"Apa yang kau masak?" tanya William.
"Panekuk."
William mengerang, "Ini pasti permintaan dua bocah itu," decaknya. "Dalam minggu ini, kenapa mereka teramat suka merecokimu?"
Rahee terkekeh dan hati William menghangat. Kekehan itu selalu diiringi tawa yang memiliki efek khusus untuknya. "Aku pasti akan memasak taco jika kau di sini."
"Tapi panekuk di pagi hari sebagai sarapan tak ada salahnya," jawab William. "Aku akan tetap memakan setiap masakan yang kau buatkan."
Rahee tertawa mendengarnya. Beberapa minggu berada di rumah William semakin membuatnya tahu bahwa berdebat dengan lelaki itu memang seru. Dia tidak terlihat seperti aslinya—dingin dan kaku. Di balik semua itu, justru sebaliknya jika dia lelaki yang hangat dan penuh perhatian. Setiap kali Rahee bertanya soal pendapat bagaimana rasa masakannya, komentar-komentar manis selalu diterimanya. Hal itu membuat Rahee senang dan selalu menanti setiap kritik yang akan William lontarkan.
"Apa kepergianmu kali ini membuatmu semakin pintar mengumbar kalimat tidak penting?" Meski di ucapkan lewat sambungan telpon, William tahu jika suara itu mengandung unsur sarkastik yang penuh sirat.
"Kau pasti menyukainya, kan?" Tawanya riang. "Buktinya kau protes," sambungnya penuh godaan. William membayangkan wajah Rahee yang mungkin merona di seberang sana. Dan tiba-tiba keinginan untuknya mencium menjadi tak terbendung lagi.
Sial! u*****n itu yang pertama kali melintas di pikirannya. Sepagi ini rasanya sangat aneh ketika matanya terbuka dan mendapati sisi ranjangnya yang kosong. Dua hari yang melelahkan, dan dua hari yang memberatkan.
William tak pernah mengetahui jika berpisah dengan Rahee begitu menyiksanya.
Jika bukan karena pemotretan sialan itu, tentu Sehun takkan pernah mau berada dalam jarak ribuan kilometer seperti ini.
Dan dapat di pastikan dirinya sedang berada di sofa sambil menikmati makanan atau pun camilan yang Rahee hidangkan. Berbincang tentang hal menarik dan lainnya.
Sekarang justru William sedang duduk di teras hotel yang selama dua malam ini menjadi tempatnya menginap. Seraya memandangi beberapa modelnya yang berenang.
Astaga! Kenapa William perlu duduk di kursi sialan ini dan memandangi tubuh-tubuh panas itu—terkutuklah! Ini jelas membuang-buang waktunya.
Beruntung Rahee menelponnya pagi ini. Sehingga suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik.
"William?" panggil Rahee di seberang sana. "Aku ada ujian pagi ini. Bisakah kau menjaga pola makanmu dengan baik? Jangan lupakan vitaminmu yang aku letakkan di ranselmu."
"Ya sayang aku mengingatnya." Sudut bibirnya tersenyum kecil. William bahagia dengan hal-hal sederhana yang Rahee lakukan. William senang menjadi prioritas gadis itu. "Aku harus menutup telponnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku merindukanmu."
Tepat setelah sambungan itu terputus secara sepihak, Selena muncul dari air dan segera naik ke tepian. gadis itu tersenyum pada William dan hanya di balas dengan wajah keras dan tak bersahabat. William memalingkan wajahnya dan memasang ekspresi seangker mungkin agar gadis itu tidak mendekatinya.
"Kau tak mau berenang?" Terlambat. Sekali pun ekspresi wajah keras dan tak bersahabat telah William tunjukkan, gadis itu tidak akan pernah menyerah. Gadis itu terus saja mengejarnya, menempelinya kemana pun dirinya pergi. "Pemotretan selesai dan waktunya bersenang-senang," ujarnya seraya meraih jus jeruk yang sudah tersedia sejak Sehun datang.
"Aku sedang tak ingin berenang," jawab William.
"Bersenang-senang," ucap Selena membenarkan. "Kau pasti mengerti makna kata itu, kan? Bersantailah sedikit. Kita bisa pergi ke kelab."
