Di tengah padang bunga daisy yang indah, seorang lelaki berdiri sambil merentangkan kedua tangannya. Angin lembut menerbangkan rambutnya, membuatnya berantakan. Lelaki itu menarik napas menghirup udara segar yang seolah sudah lama tidak pernah dirasakannya.
Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya. Membuat lelaki itu terperanjat dan menoleh ke belakang. Seketika tubuhnya menjadi kaku dengan mata membelalak kaget. Merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sementara orang yang berdiri dihadapannya itu tersenyum ke arahnya.
"Anabella..." bisiknya. Lelaki itu merasa tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
"Lama tak jumpa, William." Gadis itu tersenyum.
Tubuh William menegang. Itu suaranya, tentu saja ia masih mengingat bagaimana suara dari Anabella. Meski enam tahun berlalu, suara itu tak pernah beranjak dari ingatannya.
William mengulurkan tangannya membelai sebelah wajah Anabella. Yang disambut dengan pejaman mata oleh gadis itu seakan menikmati sentuhan ringan yang William berikan.
"Kau..." Suara itu tertahan di tenggorokan William. Rasanya begitu sulit baginya sekedar untuk bicara.
Anabella membuka matanya. Mata berwarna coklat terang yang selalu menjadi favoritnya itu menatap William dalam. Wajahnya masih belum berubah sedikit pun. Masih tetap cantik seperti terakhir kali William melihat.
"Kau kembali?" tanya William akhirnya. Antara sadar dan tidak, tapi pikiran lainnya mengatakan bahwa tak seharusnya Anabella berada di sini.
"Ya. Hanya sebentar," jawab Anabella. "Waktu kita tak banyak. Jadi, aku akan langsung menyampaikan apa yang menjadi tujuanku ke sini."
Dahi William mengernyit. "Apa maksudmu?" tanyanya bingung.
"Dengarkan baik-baik," ucap Anabella. "Kau telah membuat takdirmu sendiri William. Kau dapat melewati masa gelapmu, dan aku bangga padamu. Atas ini semua, sungguh, aku dengan tulus merasa senang melihat kebahagiaanmu. Aku senang ada seseorang yang mendampingimu sekarang."
Kerutan di dahi William semakin dalam. Sejujurnya ia benci dengan kata-kata yang berbelit seperti ini. Dan takdir? Apa yang sedang dibicarakan Anabella ini. Takdirnya adalah dia. Jelas-jelas Anabella takdirnya.
"Kau telah memulainya. Takdir baru akan terbuka mulai saat ini. Kau baru saja membuka segala pintu untukmu sendiri, takdirmu dan juga pengendalian segala isi dunia yang kau genggam. Kau menjadi yang terpilih, dan takdir terus mengejarmu untuk selalu bersamanya. Jangan biarkan itu berubah Sehun."
Setelah kata-kata itu terucap dari bibir Anabella, angin mulai bertiup. Gaun Anabella yang seanggun warna violet—kesukaannya melambai, rambut gadis itu mulai berantakan. William masih ingin bertanya, memperjelas apa yang gadis itu sampaikan walau sebagian maksudnya William pahami. Tapi seperti ada yang menahannya, semua kata-katanya yang ingin terucap tertahan di tenggorokannya.
"Berbahagialah selalu William." Suara Anabella tidak lebih dari sekedar bisikan.
William tersentak. Ia menatap sekeliling dan Anabella tidak ada di mana pun. William mengernyit bingung dengan reaksi tubuhnya saat bertemu Anabella tadi. Kenapa ia tak merasakan perasaan berdebar dan hangat saat berada di dekat Anabella. Tidak seperti dulu.
William memang merindukan Anabella tapi seakan-akan rasa rindu itu telah terbayar dan terobati. Yang ia rasakan kini justru hatinya tidak lagi kosong.
Kepala William mendongak menatap langit dan bayangan Rahee terlintas di benaknya. Mungkinkah kehadiran Rahee yang membuatnya seperti ini? Yang William ketahui hanyalah ketidakmengertian akan reaksi tubuhnya. Ia tidak tahu apakah harus bersedih atau rindu melihat Anabella tadi. Ia merasakan bahwa kesedihannya sudah pergi lebih dulu sebelum ia merasakannya kian dalam.
Rahee.
Mengingat nama itu, buru-buru William mengedarkan pandangannya. Isi taman ini kosong meski matanya telah menyapu bersih setiap sudutnya. Seketika rasa panik menghampirinya. Ia takut jika Rahee pergi. Ia takut jika takdir baru—seperti yang Anabella ucapkan akan pergi meninggalkannya.
