Seember es krim dan tiga batang cokelat belum mampu mengubah suasana hati Rahee. Ia tak tahu mengapa menjadi uring-uringan dan menginginkan banyak gula. Ia menginginkan semua makanan manis dan lelaki tampan yang tak pernah tersenyum bernama William Anderson.
Ia bahkan berniat memasak semua jenis masakan manis namun sayang kendali pada dirinya menahannya. Sehingga mengurung diri di kamar dengan gorden yang tertutup dan lampu padam betul-betul menjadi paduan suasana hatinya.
Tak seharusnya Rahee merasakan perasaan seperti ini. Merasa marah dan terkhianati. Itu jelas-jelas hak William untuk lelaki itu berkencan dengan wanita mana pun termasuk Olivia.
Meski William selalu pulang tepat waktu dan selalu menyempatkan diri makan malam bersama Rahee, memangnya siapa yang ingin mengetahui apa-apa saja yang lelaki itu lakukan diluar sana. William bebas melakukan apa saja bahkan bebas memilih wanita mana saja yang berlipat-lipat kali lebih baik dari pada Rahee. William bisa melakukan itu, meski dia mencium Rahee.
Tiba-tiba Rahee di cekam amarah. Entah bagaimana air matanya telah membendung hampir tumpah—lagi. Dan seperti ditiup peluit untuk memulai perlombaan, cairan bening itu kembali turun membasahi pipinya.
Rahee tidak mengerti mengapa bayangan William yang berkencan dengan wanita lain terasa janggal. Rahee begitu kesulitan menelaah hatinya sendiri ketika emosi bercampur aduk dalam dirinya. Kerinduan, cinta, pemujaan.
Sial! Rahee mengakuinya. Rahee memang telah jatuh cinta pada seorang William. Ia tak ingat kapan tepatnya menyadari ini, namun hari-harinya terasa menyenangkan sejak ada William. Dan semuanya akan terasa aneh jika sehari saja tidak melihatnya.
Rahee tidak pernah berteman dan ia telah menganggap William sebagai temannya. Ia tak pernah diperhatikan dan menganggap William pelindungnya lantaran sikap protektif lelaki itu yang berlebihan. Dampak terburuk dari sikap protektif itu berakibat fatal pada hatinya. Ia bahkan menganggap William sebagai teman debatnya selain ayahnya yang kini telah pergi.
Rahee serius menyukai segala hal yang ada pada diri William.
Sekarang membayangkan urusan pemotretan yang hanya kedok untuk William menjauhinya berseliweran dikepalanya. Mungkin saja lelaki itu menjalin hubungan normal dengan wanita yang lebih berpotensi—seperti Olivia contohnya—kembali memilin hati Rahee.
Sebelumnya Rahee tak pernah menyesal. Namun saat ini ia mengutuk mengapa dirinya tak pernah tahan terjebak dalam obrolan bersama teman-teman semasa high schoolnya yang selalu membicarakan fashion dan busana. Riasan-riasan trendi atau apapun itu untuk masa depannya. Setidaknya Rahee harus memperbaiki penampilannya saat ini untuk menarik lelaki dimasa depan. Atau sekecil-kecilnya harapan Sehun meliriknya.
Di samping kehidupan asmaranya yang ironi, penampilannya tak kalah kacaunya. William tipe lelaki dewasa yang sangat-sangat matang pastilah mengharapkan seorang gadis yang mampu mengimbanginya. Bukan seperti dirinya yang bahkan tidak tahan untuk menggerai rambutnya barang satu menit lamanya.
Rahee bukan minder soal pergaulannya. Terlebih ketika teman-teman sebayanya menikmati masa remajanya yang begitu disanjung, dimanja, dan diagung-agungkan oleh orang tuanya dengan uang yang berlimpah. Tapi dirinya terjebak dalam kubangan kemiskinan dan hutang yang menumpuk akibat pengobatan ibunya. Ia tak pernah merasa iri setiap kali teman-temannya memamerkan barang mewah keluaran terbaru yang diberikan orang tuanya. Namun hari ini, setelah pertemuannya dengan Olivia, Rahee perlu menyembunyikan dirinya karena merasa sangat kecil.
Kemudian pintu kamarnya terketuk keras-keras.
