Mati. Bagus.
Di saat Rahee sangat merindukan pagi harinya bersama William, lelaki itu justru mematikan panggilannya. Seharusnya Rahee maklum saja. William pasti sibuk dan Rahee hanya pengganggu kecil yang berusaha memamerkan masakannya.
Rahee berharap William tergiur dan memutuskan pulang lebih awal. Tapi ia juga tahu bahwa itu hanya harapan semata karena William telah mengurus segala keperluannya untuk lima hari.
Memangnya siapa yang ingin mengira jika lima hari itu sangatlah lama?!
Rahee menggerutu pada dirinya sendiri. Menggerutu karena sangat merindukan William. Menggerutu karena semua buku-buku William hanya berisi tentang bisnis dan tulisan-tulisan tangannya juga berisi tentang penjalanan bisnisnya. Ia berharap mengenali William dari catatan-catatannya, tapi semuanya berisi bisnis. Rahee menggerutu karena banyaknya hal yang tidak ia ketahui setelah ditinggal William.
"Sialan!" umpatnya.
Rasa malasnya tiba-tiba menggelayut begitu saja. Kompor yang menyala dan penggorengan yang telah di panaskannya mendadak menjadi memuakkan. Ia dengan segera mematikan kompor dan membiarkan mentega yang telah meleleh tergeletak begitu saja. Hasrat untuk melanjutkan membuat panekuk sama sekali tak menggugahnya. Ia benci kondisi seperti ini sebenarnya.
Siapa yang menyangka jika merindukan seseorang bisa terasa semengerikan ini.
Kakinya melesat menaiki undakan tangga. Tapi saat ingin mencapainya, telinganya menangkap sumber suara asing yang membuat langkahnya terhenti. Kepalanya menengok diikuti tubuhnya yang memutar.
"Kenapa lantai ini begitu licin!" Suara tinggi itu melengking hingga beberapa oktaf. Pelayan dengan seragam hitam-putihnya itu menunduk sembari mengangguk dan sesekali menggumamkan kata maaf.
Melihat hal itu, dahi Rahee berkerut. Bibirnya mengerucut sebal. Sepagi ini dan orang yang berasal dari antah berantah mana muncul begitu saja. Panekuk sialan yang tergeletak dan William yang tak kunjung pulang.
Astaga. Rahee berserapah pada dirinya sendiri. Ia benci berada di posisi seperti ini. Posisi yang tak menguntungkan karena merindukan William.
Sialan. Kembali u*****n itu terucap dalam hatinya.
"Siapa kau?!" Suara itu terdengar jelas menghardik dan mau tak mau Rahee mengangkat kepalanya. Matanya mengerjap beberapa kali. "Siapa kau yang berani masuk ke mansion kekasihku sedang dia tak berada di sini? Kau tak terlihat seperti pelayan kebanyakan," tanyanya dengan sikap defensif menghalangi jalan Rahee.
Rahee bersumpah tak tahu siapa gadis cantik ini. William tidak pernah punya tamu—setidaknya itu yang disampaikannya sebelum kepergiannya. Tapi mendengar kalimat kekasih yang diucapkan penuh penekanan seketika dadanya bergemuruh. Ada satu perasaan di mana hatinya tak terima dengan pernyataan itu.
"Maaf?" Rahee mengernyit. Ia menjilat bibirnya. "Kekasih?" Kalimat itu terulang begitu saja. Ingin rasanya Rahee menangis sekarang juga. Tapi bukan suatu tindakan yang tepat mempermalukan dirinya sendiri. Saat ini, yang harus dilakukannya hanya menghadapi gadis cantik dengan tubuh sintal dan—jelas-jelas Rahee kalah. "Tapi William tak pernah bercerita jika dia memiliki kekasih atau pun kekasihnya akan berkunjung."
Gadis berambut panjang yang mengenakan jaket kulit hitam serta celana jins yang berwarna senada itu menukikkan alis kanannya. "Maaf?" katanya mengikuti ucapan Rahee sebelumnya. "Tapi aku kekasihnya, calon tunangannya dan aku tak perlu meminta ijin padamu yang entah dari mana untuk memasuki mansion ini. Kau ini siapa?!"
Mulut Rahee membulat. Ia menggigit bibirnya seketika untuk mencegah mulutnya yang hendak berkata macam-macam. Rasa muak, kesal, sakit dan seluruh perpaduan itu berkumpul menjadi satu di pikirannya.
"K-kau?" tanya Rahee tergagap.
"Ya," potong gadis itu lebih dulu. "Aku Olivia Fransworth. Dan sekarang di mana kekasihku?"
Rahee benar-benar terkejut sekarang. Ia belum pernah mendengar apapun soal kekasih William yang baru saja menyebutkan namanya: Olivia.
