"Aku tidak membutuhkan orang lain untuk mengetahui kelemahanku," ucapan itu tersendat di ujung ternggorokan William. Sedang matanya terus fokus menatap layar LCD di ruangan rapat dengan cahaya gelap.
Telunjuknya sesekali mengusap permukaan bibirnya untuk mencegah kalimatnya terlontar. Meski demikian, Sehun berusaha mengamati jalannya rapat dengan seksama.
Sorot tajamnya bergerak-gerak mengawasi setiap mata yang meliriknya. William bukan seorang yang bodoh untuk menilai sekitarnya. Lengah sedikit saja, bukan tak mungkin orang-orang ini akan mencari letak kelemahannya untuk menjatuhkannya. Ia tak akan membiarkan orang-orang ini melihat kelemahannya. Tekadnya sudah bulat untuk berada di titik ini. Jadi, pergerakan sekecil apapun akan dapat ditangkapnya lewat sudut mata harimaunya yang menatap nyalang. Sementara beberapa pasang wajah mulai terintimidasi oleh wajah dingin dan tatapan tajam William.
Di balik kursi ini tengah bersembunyi sosok lain dari seorang William Anderson yang susah payah menjaga kendali dirinya. Ia akan mempertahankan posisinya dan telah menerima risiko apapun yang di terimanya.
"Solusi ini didukung penuh oleh penurunan beberapa permintaan properti. Sehingga dalam kurun waktu tiga bulan pengiriman barang juga menurun. Dampak yang ditimbulkan benar-benar mengkhawatirkan sehingga keputusan pengurangan karyawan menjadi jalan tengahnya." Orang yang menjadi kepercayaan perusahaannya itu melancarkan presentasinya. "Mengingat pendapatan kita menurun dan tidak mampu mengisi berbagai dana yang—"
"Aku tidak setuju," pungkas William tegas.
Austin yang sejak tadi bungkam dan mendengar sanggahan itu melotot begitu saja. Merasa tak habis pikir dengan pola pikir saudara kembarnya itu—yang walaupun pintar namun sopan santunnya sungguh perlu di perbaiki.
Tentu saja penolakan yang William lontarkan membuat semua orang menatap ke arah William—tak terkecuali Bradley—wanita paruh baya itu sejak mengetahui tangga jabatan yang di pegang William menjadi begitu gencar mengunjungi kantor yang jelas-jelas bukan miliknya. Perusahaan ini milik William —sepenuhnya dan semestinya lelaki itu juga memiliki hak untuk mengusir siapa pun untuk tidak menginjakkan kaki di kantornya.
Pun demikian, William mencoba menjaga kontrol dirinya. Mengabaikan raut wajah yang bertanya dan ketidaksetujuan akan penolakannya adalah jalannya.
Tanpa penjelasan spesifik pun William tahu betul ke mana arah dan akhir presentasi ini. Pembicaraan ini hanya akan menemukan omong kosong kalau pun di teruskan.
Ini pasti lelucon! Yang benar saja. Pengurangan kerja—itu artinya akan menambah daftar angka pengangguran di Amerika, khususnya Carolina sendiri.
William memiringkan wajahnya dengan seringai yang mengerikan. Patuh, wajah-wajah yang di liputi aura ketegangan lantaran tatapan tajam nan dingin milik William menundukkan kepala mereka secara serempak. Suasana gelap dan dingin AC yang menguar memperkuat keseraman di dalamnya.
"Seharusnya kau mendengarkan penyampaian presentasi Tuan Smith, Will. Memotong ucapan orang lain walaupun berstatus sebagai bawahanmu itu masuk sungguh tidak sopan." Bradley yang merasakan atmosfer ketegangan angkat bicara. Setelah membungkam mulutnya beberapa saat lamanya. "Kau harus mendengar alasan mengapa hal ini perlu dilakukan."
William menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya. Ia melirik dan mendengus pada Bradley. "Intinya sama saja, kan? Dia hanya memperkuat pendapatnya untuk melakukan pengurangan tenaga kerja. Jadi, dari pada membuang waktu dan tenaganya untuk sesuatu yang tidak aku setujui, maka dengan sangat murah hati aku membiarkannya berhenti bicara sampai di sini." William mengedikkan bahu acuh dan beranjak dari tempatnya. "Tidak ada yang terlewatkan dan kupikir semua usulan serta laporan dari para divisi telah aku terima. Dan Bradley, berhentilah merecoki hidupku sebelum aku melemparmu keluar dari keluargaku. Aku tidak semiskin itu sehingga harus menyetujui alternatif ini."