Suasana hatinya sedang buruk, Rahee menetapkan tekadnya untuk menjadi jahat dan membiarkan ketukan-ketukan keras itu berubah menjadi sebuah gedoran. Ia tidak ingin berbaik hati kepada siapa pun hari ini. Bahkan jika itu Jazzy dan Mikaela yang merayunya dengan jurus apapun untuk membuatkan kue, Rahee akan tetap menolaknya.
"Selain melihatmu yang sedang bersenang-senang dengan makanan jahat, kau juga mengabaikan ketukan di pintu."
Bariton berat itu memberi efek diam untuk Rahee yang hendak memasukkan sesendok es krim ke dalam mulutnya. Tangannya mendadak kaku dan sulit digerakkan. Lidahnya juga kelu sekedar merasakan dinginnya lelehan es krim pun tidak bisa. Tengkuknya meremang merasakan terpaan napas halus yang Rahee yakini bersumber dari suara seksi itu.
"Mau bercerita?" Wajah tampan penuh perhatian yang Rahee rindukan selama dua hari itu kini tepat berada di depannya. Seperti berbisik di depan bibirnya, membuat pipi Rahee merona.
Astaga, begitu sialannya kalimat ringan itu. Hanya sebuah pertanyaan namun mampu memberikan cetakan rona dikedua pipinya.
Sial. Dalam hati, Rahee terus mengumpat dan berharap bahwa ini tidak boleh terjadi pada dirinya. Akan sangat mengkhawatirkan jika matanya tidak segera ia bawa kerumah sakit. Ia butuh pemeriksaan intensif karena sekarang semua orang terlihat seperti William. Dengan senyum penuh godaan, bibir lelaki itu tertarik keatas memberikan isyarat cium aku.
Siapa sangka patah hati itu mengerikan?
"Aku tidak mabuk," rapal Rahee. Ia ingat betul bahwa yang masuk kedalam mulutnya adalah es krim dan cokelat bukan alkohol. Rasa manisnya masih tertinggal dan Rahee memainkan lidahnya guna mencecapnya. Jadi, apakah sekarang es krim dan cokelat itu memabukkan?
"Ini tidak nyata!" ulangnya sembari melempar es krim ke sembarang arah lantas memukuli wajahnya.
William tertawa. "Astaga, aku nyata Rahee."
Rahee berharap ia terlihat lebih menarik meski tak memungkiri kondisi pakaiannya yang berantakan dengan rambut acak-acakan. Ia baru saja patah hati, meratapi nasibnya, dan tidak siap menghadapi siapa pun.
"Aku pikir kau akan kembali dalam beberapa hari lagi."
William hanya tersenyum dan menempatkan bokongnya tepat disamping Rahee.
Ingin cepat-cepat Rahee mengusirnya, tapi mengingat bahwa mansion ini milik lelaki itu yang artinya kamar yang sedang ditempatinya sebagai tempat pelarian juga milik lelaki itu, nyali Rahee menciut.
Bergerak secepat mungkin untuk menjauh pun Rahee sudah terlambat. Karena kini lelaki bertubuh kekar itu telah mendominasinya. Mengukung tubuh mungilnya dengan pelukan hangat dan aman hingga Rahee ingin selamanya berada di sana.
Pekikan yang Rahee lengkingkan juga tak bisa ia temukan artinya. Entah itu sebuah jenis protesan atau rasa tawa senang namun Rahee merasa damai berada dalam pelukan William. Lelaki itu menghujaninya dengan ciuman-ciuman penuh hasrat dan menyalurkan kerinduannya disetiap kecupannya. Lumatan di bibirnya semakin membuat Rahee mencintainya.
"Aku merindukanmu," bisik William seusai melepas lumatan di bibir Rahee.
Rahee menahan diri untuk tidak memeluk William kuat-kuat. Keberadaan lelaki itu membuat perasaannya senang. Terlebih senyum yang lelaki itu tampilkan dan sentuhan jarinya yang mengusap bibirnya. Seketika perasaan rendah diri itu menguap begitu mata karamel William menatapnya dengan sorot berbinar.
"Dua hari yang mengerikan. Aku tak mau berada di neraka itu lagi." William mengecup lagi. Lidahnya melumat lagi dan dibalas oleh Rahee. Ciuman ini terasa sangat akrab dan Rahee mendambakannya.
