William tergesa-gesa ketika menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tanpa mempedulikan sapaan pelayan yang juga menunduk hormat padanya, langkahan kakinya menerjang pintu berwarna coklat mahoni dengan brutal. Astaga, ini mulai menggelikan. Ia mulai berkelakuan seperti Austin. Mencemaskan istrinya setengah mati padahal ia sedang berada di tengah pekerjaannya yang menggunung. Namun kunjungan Austin ke kantor agensinya—yang William anggap bukan hal biasa—menarik minatnya untuk berbincang sedikit bersama saudara kembarnya itu. Bukan tanpa alasan tentunya. Pasalnya, Austin selalu menahan diri jika ingin membicarakan bisnis bersamanya dan memilih rumah sebagai tempat teraman. Lain halnya dengan hari ini yang meningkatkan sinyal ketidakberesan melihat sosok Austin muncul begitu saja. Biasanya Will