelan kemeja elegan itu.
"Dia mengejekku," adunya. Bawah matanya telah lebih dulu tergenang bening air mata. "Aku pasti terlihat jelek seperti badut dengan kaki gajah. Dan kau pasti memiliki wanita simpanan di apartemenmu—sama seperti William yang setiap malamnya berganti-ganti pasangan seringan mengganti celana dalam. Iya kan?" tudingnya mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajah Austin.
William menahan tawanya mati-matian. Wanita hamil lebih menyusahkan, batinnya.
"Astaga sayang. Pemikiran dari mana itu? Jangan dengarkan William. Dia itu kolot dan keras kepala—"
"Kau juga keras kepala. Kalian kumpulan orang-orang bebal, keras kepala setengah mati jadi jangan saling mengatai."
Baik William maupun Austin tak ada yang berani menyanggah apalagi memberikan komentar. Dipikiran mereka saat ini hanyalah Alaina yang sedang marah.
"Selepas ini, ke ruang kerjaku segera Will. Tuan Wu akan menyampaikan pengakusisian semua hakmu," ujar Austin seraya membimbing Alaina menuju ke sudut lain diruang yang memojok guna menenangkannya.
****
William mendengus berkali-kali. u*****n-u*****n yang tergeram ditenggorokannya terpaksa ditahannya. Ia tidak tahan! Terlebih Jazzy yang terus saja menggelayut manja pada lengan kekarnya. Menjijikkan! Batinnya. Ia benar-benar membenci bocah kecil ini walau tidak sepenuhnya.
"Aku khawatir dengan apa yang akan dilihat bocah ini. Jadi, Jazzy seharusnya kau keluar dan bermain bersama Mikaela," bujuk Austin lembut.
Jazzy menggeleng kuat-kuat sebagai penolakan. "Aku hanya ingin bersama William," jawabnya.
"Dan penderitaan untukku, setan kecil!" hardik William.
Desahan Austin membuat Alaina mengalihkan pandangan dan mendapati ekspresi ketakutan juga gugup lewat gurat wajahnya. "Aku berharap yang terbaik," kata Alaina. Senyum serta sentuhan yang Alaina hantarkan sedikit memberi kekuatan untuk Austin.
"Aku tak berharap apakah harta ayah akan jatuh ditanganmu sepenuhnya ataupun kita berdua untuk mengelolanya. Selama ini aku hanya menjalankan selayaknya sebuah tanggung jawab. William —"
"Dan mundur? Menghindar?" ucap William sarkas, "Aku tidak ingin lari dari tanggung jawab karena mama membesarkanku dengan sangat baik perihal konsekuensi jika aku meninggalkan apa yang telah aku putuskan," William menggeleng. "Terlalu banyak yang telah kita korbankan Austin. Ini semata-mata pemenuhan janjiku pada mama."
"Semua orang memiliki pilihan." Alaina menengahi. Terkadang pun Alaina merasa belum mengenal satu sama lain diantara William dan Austin. Meski usia pernikahannya menginjak tahun kesembilan, baik William maupun Austin adalah sama-sama orang kolot dan bebal. "Aku tahu soal risiko. Dan apapun pilihanmu, terlepas dari benar dan salahnya kita hanya perlu melihat jumlah dari risiko yang di ambil. Kita tak akan bisa melihat masa depan."
William memfokuskan pikirannya pada acara pertemuan kali ini. Ia terlalu malas—sebenarnya—tapi menunda yang seharusnya dilaksanakan secepatnya juga bukan jalan yang tepat. "Aku mengerti Alaina. Yang menjadi khawatirku yaitu wanita ular itu. Kau begitu tahu bukan jika wanita itu ingin sebagian ada pada Lucas dan Jazzy. Aku dan Austin tetap darah daging William sekali pun aku tak mengakuinya. Tapi catatan sipil mencatatnya dan negara menyetujuinya."
"Apapun isi surat wasiat itu, dan apa yang akan disampaikan Tuan Wu, aku harap Bradley menerimanya dengan bijak," kata Alaina menambahi.
Sekilas, William memandangi kakak iparnya itu. Sekarang ia tahu, mengapa Austin mengejarnya. Wanita itu benar-benar bijak dalam menanggapi apapun yang terjadi dilingkaran kehidupannya bersama Austin.
Austin menepuk bahu William. "Singkirkan dendammu Will. Aku tahu, hubungan kita bersama ayah tak pernah baik dimasa lalu tapi setidaknya kau bisa menurunkannya. Tidak mudah, ya kau benar. Aku juga merasa tersiksa dengan itu. Kita berdua bersama-sama melihat bagaimana penderitaan mama dan berjuang untuk kita. Tapi aku bangga padamu, kau menjadi seorang yang lebih baik dariku—aku akui itu. Mama bangga padamu, aku yakin itu."
"Sekarang, aku hanya ingin mengakhiri ini secepatnya. Semuanya sama saja karena aku tak punya waktu untuk mundur," ujar William.
"Maka kita akan sepenuhnya mengakhiri ini." Alaina membuka pintu membiarkan orang yang mengetuknya sebanyak tiga kali untuk masuk. "Selamat malam mama," sapanya memeluk wanita dengan dandanan nyentrik yang dianggapnya sebagai ibu mertua. "Aku, Austin, dan William telah menunggu. Bahkan Jazzy mengobrol akrab dengan William." Dustanya.
"Aku senang melihatnya. Terima kasih menungguku. Lucas bertemu pembimbingnya diluar, maaf membuang waktu terlalu banyak. Austin, terima kasih untuk semuanya. Kau mengirimkan gadis yang tepat."
"Dia gadisku ngomong-ngomong," ketus William. "Dan Lucas, enyahlah kau!" usirnya seraya berdiri dan mengusir Lucas yang baru saja memasuki ruangan bersama Rahee. "Mulai sekarang kau akan belajar bersama tutor barumu."
"Apa-apaan itu?!" Rahee menyipitkan matanya dan sesekali mengalihkan pandangan menelisik Austin yang terduduk dengan santai. "Kalian kembar? Identik? Dan apa ini, Lucas kau juga saudara William —"
"Bukan!" tegas William menjawab. "Jangan membantah dan tunggu diluar." William mengecup kilat bibir terbuka Rahee. Tanpa peduli keadaan sekitar, tanpa peduli tubuh Lucas yang menegang di tempat.
Rahee hanya menurut. Lagi pula, ia tak ingin repot-repot berada dalam kondisi yang menyesakkan melihat orang-orang ini bersitegang, menyedihkan.
"Sejak kapan?" Lucas menemukan suaranya setelah membeku beberapa saat, "M-maksudnya aku senang kau bersama pembimbingku t-tapi—"
William menyeringai. Satu bibirnya terangkat keatas dengan tatapan tak biasa yang dilemparkan pada Lucas. "Sejak kapan itu tak penting. Tapi yang perlu kau catat di sini adalah; dia gadisku dan jangan coba-coba mendekatinya."
****