Perasaan William menggebu-gebu begitu pagar hitam rumahnya mulai terlihat dari kejauhan. Ia berharap mengendarai mobilnya dengan cepat meski William sendiri yakin mobilnya telah melaju wajar.
Tapi siapa sangka jika memberikan kejutan untuk seseorang memang terasa seperti ini?
William membayangkan reaksi Rahee ketika melihatnya di depan pintu. Dan William berharap gadis itu merindukannya seburuk yang ia rasakan. William ingin mendapatkan sebuah pelukan menerjang akibat kerinduan menumpuk selama dua hari.
Mungkin saja Rahee akan melakukan hal itu. Sejauh William mengenalnya, gadis itu memang cenderung mudah mengekspresikan emosinya. Pun mereka belum pernah terpisah untuk waktu yang lama, dan dua hari itu seperti selamanya.
Rasa syukur lainnya William ucapkan lantaran tak adanya kendala dalam penerbangannya. Sehingga ia tiba tepat waktu dan berharap kejutannya akan berjalan lancar.
Ketika mobilnya sampai di depan pagar—tanpa lagi peduli—kedua kakinya segera berlari cepat meninggalkan kondisi mesin yang masih menyala. Persetan saja jika ada yang ingin membawanya, koleksi mobil mewahnya terlalu banyak dan kehilangan satu di antaranya bukanlah sebuah masalah.
Segera William melesat masuk dan menaiki undakan tangga setelah mengabaikan sapaan beberapa penjaga yang lalu lalang sekenanya. Lantai dua tak pernah terasa lama untuk dicapai. Kemudian senyum William mengembang ketika melihat pintu di lantai kamarnya.
William mengetuknya keras-keras dan membuka tangannya untuk menunjukkan keberadaannya. Ia telah bersiap dengan sebuah pekikan yang Rahee lontarkan, namun bahunya merosot seketika, manakala yang membuka pintu bukanlah sosok yang ia harapkan sejak rencana kepulangannya dipercepat.
"William!" suara sopran itu memekakkan telinganya. Belum genap dua detik keberadaannya, tubuh itu menerjangnya dengan pelukan yang sama sekali tidak William inginkan.
Tunggu. Kenapa Olivia?
"Olivia?!" teriak William. Alih-alih membuat kejutan, justru ia sendiri yang terkejut dengan keberadaan Olivia. Sudah berbulan-bulan terpisah lantas mengapa wanita ini berada di sini?
William ingin marah. Mengeluarkan sumpah serapahnya—memaki jika itu diperlukan.
"Aku merindukanmu," katanya. Kini, kedua kakinya melingkar di pinggul William dengan kedua tangan melingkar dilehernya membuat lelaki itu mendengus kasar.
Apa pendengarannya masih cukup sehat? Merindukannya, katanya. Wanita itu merindukannya setelah berbulan-bulan tak bertemu. Wanita itu mengatakan kalimat ringan seakan-akan diantara keduanya baik-baik saja.
Berengsek!
"Lepaskan!" bentaknya seraya mencoba melepaskan diri. Tangan William terkepal kuat disertai buku-buku jarinya yang memutih. Suaranya terdengar mengerikan lantaran memendam amarah untuk tidak meledak—tidak sekarang.
Olivia mengurai pelukannya dan menjatuhkan diri di sofa. Mengambil makanan yang terhidang serta bungkus snack yang tercecer dilantai. Lalu memakannya tanpa peduli tatapan benci yang William lemparkan.
Apa-apaan ini! Batin William. Berbulan-bulan berpisah dan kini secara tiba-tiba wanita itu mendadak kembali. Siapa pun orangnya akan merasa marah. Tak terlebih William yang tersulut emosi. Seolah-olah sumbu kembang api yang siap diledakkan, seperti itulah gambaran wajahnya saat ini.
Wanita itu jelas-jelas telah meninggalkannya demi lelaki lain. Dan saat William berusaha bangkit dengan membuka diri bersama Rahee, kemunculan Olivia yang sama sekali tak diharapkannya telah membangunkan sisi gelapnya.
Sejujurnya ia benci hal ini. Ia benci mengakui jika Olivia pernah singgah di hatinya dan memberi warna dihari-harinya. Ia benci mengingat pernah memberikan cintanya untuk wanita seperti Olivia. Ia benci akan kondisinya kala itu. Ia benci pernah berjuang untuk hatinya dan cintanya. Dan ia benci hingga kalimat mana pun tak pantas untuk ia deskripsikan.
"Untuk apa kau di sini?" Pertanyaan itu membuat Olivia mengernyit. Satu bibirnya terangkat ke atas dan sedetik selanjutnya tertawa. Tak ayal kedua alis William bertaut dengan wajah kebingungan.
"Aku berhak William," jawabnya, "Aku kekasihmu. Dan di mana letak salahnya untuk aku berada di sini," sambungnya.
Satu tangannya kembali meraih snack yang berada diatas meja. Lalu mengunyahnya tanpa beban.
"Kekasih?" ulang William berdesis. Matanya menyipit menjatuhkan tatapan intens mengintimidasi lawan bicaranya. Tipikal William ketika memandang lawannya bicara. Telak tatapan itu akan membuat siapapun merasakan takut dan menunduk dalam. "Kekasih ya?" tanyanya sekali lagi.