"Bagaimana pemotretannya?" tanya Rahee. Ia menelan perasaan lain seperti, apakah para model itu memberimu kepuasan.
"Kau yang paling tahu. Tapi tidak, aku tak yakin kau mau mendengarnya. Kau tak akan suka dengan itu."
Rahee tertawa ketika jawaban yang William lontarkan sepenuhnya benar. Sehun cukup mampu membaca perasaannya yang kalut.
William tertawa melengkapi hari Rahee yang mengerikan. Tawa itu juga yang membuat suasana di antara mereka menghangat. Sempat Rahee berpikir sekedar memberi jarak, namun mustahil sekali ketika mereka terasa sangat pas untuk bersama-sama seperti ini.
"Mau bercerita?" kembali William mengajukan pertanyaan yang sama seraya berbaring memeluk Rahee. Ia mengusap puncak kepala Rahee, sehingga rasanya seperti di surga. "Apa yang terjadi selama aku tak ada?"
Rahee berpikir sejenak. "Apa yang kau harapkan? Semuanya telah aku ceritakan lewat telpon. Tak ada yang menyenangkan selain pergi kuliah dan datang ke studio membantu Allinson. Atau menemani Jazzy dan Mikaela menghancurkan dapur Meida dan merusak tanaman Alaina di kebun belakang."
Walau nyatanya dusta karena Rahee terjebak patah hati setelah bertemu Olivia yang begitu cantik. Mengungkapkan secara terang-terangan takkan memberi nilai yang bagus dimata William. Rahee tak ingin dianggap pencemburu atau sejenisnya.
Rahee merasakan sentuhan daging kenyal ditengkuknya. Lelaki di belakang punggungnya ini memeluknya erat-erat. "Apa yang kau pikirkan tentang ini?" ujarnya mulai menurunkan ciuman ke leher Rahee.
"Apa?" balas Rahee setengah mendesah.
"Disebut apa ini? Berbalas rindu? b******u?"
Rahee merona dan memejamkan matanya. Seratus persen William berhasil merenggut udara di sini dan membuatnya mulai tersengal.
"Aku tak bisa berhenti menyentuhmu."
Benar. Begitu saja. Rahee juga tak mau William berhenti.
"Aku sangat suka menciummu. Aku tidak berbohong bahwa aku ingin lebih."
Rahee tak akan berpikir dua kali—sekarang juga—jika William menginginkannya. Rasa menggelitik di antara pahanya membuatnya mengerang tak karuan.
"Aku suka aromamu. Tubuhmu beraroma kayu manis dan aku ingin sekali menyentuhmu di mana pun. Pernahkan aku bilang begitu?"
Rahee menggeleng. Ia sendiri tidak tahu apakah itu semacam pujian atau tidak. Tapi endusan yang William lakukan seperti orang kecanduan dan Rahee menganggapnya itu hal baik.
"Kau baik-baik saja jika aku mencumbumu?" tanya William.
Rahee membuka mata. Menimbang jawaban mana yang akan disampaikan sementara William menantinya. Ia malu untuk mengungkapkan betapa inginnya diperlakukan manis oleh William.
Hidung William menggoda telinganya menyalurkan gelenyar geli berkumpul dikepalanya hingga panas menjalari tubuhnya. "Jawab aku, Rahee."
"Y-ya."
Kendati Rahee menjawab ragu-ragu, berbeda dengan William yang membalasnya mantap. "Bagus."
Diraihnya wajah Rahee membuat gadis itu memutar kepalanya hingga bertemu wajah dengan William. Bibir mereka kembali menyatu dan lidah yang saling membelai. Sedang tangan William di seluruh tubuh Rahee menyentuh setiap incinya.
Jemari panjang William terlihat begitu menggoda menunjukkan betapa lihainya jemari itu ketika menyusuri paha Rahee yang terekspos. Jemari itu mempunyai kutub berlainan dengan Rahee sehingga membuatnya terbuka secara sukarela karena tersengat gairah.
"Kita belum pernah melakukan ini," bisik William. "Tidak pernah sejauh ini."