"Rahee!" teriak William keras.
****
Tubuh William tersentak bangun karena merasakan hembusan napas yang menggelitik lehernya. Napas itu terasa hangat dan memulihkan kesadaran William dengan cepat. Mengusap mata dan melihat Rahee yang masih terlelap nyaman dalam pelukannya membuatnya menarik napas lega.
Masih di sini. Masih bersamaku, batinnya.
Bayang-bayang dan kata-kata yang Anabella ucapkan di mimpinya membuat William kecemasan setengah mati. Dan lagi pula, enam tahun berlalu, mengapa Anabella datang ke dalam mimpinya? Enam tahun ia kehilangan Anabella, dan baru kali ini dia datang. Terlebih penyampaian yang Anabella ucapkan semakin membuat William bertanya-tanya.
Namun secepatnya William menggelengkan kepalanya menepis mimpi itu. Meyakinkan hatinya bahwa itu hanya mimpi yang merasuki bunga tidurnya. Setidaknya, melihat Rahee yang masih terlelap di pelukannya dan berada di sampingnya jauh lebih menenangkannya. Terlebih setelah apa yang semalam dilakukannya dengan mengungkapkan segala beban dihatinya.
William mengelus pipi mulus itu sembari mencium puncak kepala Rahee lama. Menikmati aroma wangi dipagi hari yang menjadi candunya.
"Kau terus saja menciumku," gerutuan itu sedikit menjauhkan bibir William dari puncak kepala gadisnya, "Setelah merayuku kau menciumku. Merayu lagi dan mencium lagi. Ck!" decaknya kesal yang mengundang kekehan William.
"Astaga." Belum lagi William melanjutkan kalimatnya, Rahee sudah kembali meringsek ke dalam pelukannya dengan wajah yang menggesek d**a telanjangnya. "Itu geli sayang, sungguh."
Rahee tetap acuh dan terus melanjutkan aksinya. Tangannya yang terselip di bawah ketiak William kini kian mengerat merajut tangan satunya. "Kita impas," ujarnya.
William sedikit menggeram sekali pun tawanya belum terlerai. "Akan ada hukuman untuk itu," ancamnya.
"Aku tidak peduli!" gertak Rahee membalas.
Dengan berani Rahee menggigit p****g William hingga lelaki itu menjerit—keenakan. Kedua kaki gadis itu juga membelit kaki William sehingga tak ada jalan bagi lelaki itu melakukan perlawanan. Namun siapa yang menyangka jika posisi itu kini berbalik. Rahee yang awalnya memejamkan matanya sontak membukanya dengan terbelalak kaget.
Ringisan seksi yang tercetak di sudut bibirnya dilahap habis oleh William. Menepis jarak dan batas, lelaki itu mengurung kedua tangan Rahee dan meletakkannya diatas kepala gadis itu.
"Aku sudah memberi peringatan sayang," bisiknya seraya melarikan kecupan-kecupan kecil diwajah dan rahang Rahee. Gadis itu terkikik geli namun juga menikmati aksi yang William berikan. "Sekarang kita mandi dan kau buatkan aku panekuk."
Mendengar itu dan penghentian yang William lakukan membuat Rahee cemberut. Ruangannya mendadak kosong dan Rahee tidak suka itu. "Aku tidak mau!" tolaknya dengan tangan menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.
William mendesah pasrah. Sejujurnya, hasratnya melonjak naik ketika Rahee menggigit putingnya tadi. Tapi egonya menahan itu semua. Berada di satu ranjang yang sama dengan Rahee setiap malamnya membuatnya mati-matian menahan hasrat tapi otaknya masih terus mengejarnya untuk tidak melakukan kesalahan. Meski William benar-benar serius menjalani hubungan ini bersama Rahee, tapi kesalahan ibunya tak ingin William ikuti. Cukup dirinya dan Austin diperolok, tapi tidak dengan anak-anaknya nantinya.
"Ayolah sayang. Taco buatanmu enak sekali ngomong-ngomong. Dan panekuk dipagi hari sungguh menggiurkan." William masih mencoba. Tangannya terulur membuka selimut itu dan mengusap rambut halus Rahee. "Aku senang ketika kau manja seperti ini. Aku jadi malas untuk pergi ke kantor."
"Tidak boleh! Kau harus pergi." Tepat setelah ucapan itu, Rahee menyambar pipi William dan beranjak keluar kamar menuju dapur.
William tertawa senang. Tawa yang tidak pernah ditunjukkan kepada siapa pun dan hanya Rahee yang menikmati tawa itu. Gadis itu merubahnya, mempengaruhinya.
****