BAB 14

1365 Kata
"Itu dia!" seru bocah perempuan berumur sepuluh tahunan. Membuat William tersentak dari posisinya berbaring di sofa. Kepalanya sedang pening dan orang ini justru lancang memasuki ruangannya tanpa ijin. William sudah siap melontarkan kata-kata makian kalau saja sekretarisnya sengaja melakukan ini. Namun ujung tenggorokannya mendadak kering dan lidahnya kelu melihat siapa yang berdiri dihadapannya. Berdecak kesal, William mengamati bocah perempuan yang tadi berseru yang ternyata tidak sendirian. Bocah itu memasuki ruangannya diikuti seorang bocah perempuan yang dua tahun lebih muda darinya. Wajahnya nyaris mirip karena keturunan gen yang berasal dari bibit yang sama. "William di sini. Aku menang dan kau harus mentraktirku kue cokelat." "Sial!" gerutu bocah perempuan yang mengingatkan Justin pada dirinya sendiri. Ketika berada di usia itu, William memiliki hobi yang tak biasa; mengumpat. Jadi bukan hal aneh ketika Mikaela Anderson mengikuti jejaknya lantaran bocah delapan tahun itu teramat dekat dengan dirinya. Bisa dibilang beberapa kenalannya selalu menganggap bahwa Mikaela adalah putrinya. Mikaela menatap cemberut ketika menatap William seolah meminta pertolongan atau lebih spesifiknya meminta uang untuk menyanggupi taruhan yang ia janjikan pada Jazzy. "Maaf, Tuan William, mereka memaksa masuk—" William mengangkat tangan. "Kembalilah ke mejamu Alex. Aku tahu dua bocah ini sangat sulit diatur." Alex mengangguk lalu menutup pintu ruangan William. Jazzy berlari ke arah William dan menerjang untuk memeluk lelaki berumur dua puluh empat tahun itu, "Ya ampun! Aku merindukanmu! Kau ini kemana saja tidak datang ke rumah Austin. Aku selalu menginap di sana?" Kepala William semakin berdetam mendengar kedua bocah perempuan itu yang cerewet. Satu hal saja yang tidak William ketahui dari mana sifat keduanya terbentuk. Seingat William, Austin bukanlah lelaki yang sibuk mengomentari maupun melontarkan banyak pertanyaan pada lingkungan sekitar. Dan Jazzy, bocah itu meski riang namun cenderung pendiam. Itulah kenapa keduanya, baik Mikaela maupun Jazzy sama-sama merasakan cocok satu sama lain ketika bersama. William mendesah. Masih saja dua bocah itu bersahutan mengajaknya bicara tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab. Jadi, membiarkan keduanya menyelesaikan apa yang ingin mereka katakan meski William sendiri tidak bisa mencernanya jika keduanya saling bersahutan seperti itu. Namun William jauh lebih tahu, mereka akan terdiam seiring dengan lelahnya sendiri. "Kau membuatku kalah William. Aku pikir kau bersama papa yang sedang mengurus proyek." Mikaela berceloteh dengan ekspresi bersungut-sungut. Lidahnya bermain menimbulkan jejak suara decakan yang membuat William terkekeh. "Lalu, kenapa kalian berada di sini?! Kalian seharusnya berada disekolah karena ini masih jam belajar?" tanya William menatap dua bocah itu secara bergantian. Tentu tatapan itu mematikan bagi Jazzy dan Mikaela sehingga kepala mereka tertunduk serentak. Memainkan jari masing-masing seraya menggigit bibir kuat-kuat. "Omong-omong, kami membawa taco kesukaanmu," Jazzy lebih dulu menyodorkan kotak makan bermotif kartun tanpa berinisiatif untuk menjawab apa yang William tanyakan. "Dari mana kalian membeli ini?" Alih-alih melupakan apa yang ditunggunya, tangan William meraih sodoran kotak itu dan membukanya. "Jangan senang dulu. Aku menunggu alasan kenapa kalian membolos," ujarnya sambil menghirup aroma taco yang begitu khas menggelitik hidungnya. "Kami punya ponsel," sahut Mikaela. "Dan aku mengaku pulang sore pada mama." William mendesah. "Astaga, lihatlah diri kalian ini. Sebentar lagi, aku jamin, papamu akan meledak mengetahui putri sulungnya terlepas dari sangkarnya. Dan kau Jazzy?" bocah itu memanyunkan bibirnya. "Aku tahu," jawabnya lemas. "Aku bosan karena mama selalu mengurungku. Dan Lucas yang terus belajar. Aku kesepian," ungkapnya. Ketika matanya beradu pandang dengan milik William, lelaki itu menegang. Satu kilatan yang terlihat jelas oleh penglihatannya membuat hatinya tercubit. Dadanya tiba-tiba bergemuruh, dan siapa yang bisa menebak jika kalimat selanjutnya yang William ucapkan benar-benar membuat Jazzy dan Mikaela menangis bersamaan. "Aku benci bersama mama William. Aku hanya ingin bersamamu sama seperti Mikaela yang bebas memelukmu." Mikaela mengangguk dalam pelukan William. Merasakan apa yang Jazzy katakan meski tak sepenuhnya memahami. Tapi bocah dengan kuncir kudanya yang khas itu seakan menyalurkan rasa hangat dan William mengetahui dari mana sifat itu menurun. **** William baru bisa kembali dari kantornya ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam. Meski begitu, kelelahan yang sejak tadi di tahannya terbayar dengan sosok gadis yang meringkuk nyaman di atas sofa. Matanya terpejam rapat dan rambutnya acak-acakan. Di meja tercecer lembaran kertas