"Caraku bersenang-senang bukan dengan ke kelab dan berenang."
"Dasar kaku!" cibir Selena memutar mata. Namun begitu gadis berambut sebahu itu belum menyerah, "Kita sedang berlibur," katanya sambil mengedikkan bahu. "Kau itu sangat kaku. Jadi aku berusaha mengajakmu bersantai sedikit. Lagi pula, kau pemilik agensi ini. Memangnya siapa yang akan melarangmu. Hidupmu pasti sangat membosankan dan kaku. Inilah cara menikmati hidup yang sebenarnya."
William mendengus, "Kau berbicara seolah-olah paling tahu tentangku."
Selena tertawa, "Kita pernah tidur dalam satu ranjang. Aku bahkan masih mengingat rasa milikmu yang ugh—" kata-katanya terhenti dan matanya melirik ke balik celana boxer William. "Kamarku kosong ngomong-ngomong. Dan semua orang..." kalimatnya menggantung dan kepalanya menoleh ke belakang. "Berada di luar sini. Bermain beberapa ronde takkan membuat mereka curiga." Godanya sembari mengerlingkan matanya. Giginya menggigit bagian bibir luarnya dan mendesahkan suara pelan yang terdengar seksi.
William tidak mengerti mengapa Selena mengajaknya bersenang-senang seolah-olah mereka cukup baik sejak dulu padahal tidak demikian. Bagi William, tidur bersama bukan artinya menjalin sebuah hubungan—itu pengecualian untuk Rahee.
"Pemotretan selesai, aku juga selesai berada di sini."
Selena melongo tak percaya. Tiba-tiba saja gadis itu membuka baju handuknya dan memperlihatkan tubuh mulusnya yang hanya berbalut bikini. "Apa yang kau pikirkan tentang ini?"
William mengernyit. Ia tak mengerti dengan apa yang di bicarakan Selena. "Pakaian renang."
"Seksi," koreksi Selena.
William bungkam. Seksi, ulangnya dalam hati. Ia bahkan tak berpikir bahwa Selena itu seksi.
"Kau benar-benar punya masalah seksual, kan? Berapa lama kau tak b******a setelah kita berakhir William?"
"A-apa?" William terkejut dengan tuduhan Selena. Baru kali ini dalam sejarah hidupnya ia mendapat olokan yang begitu rendah. Dalam dua puluh empat tahun perjalanan hidupnya, berbagai cercaan telah William terima namun tidak dengan olokan seperti tadi. Ini benar-benar merendahkan dirinya dan mencoreng nama Anderson yang di sandangnya.
Sialan saja jika gadis ini harus William singkirkan. Kilatan tajam yang William tampilkan ternyata tak membuat Selena gentar. Gadis itu malah semakin terpacu untuk menggodanya. Gadis itu terobsesi pada dirinya hingga rela melepas harga dirinya sebagai seorang wanita terhormat.
"Aku tidak tahu apakah kau impoten atau apa," katanya, "Tapi aku mencoba membantumu karena aku tahu kau berpengalaman soal urusan ranjang dan wanita. Namun, setelah kita berakhir, sedetik saja aku tak pernah melihat kau membawa wanita ke kantor. Aku berpikir—"
"Kau mungkin lupa dengan siapa kau berhadapan!" potong William. Keterkejutannya akan apa yang Selena ucapkan terus saja terngiang berkejaran di otaknya. Ia kehilangan kata-katanya hingga matanya kembali mengerjap. "Aku normal dan bukan impoten. Apa itu penting dengan siapa aku berkencan dan tidur?! Kau bukan siapa-siapa yang harus aku beri tahu Selena! Kau sama sekali tidak tahu kehidupanku dan kau tak berhak ikut campur urusan dengan siapa aku tertarik."
Selena merasa belum puas untuk menarik perhatian William. Namun lelaki itu lebih dulu melangkahkan kakinya pergi. Matanya berkaca-kaca menatap punggung tegap itu berjalan menjauh. Hatinya sedih dan perasaannya marah akan dirinya sendiri. Ia benci karena William terus saja mengabaikannya. Ia benci karena memiliki perasaan seperti ini sedang ia tahu, lelaki itu hanya membutuhkan pelepasan.
****