William melangkahkan kakinya dengan angkuh di ikuti Austin. Tanpa peduli kemurkaan yang terlihat jelas di wajah Bradley. Tentu saja wanita nyentrik itu merasa terhina. Harga dirinya diinjak-injak dan dilecehkan. Didepan semua orang, para petinggi perusahaan—Bradley rasanya ingin mencekik leher William. Terlebih melihat Sehun yang berjalan begitu angkuh. Kepala Bradley benar-benar mengucapkan panas sekarang.
"William!"
Lancang! Dalam hati William menyumpah serapah siapa pun yang berani memanggilnya dengan seruan sememekakkan itu. Meski tak perlu kepalanya menoleh atau pun menghentikan langkahnya, William tahu betul siapa yang berani memanggilnya selancang itu. Ibunya bahkan tak pernah meninggikan nada suaranya untuk memanggilnya. Tapi wanita tua bangka itu betul-betul keterlaluan. Mengikis tingkat kesabaran yang bertahun-tahun William tahan.
Bukan sebuah masalah sebetulnya jika panggilan itu di luar lingkungan kantor. Tapi sekali-kali memang perlu William ingatkan untuk wanita itu tahu jika dirinya adalah petinggi di perusahaan. Pengendali keseluruhan aktivitas bahkan setiap aturan yang telah di cetuskannya. Wanita ini seolah-olah tak pernah bosan menyulut emosi William entah dari segi mana pun.
"Aku harus bicara denganmu," kata Bradley seraya menghampiri William dan Austin dengan langkah panjang akibat hentakan gesekan sepatu hak tingginya.
William berdecih jijik melihat hal itu. Benaknya mulai membandingkan antara ibunya dan Bradley. Dan satu nilai di sini: ibunya tidak bisa di bandingkan maupun di sandingkan dengan wanita ini. Wanita ini jelas-jelas jalang kelas kakap dan bodohnya William tergoda.
Terkadang William bertanya-tanya, apa kurangnya ibunya? Kekurangan bagian mana yang tak di miliki ibunya hingga William meninggalkannya begitu saja—menelantarkan lebih tepatnya. Lebih parah lagi karena waktu itu dirinya dan Austin berada di dalam perut ibunya. Meski tak mengingat secara detail, tapi William tahu jika ibunya berjuang keras untuk ketiganya. Ibunya membanting tulang, bekerja keras hingga hidupnya habis untuk membuat adonan kue dan mendirikan sebuah toko kue yang kini di akusisi oleh namanya dan Austin di pinggiran Carolina.
William mengibaskan tangan untuk mengenyahkan segala ingatan masa kecilnya yang suram, masa remajanya yang penuh perjuangan.
"Ruanganku bisa memuat beberapa orang untuk beradu argumen," ucap William seraya mengendikkan bahu santai. Ia melangkah lebih dulu kemudian membuka pintu lebar-lebar tanda mempersilahkan ibu tirinya masuk. "Tolong tutup pintunya, mama."
Dengan santai William menempatkan bokongnya dikursi kebesarannya tanpa peduli apakah Bradley akan tersulut emosinya akibat perintahnya namun William mendengar hentakan hak tinggi itu yang kembali bergesekan dengan marmer dan sedikit geraman yang tertahan.
"Aku harus bicara tentang apa yang terjadi di ruang rapat tadi." Tipikal semua wanita itu sama: selalu ke intinya. Kecuali Rahee. Oh ngomong-ngomong soal kekasihnya, William rindu.
William menuang anggur dan menyesapnya untuk mengurangi rasa frustasinya. Orang-orang yang ada di gedung ini sedang mencoba menekannya, mencari kelemahannya untuk kemudian menumpas tuntas jerih payahnya. Itu yang William pahami lewat situasi rapat tadi. Jadi tidak heran ketika Bradley begitu kekeuh mengejarnya sampai ke ruangannya.
"Aku rasa kau sudah mendengarku, mama." William berdiri dan mengangkat gelas anggurnya. Berbasa-basi menawarkan keramahan pada wanita itu mungkin tak ada salahnya, tapi sepertinya Bradley tak ingin bersantai-santai di sini—sudah pasti. Kemudian William menuang anggur untuk dirinya sendiri dan menyesapnya lagi.
"Tuan Smith belum menyelesaikan hasil presentasinya!" tukas Bradley.
"Jadi hanya bagian itu yang ingin kau sanggahkan padaku?" William hendak bersiap mengangkat gelas anggur lagi. Namun telunjuknya lebih dulu merespon agar Bradley terdiam, "Aku menerima setiap laporan, mendengarkan presentasi yang di sampaikan—kau tahu itu membosankan. Aku lebih santai di studio dengan kameraku tapi aku juga tak ingin menghindari tanggung jawabku. Di mana bagian salahku jika semua laporan dan usulan dari setiap departemen dan divisi selalu aku respon?"
"Kau tidak bisa menghentikan rapat sebelum salah satu departemen selesai."
"Aku bisa!" seru William. Ia meletakkan gelasnya lalu berjalan mendekati Bradley dan menatapnya tajam. Keduanya tak gentar meski suasana mulai mencekam. "Aku bisa melakukan itu. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau. Kalau-kalau kau lupa, aku presdir di sini. Aku pemilik gedung, perusahaan, beserta seisinya. Aku bahkan bisa membungkam mereka yang berusaha menghancurkan perusahaanku! Termasuk kau! Kau pikir menyingkirkan p*****r sepertimu tidak mudah?"
"Kau memang b******n!" hardik Bradley. "Kau sedang berusaha menghancurkan usaha ayahmu. Kau tidak pantas berada di posisimu!"
William mendengus, lalu tertawa. "Lantas siapa yang pantas? Kau?" William menjentikkan tangan di depan wajah Bradley, "Sayangnya tidak bisa. Bahkan Lucas saja tidak mendapat apapun dari warisan ini. Seperempat saja tidak meski kau istri sah Anderson. Tapi akulah yang menang. Aku yang terpilih."
"Sadarlah! Kau bahkan tidak tahu secara benar jalannya bisnis ini. Perusahaan ini sedang mengalami penurunan. Menekan angka tunjangan pekerja adalah jalan terbaik saat ini. Perusahaan ini punya ratusan ribu pekerja! Kehilangan ribuan di antaranya tidak akan membuatmu menuruti keinginan konyolmu" cecar Bradley.
William menggelengkan kepala. "Sekuat apapun kau beradu argumen denganku, keputusanku tetap sama. Kau mungkin lupa jika agensiku berdiri sendiri tanpa kucuran uang dari William. Maaf, tapi aku mengetahui seluk-beluk bisnis yang tengah aku geluti. Dan ribuan katamu? Apa departemen berengsek itu memikirkan apa jadinya jika kita kehilangan ribuan di antaranya? Mereka punya keluarga yang harus dihidupi. Dan sebagian dari mereka menggantungkan hidup pada perusahaan kita. Aku yakin ada jalan yang lebih baik daripada membuat mereka kehilangan pekerjaan." William membuat suara muak, "Melakukan pemecatan artinya masuk dalam kualifikasi angka tunjangan terbanyak. Sedangkan aku membutuhkan mereka di sini dan aku jamin banyak di antara mereka yang senior dan berpengalaman. Perusahaan ini membutuhkan mereka!"
"Tidak untuk sekarang!" Bradley masih bersikeras. "Kita bisa menekan pengeluaran karena tahun ini kita mengalami penurunan drastis."
William menggeleng keras kepala. Masih berpegang teguh pada keputusannya. "Pikirkan setiap tagihan yang terus berjalan Bradley. Mereka menggantungkan hidup pada perusahaan ini. Coba berpikir secara logis, banyak di antara mereka yang menjadi tulung punggung keluarga dan bagaimana cara mereka menghidupi keluarga mereka selanjutnya?"
Bradley mendengus. "Itu di luar batasanmu, William. Alasanmu konyol dan tidak masuk akal. Kenapa kau berpikiran sangat jauh. Jelas-jelas dewan tak akan menyetujui kekeraskepalaanmu ini."
"Aku tidak peduli. Aku pemegang perusahaan ini. Untuk apa aku mendengarkan para dewan. Yang perlu aku lakukan hanyalah meyakinkannya bahwa pemecatan ini bukanlah jalannya. Aku bisa mengatasi penurunan ini dan memperbaikinya."
Bradley menatap tajam pada William. "Inikah yang kau inginkan? Mempertahankan egomu dan mengorbankan perusahaan?"
William menyeringai. "Berhentilah sebelum kedua kakimu tak berfungsi lagi. Kau pikir hanya ego yang aku pertahankan? Kau pikir di mana hal-hal sepele yang tidak aku korbankan untuk meraih ini semua. Lucas dan Jazzy sudah lebih dari cukup merasakan kasih sayang William. Bagaimana denganku dan Austin? Dan ibuku? Yang perlu kau lakukan hanyalah diam dan mengakui bahwa aku pantas berada di atasmu."
Wajah Bradley merah padam. William pikir wanita ini akan mencaci makinya lebih kasar, namun justru meninggalkan ruangannya yang dilakukan.
Menghela napas berulang kali, William menghempaskan tubuhnya dengan lemas ke sofa. Melonggarkan dasi yang melilit lehernya sejak tadi dan memijit pelan pelipisnya. Ia butuh Rahee. Ia butuh gadis itu untuk memeluknya. Hanya gadis itu yang William miliki untuk ia jadikan sandaran. Hanya gadis itu yang akan memberikan ketenangan sama seperti ia memeluk ibunya.
****