Olivia hanya mengangguk. Mulutnya masih mengunyah dan fokus matanya menatap televisi tanpa peduli akan William.
"Oh ya kekasih." Sehun berdehem dan berjalan mendekati di mana Olivia duduk. "Kau kembali," ucapnya menampilkan senyum manis yang dibuat-buatnya. Satu tangannya merayap dibahu kanan Olivia dan mencengkeramnya. "Pergi sekarang juga atau aku akan mendepakmu sejauh mungkin."
Olivia meringis kesakitan. Bukan tandingannya menahan cengkraman William yang menyakitkan. Bahkan rasanya seperti tulang-tulang diarea bahunya remuk.
"Astaga! Lepaskan aku William!" rontanya. Namun hal itu bukan masalah ketika satu tangannya ikut mencengkeram bahu kirinya, "Aku bilang lepaskan William," teriaknya.
William tertawa sumbang. Suara tawanya mengerikan. Olivia jelas mengenal William.
"Melepasmu, ya?" Tekannya sekali lagi. Olivia semakin merintih kesakitan. Kedua bahunya benar-benar sakit dan tulang-tulangnya seperti diremukkan, "Lalu bagaimana dengan aku yang pernah memohon padamu untuk tidak melepasku tapi kau melakukannya?"
Pembalasan telah tiba! Hanya itu yang melintas dipikiran Olivia.
"Aku menyesal melakukan itu, William. Lelaki itu tak ada apa-apanya dibanding dirimu. Kumohon lepaskan aku."
William tertawa mendengarnya. Jenis tawa yang sebagian orang tak ingin di dengar.
"Dan di mana Rahee?" William teringat akan gadis itu. "Gadis yang tinggal di sini. Menempati kamar ini."
"Asistenmu ada di kamarnya. Tunggu! Apa katamu tadi? Di kamar ini?" Olivia bertanya sambil sesekali menahan sakit di bahunya. "Aku tidak tahu jika asistenmu menempati kamar ini. Kamar ini jelas—"
"Tutup mulut!" sargah William. Terkutuk untuk Olivia yang mengucapkan jabatan asisten. "Dia bukan asistenku tapi ya dia menempati kamar ini bersamaku," jawabnya.
"Omong kosong!" kekeh Olivia. "Aku tahu siapa Rahee dan gadis kecil itu mengatakan 'asistenmu'. Sejak kapan kau berubah begitu lembut pada seorang gadis William? Kau mengijinkannya tinggal sedangkan aku tahu—"
"Gadis kecil?" Mata William menyipit, "Di mana dia?"
"Kau benar-benar William, kan?" Olivia mencoba meraih pipi William untuk diusapnya. Belum sempat tangan itu menyentuh pipi William, lelaki itu telah mengalihkan wajahnya. "Kau benar William dan aku mengakui sepenuhnya kau telah berubah."
William tetap bungkam. Apa pedulinya jika ia harus berubah. "Kau telah menurunkan egomu sama seperti nasihat Austin beberapa bulan yang lalu," ungkapnya. "Kau pasti sangat bergantung pada Rahee, kan sampai-sampai kau melupakanku. Kedatanganku sia-sia, sepertinya."
William mengerjapkan kedua matanya. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wanita ini masih sama. Tak pernah berubah. Gigih dan cenderung gila.
"Akhirnya kau menyadari—mengakui lebih tepatnya jika kau membutuhkan seseorang. Omong kosong perusahaan yang membuat hidupmu berantakan tanpa bersenang-senang sekalipun. Austin benar, hidupmu semakin buruk padahal kau butuh tempat berbagi dan sokongan."
Olivia memegang kedua tangan William yang berada dibahunya. Cengkraman itu mengendur seiring ucapannya. Matanya terus mengawasi raut perubahan wajah William dan senyum kecil terbit disudut bibirny. "Aku mungkin tak menganal Rahee seperti kau mengenalnya. Tapi aku yakin, gadis itu baik untukmu. Aku melihatnya. Aku bahkan tahu, dia menangis ketika aku mengatakan 'calon tunanganmu'."
"Bagus Olivia. Lanjutkan saja omongan sialanmu itu!" William melangkah pergi. Mencoba menebak di kamar mana Rahee bersembunyi.
"Kau hanya terlalu mandiri dan merasa bisa mengatasi semuanya. Tapi kenyataannya tidak. Semua orang butuh tempat berbagi dan sokongan."
Olivia ada benarnya. Dan William membenarkan lewat bisikan lirih dalam dirinya. Ibunya seorang yang hebat dan mandiri. Ibunya mampu menghidupi dan membesarkan dirinya dan Austin seorang diri. Ibunya tak pernah ingin dikasihani atau bahkan dianggap lemah karena menjadi ibu tunggal di usianya yang sangat muda. Itu mungkin saja menurun pada William dan Austin.
Sekarang William mengerti. Pada dirinya sendiri mengalir darah dengan bakat sulit didekati. Itu terbukti ketika Alaina yang mati-matian mendekati Austin semasa kuliah dulu.
"Dan kau," lanjut Olivia, "Kau butuh seseorang, William. Sayangnya, kau sangat t***l saat mendekati seseorang."
****