yang William yakini milik gadisnya. Tertera jelas di kertas putih itu nama Universitas serta fakultas dan jurusan apa yang gadis itu ambil. Harusnya William tahu inilah risiko yang harus ia ambil dari menerima posisinya saat ini. Ia tak memungkiri bahwa ia butuh tempat bersandar, butuh tempat untuk mengeluh, dan ia tak bisa mempertahankan kewarasannya sendirian. Maka inilah alasannya membawa gadis itu kemari. William butuh sosok baru yang akan membuatnya hidup ketika kembali ke rumah. Dan kini ia tahu di mana rumah yang sesungguhnya; Rahee. Sudah terlalu lama dirinya memasang topeng di wajahnya hingga udara serasa terbatas untuk ia hirup. Ia merindukan lingkungan terpencil di mana ia dilahirkan dan tumbuh. Ia merindukan taco dan kue coklat buatan ibu serta nenek angkatnya. Ia merindukan semua hal yang membuatnya harus bersikap egois dan sombong seperti sekarang ini. Ia jelas merindukan ibunya yang di surga—tentu saja—setiap harinya. Andai ibunya di sini, sudah barang tentu wanita itu akan menjadi orang pertama yang mampu menilai tanpa harus William mengatakannya lebih dulu. Ibunya pasti akan menanyainya dan mendorongnya bercerita. Andai di masa lalu William punya waktu lebih banyak bersama ibunya, ia bersumpah tak akan menyia-nyiakan saat itu hanya untuk bersikap ketus dan berjarak. Andai saja waktu bisa diputar ulang dan ia bisa mengembalikan ibunya. Apapun namanya William merasakan sesal yang tiada ujung dihari-harinya. Karena toh, sekali pun ia berkuasa, ia tahu bahwa dirinya tak benar-benar berkuasa dengan kehendaknya yang satu itu. Pertama kali melihat Rahee, William tak mengerti mengapa ia tak kunjung mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Meski mengamati secara diam-diam, dan selama dua puluh empat tahun hidupnya, banyak wanita yang menampakkan keramahan di depannya, tentu lebih cantik dan menawan. Namun ketika William menatap mata gadis ini, entah bagaimana itu menentramkannya. Keramahannya teduh dan sama sekali tidak dibuat-buat. Rahee cantik meski tanpa riasan. Ini seperti respon lain ketika Rahee sanggup menghubungkannya dengan masa lalunya, namun satu-satunya yang ingin Sehun lakukan adalah menarik gadis ini mendekat. Caranya mungkin kotor. Memaksa dan mengancam. Tapi ia William Anderson. Ia memiliki kuasa, kehendak, dan pengendali yang mengatur semuanya. Ia menjalankan dua perusahaan besar sekaligus dan ia menggenggam separuh dunia yang telah ditahlukkannya. Rahee bukan perkara susah untuk ia genggam. Hanya saja, semua rencana awalnya justru melenceng dari perkiraan dan membuatnya terjebak dalam romansa cinta. Menyesal? Satu-satunya penyesalan yang William rasakan yaitu ibunya. Ia begitu membatasi diri dan tertutup. Ia menciptakan jarak yang tak bertepi sehingga waktu yang seharusnya dihabiskan untuk berbagi bersama ibunya menghilang. Tapi Rahee adalah rumahnya. Suara lenguhan dan sofa yang bergerak mengalihkan tatapan William. Sejak tadi ia duduk di samping Rahee dan memerhatikan apa-apa saja yang gadis itu kerjakan. Tubuhnya merendah dengan kedua tangan tepat didahi gadis itu. Mengurutnya secara perlahan hingga kelopak mata itu bergerak dan mengerjap. "Hei," sapa William pertama kali mata coklat itu terbuka. "Apa aku membangunkanmu? Aku baru saja ingin memindahkanmu," kata William. Rahee memegang tangan William yang menghentikan gerakan lelaki itu mengurut dahinya. "Kau pulang?" William mengangguk dan mencium sekilas bibir mungil itu. "Aku membuatkanmu taco. Jazzy bilang kau suka taco." William tersenyum simpul. "Aku memakannya siang tadi. Jadi, dua bocah itu merayumu?" Rahee terkekeh. "Mereka sangat lucu. Aku tak bisa menolaknya." Hening diantara keduanya membuat William memeluk tubuh kecil itu. Mencerukkan wajahnya di leher Rahee serta membaui wangi-wangian kayu manis yang memabukkan. Sensasi menenangkan yang menular membuat William kian mengeratkan pelukannya. "Aku merindukanmu," bisiknya. "Aku tidak tahu mengapa aku bisa merindukanmu setiap harinya. Aku juga tidak tahu karena aku tak bisa mencintai orang lain selain dirimu. Saat melihatmu pertama kalinya, aku takut kehilanganmu. Kau seperti bayanganku dan aku bayanganmu. Kau adalah hati di mana aku harus menyimpan sejuta cinta. Dan aku ingin menjadi hati di mana kau tetap satu. Setiap saatnya aku selalu berharap bahwa hanya kau yang akan menemaniku dan menungguku kembali." "Aku bahkan berubah egois dan penuh obsesi untuk memilikimu. Karena aku tak ingin hanya sekedar menjadi nama untukmu. Aku ingin lebih. Aku ingin menjadi satu wujud yang dapat kau rasakan, dapat kau genggam, dapat kau kenang bagaikan itu hal penting dalam hidupmu. Aku ingin menjadi angin yang ada untukmu, atau udara yang bersamamu. Aku ingin napas yang menemanimu, aku ingin menjadi alirah darah yang mengalir dalam dirimu. Aku ingin menjadi segalanya untukmu." ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN