Rahee tak berkutik mendengar pilihan yang terdengar jelas seperti ancaman. Memaksa, katanya. Kalimat itu terus bergulir di alam bawah sadarnya.
"Kau cukup berkata 'ya' dan semuanya selesai. Kau meneruskan pekerjaanmu dan aku berjanji dengan jaminan menjadi asisten tetapku selesai kuliah nantinya. Dengan catatan; jangan sekali-kali memanggilku bos. Aku benci itu," katanya.
Rahee hanya terbengong. Mulutnya benar-benar kebas, dan kepalanya memberat sekedar untuk mengangguk.
Saat ini otaknya berpikir separuh dari raganya yang bersorak gembira. Ada letupan-letupan kembang api dalam dirinya dan kupu-kupu yang berterbangan keluar dari perutnya.
Tinggal bersama bosnya!
Bayangkan itu! Bayangkan sekali pun kalian tak bisa membayangkannya. Bisa kalian tebak apa yang akan kami lakukan jika berada didalam satu atap yang sama sedangkan didalam satu ruangan saja sebuah ciuman penuh hasrat telah terjadi. Bukan tak mungkin kejadian lebih dari ciuman akan terjadi, kan?
"Waktumu tak banyak Rahee." William mengecek jam di pergelangan tangannya dan kepala Rahee terangkat segera. Mengirim sinyal sebagai jawaban.
"Ya," ucapan itu terluncur begitu saja dari bibir tipisnya, "Maksudku ke—"
"Tak ada waktu untuk menyambung sayang. Jadi jangan khawatirkan soal barang-barangmu karena Ryan dan Chaz akan mengurusnya." William menarik tangan Rahee menuju ke arah mobilnya. Membukakan pintu untuk Rahee dan berjalan memutari mobil mewah itu untuk kemudian duduk di balik kemudi.
Demi Dewa Zeus, Rahee melihat senyum lelaki pendiam itu.
****
William bersumpah tak pernah melupakan janjinya. Ia yakin telah mengingat-ingat semua catatan jadwalnya dikertas yang selalu Rahee letakkan di atas meja kerjanya. Namun terkecuali untuk malam ini.
Mikaela William adalah putri sulung dari Austin yang astaga—permintaan konyolnya kali ini di pesta ulang tahunnya mampu membuat William meremas rambut hingga kulit kepalanya memerah: bibi baru.
Dan William dengan bodohnya menjawab ya guna menenangkan rengekan bocah delapan tahun itu agar tak berlanjut meraung. Tapi siapa sangka jika jawaban konyolnya satu bulan yang lalu tersimpan apik di memori bocah kerdil itu.
William menghela napas berkali-kali, mengurut dadanya sekedar memberi kekuatan untuk diri sendiri dan menggelengkan kepalanya.
"B-bos?"
William mendongak dan mendapati Rahee yang telah mengenakan gaun tanpa lengan berwarna putih yang cantik. Gaun itu jatuh di sekitar lututnya. Sopan, dan menawan.
"Aku tidak mengerti mengapa aku melepas dressku sendiri," katanya.
William kembali menggeleng meninggalkan jejak senyum di bibirnya, "Kau cantik dengan ini."
Alis Rahee menukik, "Kau merayu ya?" tudingnya.
William mengabaikan tuduhan Rahee dan segera menarik lengan mungil itu dengan kasar. "Hei, jangan kasar dengan wanita!" hardik Rahee.
"Kau gadis-ku malam ini—mulai sekarang," ralat William, "Jadi, jangan coba-coba mendekati lelaki lain atau aku akan mencincangmu, mengerti!"
William tersentak dan mengangguk pada akhirnya. Ia merasa ngeri mendengar suara berat nan menggelegar itu. Meski diucapkan dalam oktaf rendah, tetap saja bulu romanya meremang. Terlebih gaun ini sedikit terbuka sehingga hembusan angin dingin mulai menerpa punggung dan tengkuknya.
Berbeda dengan William yang mulai menyeretnya secara brutal dan sesekali meremas jari-jari Rahee. Membuat gadis itu mengerang kesakitan dengan wajah innocent penuh permohonan. Sekarang ini, pikiran lelaki itu hanya tertuju pada satu obyek: bibir Rahee.
Cepat-cepat William menghindar menghalau hal-hal buruk terjadi. Hasrat dalam dirinya ingin segera meraup bibir mungil itu untuk ditelannya, untuk dirasakannya sendiri, dan untuk keegoisannya sendiri. William akan menggila sebentar lagi jika terlalu lama berada dalam satu ruangan dengan Rahee. Sadar maupun tidak, diakui atau tidak, William merasa terintimidasi, terpengaruh lewat sorot mata coklat gelap Rahee.
"Bos—"
"Kau mencari mati ya?" sarkasnya, " William!"
"Irit sekali bicaranya," gerutu Rahee, "William—baiklah—sungguh aku tidak apa-apa jika kau menggandengku," jedanya sembari melempar senyum cerahnya. "Tapi aku akan menendangmu tepat di selangkanganmu jika kau melakukan itu lagi."
"Apa?!" William mengernyit.
Rahee menarik tangannya dan menyodorkannya pada William. "Tanganku memerah akibat remasanmu."