Rahee yakin dan sepenuhnya sadar jika William belum pernah bercerita akan hal ini. Sejauh ini yang Rahee ketahui tentang kehidupan lelaki itu hanya sebatas dua bocah perempuan berusia sepuluh tahun dan delapan tahun yang teramat suka mengganggunya. Dan baru-baru ini sebelum kepergiannya keluar kota, William mengungkapkan rasa kasihnya untuk dua bocah itu bahwa dia sangat menyayangi keduanya. Sebatas itu, tidak lebih.
Namun mendengar penuturan gadis ini, Rahee merasa tersingkirkan begitu saja. Seolah-olah ia memegang bendera putih sebagai pernyataan atas kekalahan di medan perang. Gadis ini sempurna—lebih dari sempurna. Gadis ini mewakili girl-goals karena keseluruhan definisi sempurna melekat padanya. Sedang Calla?
Sambil meringis menampilkan cengiran khasnya. "Uh... William... dia pergi," jawabnya.
"Ke kantor?" tanya Olivia melotot. "Hanya orang i***t yang sepagi ini melepas kewarasannya pergi ke kantor," decaknya sembari menatap jam tangan mahalnya.
"Dia... pergi untuk beberapa hari." Suara Rahee mengecil. Entah untuk alasan apa ia juga tak mengerti. Tapi yang pasti, rasa sakitnya belum juga surut.
"Ke mana?"
"Miami."
"Untuk apa?"
"Pemotretan."
Jawaban Rahee tak b*******h. Kakinya memberat padahal ia sangat ingin berlari. Menumpahkan tangisnya di bawah bantal. Ia merasa marah dan terkhianati. Rahee sendiri tak mengerti mengapa dirinya merasa seperti ini. Yang sebenarnya ialah hak William untuk berkencan dengan siapa saja, tapi ia tak bisa menjelaskan mengapa jantungnya berdetak cepat sementara hatinya terasa seperti dipilin perlahan.
Kemudian seperti mengingat sesuatu, kedua alis Olivia bertemu. "Tunggu. Mengapa kau di sini—lebih tepatnya bisa berada di sini. Setahuku, William bukan lelaki ramah yang mengizinkan orang asing menginjakkan mansionnya. Dia tipikal kolot yang konvensional pada setiap aturan yang di buatnya. Dan lagi pula, kau tak memakai seragam jika kau seorang pelayan," cibir Olivia.
Rahee terkekeh dengan kepala mendongak ke atas. Sejujurnya, air mata yang berkumpul sejak berpuluh menit yang lalu mendesak ingin keluar. Ia merasa perlu harus terkekeh lantaran mendengar pertanyaan Olivia. Sarkastik dan penuh hinaan, "Aku asistennya."
Olivia memicingkan mata pada Rahee. "Dan seingatku, tidak ada asisten yang masuk ke kawasannya."
Rahee mendesah. Ia menunduk supaya tak melihat tatapam mengintimidasi Olivia. Sedang Rahee tak mengerti mengapa tatapan ini memiliki efek yang sama seperti tatapan William. "Ya..." Rahee mengedikkan bahu setelah menemukan suaranya. "Jadi... Aku hanya menumpang di tempat William karena dia mengijinkan. Sebisa mungkin aku membantunya membersihkan—walau pelayan di sini lebih dari cukup. Tapi aku merasa harus melakukan itu. Kau tahu ini semacam balas budi."
Olivia menaikkan alisnya. Ia merasa perlu bertanya pada Rahee untuk semua aktivitas William. Maka, dengan tatapan yang masih sama—mengintimidasi—ia menggiring Rahee untuk duduk di kursi ruang keluarga yang tak jauh dari jangkauannya.
"Tapi kau tak seharusnya berada di sini. Sehun tidak pernah mengajak wanita." Olivia menurunkan suaranya. "Apalagi tinggal bersama. Aku selaku kekasihnya tak pernah di ajak tinggal bersama."
Rahee mengangkat wajah untuk menyanggah, "Kami tidak tinggal bersama."
Olivia memutar mata. "Kau di sini. Aku juga melihat kau memasak. Mustahil jika William tak memakan masakanmu. Apa itu tak bisa dikatakan tinggal bersama?" tanyanya, "William sangat pemilih untuk mempercayakan sesuatu. Kau didalam rumahnya, berkeliaran bebas. Bukan tak mungkin kalian juga menghabiskan waktu yang sama, di atas ranjang yang sama," tudingnya.
Rahee menggigit bibir. Semua yang dikatakan Olivia adalah kebenaran. Tapi kata-kata itu begitu menohoknya. Ia seperti w************n sekarang. Ia hanya merasa akrab dengan William hingga rasanya terbiasa. Rahee dan William bisa menghabiskan semalam suntuk untuk bertukar cerita dan keesokan paginya mereka tak sadar jika telah tertidur di ranjang yang sama dan saling berpelukan.
"Omong-omong, aku belum tahu namamu."
Rahee berusaha menampakkan senyumnya. Persetan saja jika senyumnya akan terlihat aneh. "Namaku Rahee. Senang berkenalan denganmu, Olivia."
****