"Aku ingin bersamamu di sini! Kenapa kamu malah mengusirku, sayang?"
Nurani masih merasakan sakit di kakinya, tetapi ia harus mencari tasnya. Ketika ia melangkah ke ruang tamu, ia mendengar suara seorang perempuan dan seorang laki-laki.
"Aku ingin sekali lagi, Nelson. Kamu tahu kan kalau ak--"
Percakapan mereka terhenti ketika Nurani berdiri di pintu ruang tamu. Nelson menyadarinya dan menyuruh perempuan itu pergi. Perempuan tersebut tampak kesal karena diusir oleh Nelson, padahal ia baru saja ingin bermanja-manja.
"Ada apa?" tanya Nelson setelah perempuan cantik berbaju seksi itu pergi, melewati Nurani dengan tatapan membunuh. Gadis itu merasa bahwa Nurani adalah seorang pengganggu.
"Maaf, Tuan. Saya mengganggu," kata Nurani dengan sangat hati-hati. Ia memang telah mengganggu kesenangan Nelson. Nurani sadar bahwa laki-laki tampan dan mapan seperti Nelson selalu digandrungi oleh para wanita.
"Tidak, sayang. Kamu sama sekali tidak menggangguku. Apa yang ingin kamu sampaikan?"
Nelson ketahuan sedang bermesraan dengan seorang wanita yang merupakan salah satu karyawannya. Mereka memang sudah berjanji untuk bertemu di hotel itu, tetapi kehadiran Nurani tidak ada dalam rencananya. Hanya karena Nurani memiliki wajah yang lebih cantik dan segar, karyawannya itu tidak lagi menarik bagi Nelson.
"Saya ingin mengambil tas saya. Saya--"
"Oh, tas kamu? Apakah yang ini?" Nelson mengacungkan tas kumuh yang berada di atas sofa. Ia membawanya ke sana namun lupa memberikannya kepada pemiliknya.
"Iya, Tuan. Itu tas saya."
Nurani mendekat dengan terpincang-pincang. Nelson merasa kasihan pada gadis jelita itu, sehingga ia meraih tubuh mungil itu dan mengajaknya ke atas sofa.
"Kamu sebaiknya jangan jalan-jalan dulu, sayang. Kakimu harus diistirahatkan," ujarnya.
"Te-terima kasih, Tuan. Ini hanya luka kecil, saya sudah terbiasa merasakan luka."
Nurani adalah anak kampung. Dia sering menginjak duri ketika di ladang atau kerikil. Jadi paku payung seperti itu biasa saja, meski awalnya kaget karena melihat kakinya berdarah.
"Kamu sering terluka?" tanya Nelson dengan sorot mata biru yang menatapnya lekat.
"Iya, karena di ladang banyak sekali duri. Saya sudah terbiasa, Tuan."
Nelson merasa sangat simpatik pada gadis itu. "Kamu mengagumkan," ujarnya. Nelson tidak pernah menemukan gadis setegar gadis di depannya ini.
"Terima kasih, Tuan. Saya permi--"
"JADI INI PEREMPUANNYA!"
Seorang gadis berbeda masuk, membuat Nurani menggeleng tidak habis pikir. Laki-laki di depannya sungguh luar biasa. Bagaimana bisa ia berganti perempuan dua kali dalam sehari? Dikira perempuan itu obat kali ya!
"Kenapa kamu ke sini?" suara Nelson dingin, dan Soraya tentu saja kesal.
"Aku menagih janjimu. Kamu bilang kita akan menginap di pantai setelah sampai. Tapi mana? Kamu malah menemukan anak kampung ini!"
Dilihat dari sudut mana pun, Nurani memang seperti anak kampung, meski wajahnya jelita. Soraya tidak suka melihatnya. "Kamu menolak aku hanya demi gadis kampung ini, Nelson? Aku lah yang selalu bersamamu!" geram Soraya.
Nelson tersenyum sinis. "Jangan terlalu percaya diri. Kamu dan gadis-gadis itu tidak ada bedanya!" ujar Nelson, membuat wajah Soraya semberut.
"Aku beda, Nelson. Aku tidak--"
"Kamu juga hanya memanfaatkan uangku. Jangan terlalu memuja dirimu, Soraya! Segera pergi dari sini dan jangan pernah kembali!"
Soraya sepertinya tidak mau menerima itu, sehingga menunjuk Nurani tepat di wajahnya. "Awas kamu! Aku akan membuat perhitungan denganmu!" ancam Soraya, kemudian ia pergi.
Nurani yang tidak tahu apa-apa hanya menunduk dan menggigit bibirnya. Nelson yang melihat itu kembali mengajaknya duduk.
"Jangan pikirkan mereka, sayang," ujar Nelson.
Nurani mengerjap pelan. Kedua perempuan itu diusir oleh Nelson. Mendengar dari kalimat yang mereka sampaikan, sepertinya tubuh mereka sudah dimanfaatkan oleh Nelson. Apakah itu artinya Nurani juga akan dibuang oleh laki-laki kaya ini?
"Apa yang kamu pikirkan, huh?"
Karena gadis itu terus menunduk, Nelson merasa sangat penasaran padanya, sehingga ia ingin mendapatkan kedua sorot mata indah itu.
"Boleh kah saya bertanya?"
Nurani sangat ragu, namun ia tetap harus menanyakan ini.
"Tentang apa, sayang?" tanya Nelson.
"Tentang kedua perempuan tadi. Apa mereka memiliki kesalahan pada Tuan?" tanya Nurani takut-takut.
"Iya, dan tidak," jawabnya.
Nurani terdiam beberapa saat. Ia ingin memberi peringatan bahwa menyakiti seseorang tidaklah baik, apalagi menyakiti seorang perempuan.
"Apa sebenarnya yang ingin kamu tanyakan, hmm?"
Baiklah, sepertinya Nurani harus menanyakan ini dengan benar dan berani. "Saya heran dengan cara Tuan memperlakukan perempuan tadi. Kenapa Tuan mengusirnya dengan begitu tega?"
"Oh, karena itu ya."
Menurut Nelson, gadis ini sungguh pemberani menanyakan sesuatu yang bukan ranahnya. Namun di situ lah letak kelebihannya.
"Saya merasa bahwa Tuan agak keterlaluan padanya."
Nelson tersenyum, menatap wajah jelita itu lebih lekat. "Maksudmu?"
"Dia mungkin mencintai Tuan dengan sangat tulus, kan? Lalu Tuan dengan teganya memperlakukan perempuan itu tidak manusiawi. Apakah Tuan tidak tahu kalau itu bisa menjadi sebuah dosa?"
Nelson terdiam, namun tiba-tiba terkekeh. Ia mendekat dan menarik dagu gadis itu, menatapnya lekat dan lama, membuat mata coklat terang itu mengerjap gugup.
"Ini bukan urusanmu!"
Ucap Nelson dengan tatapan tajam, lantas melepaskan dagu gadis itu, kemudian meninggalkannya begitu saja!