William tersenyum kikuk. Ia tak menyadari jika kegugupannya menyakiti gadis ini. Demi membangun kepercayaan dirinya dan beruntung Rahee hanya sebatas mengomel dan menggerutu. Tak bisa William bayangkan jika barang berharganya akan menjadi korban. Itu masalah serius, bukan?
"Kau siap?" tanya William.
Rahee bahkan tak menyadari jika William telah menariknya sebegitu jauh hingga berakhir disebuah tempat parkir di mana mobil mewah itu berada. Dan sekali lagi Rahee tertegun melihat penampilannya sendiri. Seumur-umur, belum pernah ia mengenakan gaun semahal ini yang terlihat mencolok dan mewah. Ia bersumpah melihat label harga gaun ini sebelum mencobanya.
Hal kedua yang tak pernah Rahee lakukan juga mendatangi pesta atau apapun itu namanya. Sejauh hidupnya dalam dua puluh tiga tahun ini monoton dan terbawa arus takdir yang mengharuskannya bekerja. Menghidupi dirinya sendiri serta membiayai kuliahnya.
Jadi untuk hal sepele, remeh-temeh seperti sekarang ini, tidak dapat dicegah karena itu tak berada dalam daftar hidupnya.
Rahee merasakan kegugupan dalam dirinya meningkat, namun sentuhan di tangannya membuat seluruh perasaan itu menguap. "Aku juga sama gugupnya denganmu. Tapi jangan takut. Kau cantik malam ini," bisik William membuat Rahee bergidik ngeri. Bariton seksi itu mendesirkan sesuatu yang aneh di pangkal pahanya bahkan tungkainya melemas.
Dan demi Tuhan! Mata Rahee terlalu sering mendapati tubuh atletis William yang berbalut setelan kerjanya. Tapi, entah mengapa atmosfer malam ini benar-benar mengubah segalanya.
****
"William!" seruan seseorang membuat William spontan berjongkok. Bocah kerdil itu menerjangnya dengan sebuah pelukan. William balas memeluk bocah yang hari ini genap berusia delapan tahun itu dengan sayang. Meski sebal, namun William mengakui jika hari ini bocah itu nampak bersinar dengan gaun biru ala Cinderella. Rambut panjangnya terurai rapi dengan tiara dikepalanya menambah kesan anggun nan elegan.
"Selamat ulang tahun kerdil," bisik William.
Mikaela melepas pelukannya dengan bibir mengerucut. Terang-terangan dirinya menjadi sorotan malam ini karena dialah pemilik acara ini. Tapi tingkahnya mengerucutkan bibir benar-benar bukan etika yang bagus untuk seorang putri pengusaha sekelas Austin.
Tangannya terlipat di atas perut seraya melirik ke arah samping William di mana Rahee berdiri. Bahkan Mikaela hendak menangis melihat tangan William yang berada di balik punggung Rahee sementara wajahnya menyiratkan ekspresi posesif.
"Mana hadiahku?"
William terkekeh. Dalam hatinya membatin jika Mikaela tak pernah berubah. Delapan tahun bukan ukuran anak kecil bukan? Tapi entah mengapa, dia masih sering bermanja-manja terhadap William.
"Aku menepati janji," jawab William. "Sedikit terlambat memang. Perkenalkan bibi barumu."
Seketika pelupuk mata yang sejak tadi berkaca-kaca mendadak cerah. Secerah harapannya, Mikaela kembali meringsek kedalam pelukan William dan mencerukkan wajahnya dilekukan leher lelaki itu, "Paman yang terbaik." Kecupnya tepat dibibir William "Hai bibi Angel."
Rahee yang sejak tadi hanya menyaksikan keharuan paman dan keponakan ini seketika menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri. Tahu-tahu jika yang disebutkan namanya memang berada di sampingnya. Namun hingga beberapa kali tolehan, tak kunjung juga Rahee temukan siapa wanita yang dipanggil bocah bernama Mikaela itu.
"Kau bibi—"
"Rahee," sambar William.
"Bibi Rahee... Aku senang kau ikut bersama paman William." ungkap Mikaela.
Rahee keheranan. Tangannya bergerak mengusap tengkuknya. Menelan ludahnya getir karena tercekat secara tiba-tiba. Ia butuh minum tapi dari tadi, sejak kakinya melangkah masuk melewati pintu ganda mansion dengan interior mewah ini, tak satu pun pelayan yang memberinya minum. Melihat hal itu, William tersenyum geli. Kegugupannya menguap setelah melihat tingkah konyol Rahee.
"Kaela, kau membuat bibimu takut. Apa seperti itu papamu mengajarkan caranya berkenalan?" tanya William. Alis tebalnya bergerak naik-turun membuat Mikaela menundukkan kepalanya. "Ucapkan hai, tanyakan kabarnya, ulurkan tanganmu dan peluk," interuksi William memberi contoh.
Rahee mematung. Tak menyangka jika sikap bosnya benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat. Lelaki ini merubah sikapnya menjadi sosok yang lebih hangat ketika bersama anak kecil. Meski perlakuannya terkesan kasar, tetap saja tak bisa Rahee dustai jika ia sepenuhnya menyukai sikap William malam ini. Dan apa itu?
Lagi-lagi lelaki ini tersenyum untuk kesekian kalinya.
****