Rahee meneguk ludah. "Y-ya." Setujunya menanggapi. Mereka berciuman, berpelukan, tapi tidak pernah menyentuh daerah sensitif yang berpotensi membuat mereka tak mau berhenti.
"Mengapa kau sangat terbuka untukku?" William menjauhkan wajahnya dan menatap Rahee dalam-dalam.
"Aku menginginkanmu, William." Rahee kehilangan setiap kata di kepalanya. Ia juga tidak tahu bagian diri mana yang bicara seperti itu.
William menggeram. Ia mencium Rahee lagi. "Apa yang kau pikirkan tentangku?" tanya William melepas ciuman itu dan menempatkan dahinya di dahi Rahee.
"Apa itu perlu?"
William tertawa.
"Kau sangat menyenangkan meski sisi menyebalkanmu tak jauh berbeda."
William terkekeh. "Kau selalu memelukku erat setiap kali kau mengigau."
Rahee merona.
"Aku bicara dengan Olivia."
Jangan katakan ini sesi pergantian topik. Lantas kenapa Olivia?
Rahee tersenyum. "Aku bertemu dengannya. Dia... cantik," jawabnya penuh perhatian.
William menatapnya—sinis. "Bukan itu yang aku bicarakan."
Walau eksistensi Sehun masih terus menatapnya, entah mengapa Rahee merasakan suasana yang berbeda sejak Olivia diangkat menjadi topik pembicaraan keduanya. Gadis itu seperti orang ketiga sekarang dan lebih sial ini pertemuan pertama William dengan dirinya setelah dua hari berpisah. Bayangkan saja bagaimana keadaan hati Rahee. Buruk—tidak tapi berkali-kali lipat lebih buruk.
"Apa yang kalian bicarakan?" Rahee bertanya antusias.
"Kami berbicara soal aku yang t***l mendekati seseorang." William menjilati bibirnya dan Rahee bersumpah ingin mengecupnya. "Pembicaraan itu memiliki sirat tersembunyi jadi aku hanya bisa menyimpulkan mentahnya. Tapi Rahee, aku benar-benar tak bisa lagi menahannya. Aku tak sanggup melalui satu hari tanpamu. Lucu, ya?"
Mata Rahee balas menatap William.
"Mampukah aku kehilangan setiap kebiasaan yang kita lakukan bersama. Bisakah aku bertahan untuk tidak menyentuhmu, atau lebih parahnya tidak melihat senyummu—aku akan mati detik itu juga. Dan mengingat begitu lezatnya taco dan panekuk yang kau masak, setiap harinya aku ingin memakan hasil masakanmu." William tersenyum.
"Jawabannya baru saja terlintas. Bodohnya aku baru menyadari hal itu ketika kau berada jauh dariku. Aku seorang i***t, benar. Maki aku Rahee. Hina aku. Harusnya aku membuat ini menjadi lebih benar sejak awal."
Rahee mengatupkan mulutnya menunggu kalimat selanjutnya yang akan meluncur dari bibir William.
"Jawabannya tidak bisa Ra. Demi Tuhan, aku jatuh cinta padamu dan aku tak bisa membayangkan jika kau tak ada dihidupku."
Mata Rahee berbinar mendengar William menyatakan cinta.
William jatuh cinta padanya.
Pada Rahee.
Perasaan Rahee berbalas.
"Aku lelaki konvensional. Ibuku berkata bahwa menjadi b******n adalah hal terlarang. Aku ingin menyentuhmu tapi aku bisa menahan itu hingga batinku tersiksa. Supaya kau tidak mengalami kejadian buruk atau aku menjadi seburuk ayahku."
"Tapi aku tetap lelaki yang ingin menandai miliknya. Aku ingin memilikimu, menyingkirkan semua orang yang terlalu dekat denganmu. Aku ingin dirimu, Rahee. Ini mungkin terdengar konyol sedangkan aku lelaki kolot dan konvensional, tidak romantis. Aku berharap ini cukup mengesankanmu meski aku terlambat mengatakan semuanya. Apakah kau mau menikah denganku dan mengulangi rutinitas kita dengan status baru sebagai istriku?"
Sial. Ini terlalu banyak. Ciuman. Cumbuan. Sentuhan. Pernyataan cinta. Lalu, apakah yang tadi itu disebut sebagai lamaran?
****