**Nelson's POV**
"Kita akan kembali ke kota," ujarku pada Satria. Urusanku di sini sudah selesai. Aku harus kembali ke kantor di ibu kota. Aku juga akan memastikan membawa gadis itu. Meski dia belum menjawab pertanyaanku tentang aku yang akan memilikinya, aku akan tetap membawanya. Dia sudah masuk ke dalam kandangku. Maka aku tidak akan pernah melepaskannya.
"Baik, Tuan. Bagaimana dengan Nurani?"
"Kita bawa, lah!"
Aku memasukkan semua baju-bajuku yang ingin kubawa ke dalam koper. Kulihat Satria tertegun. Mungkin dia masih merasa ragu dengan apa yang kukatakan. "Kenapa?" tanyaku, seraya memasukkan baju terakhir ke dalam koper.
"Begini, Tuan. Apakah benar kita akan membawa Nurani pulang ke ibu kota? Sementara kita masih belum tahu siapa gadis itu?"
"Dan kenapa kamu masih belum mencari tahu? Apakah harus aku menyuruhmu? Bukankah itu tugasmu? Setiap kali aku menemukan seorang gadis dan aku menginginkannya, bukankah sudah menjadi tugasmu untuk mencari tahu?"
Kututup koperku dan kugeser ke arah pintu. "Kamu punya waktu dua jam. Cari tahu tentang gadis itu selagi kita masih di sini. Kamu cari tahu di mana orang tuanya, siapa namanya, dan apa masalah yang sedang mereka hadapi saat ini. Aku enggak mau harus tanya-tanya sama dia tentang ini. Aku enggak mau jadi lelaki bodoh."
Gemas juga pada laki-laki itu. Ini tidak seperti biasanya. Karena biasanya dia akan mencari tahu dan melaporkan semuanya padaku tanpa aku minta. Namun saat ini sepertinya otaknya sedang tidak beres, sehingga dia membuatku sakit kepala. Coba apa salahnya dia mencari tahu secara lengkap semuanya padaku? Kan tidak ada ruginya, karena aku pun akan membayar semua jerih payahnya itu.
"Baik, Tuan. Saya akan segera pergi."
Aku abaikan saja laki-laki itu, karena memang sangat menyebalkan. Aku bahkan menunggunya sejak semalam, berharap dia akan melaporkan apapun yang ingin aku ketahui. Namun semakin aku menunggu, dia malah diam terus seolah sedang sibuk dengan sesuatu. Sialnya, aku kesal seolah aku ini tidak pernah memberikannya uang.
Kuputuskan untuk menemui gadis itu di kamarnya. Terpaksa aku memesan dua kamar karena dia menolak satu kamar denganku. Padahal aku juga tidak akan berani menyentuhnya, kecuali kalau dia memang memintanya. Sepertinya aku sudah gila! Maksudku, biasanya aku tidak perlu susah untuk menyentuh gadis-gadis cantik itu. Mereka akan mendekatiku dan mengatakan bahwa mereka siap. Aku juga tidak pernah menuntut mereka untuk masih gadis. Asalkan gadis-gadis itu sehat dan cantik, lalu aku tertarik padanya, maka terjadilah semua itu. Namun Nurani Cahya ini memang berbeda. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya berbeda, mungkin karena dia masih murni seperti yang terlihat.
Pintu kamar kuketuk, dan dia membukanya dalam beberapa detik saja. Aku melihat dia menunduk dan tersenyum kaku. Wajahnya jelita dan aku suka dia memakai baju yang kubelikan. Sebuah dress selutut warna pink pucat yang mengurung tubuh langsingnya membuatku ingin sekali memeluknya.
"Aku boleh masuk?"
"Mm... iya." Jawaban yang kurang ikhlas. Tapi ya sudah lah, aku enggak peduli.
Aku pun masuk, begitu dia bergeser ke samping dan menutup pintu. Aku duduk di sofa dan dia mengikutiku. "Kita akan pergi ke ibu kota," ujarku.
"Anda mau pulang ke ibu kota?"
"Bersama kamu."
Dia melebarkan kedua mata indahnya. Mungkin dia terkejut, namun aku memang ingin melihatnya seperti itu. Kenapa? Aku merasa senang saja melihatnya.
"Ta-tapi—"
"Di sini, kamu akan dikejar oleh para lelaki itu, atau kamu memang sedang menunggu mereka akan menjemputmu, dan kamu mau menjadi istri kedua dari kepala desa itu?"
Dia menggeleng cepat, namun kemudian ia menunduk bingung. Aku mendekat dan menaikkan dagunya, supaya ia bisa melihat kedua mataku. "Apa yang kamu pikirkan? Selama kamu bersamaku, maka kamu enggak boleh memikirkan apapun selain aku."
Dia kembali melebarkan kedua matanya. Dan aku suka ekspresi seperti itu. "Aku harus manggil kamu apa? Nur, Nurani, atau Cahya?"
Dia menjauhkan dagunya dari jangkauanku, membuatku merasa kehilangan tentu saja.
"Mm...”
"Atau sayang saja?"
Dia kembali menggeleng cepat, aku terkekeh karena sangat lucu melihatnya. Segera kuraih wajahnya dan kububuhi ciuman di sekitar kening dan pipinya, membuat gadis itu menepak keningku, dan aku terkekeh jadinya. Ayolah, seumur-umur baru kali ini ada seorang gadis yang berani menepak keningku hanya karena aku menciumnya. Dia segera mengambil tisu basah dan mengusap seluruh wajah jelitanya itu. Ia kira aku ini rabies atau apa ya?
"Tuan tidak boleh menciumku sembarangan! Aku bahkan belum pernah mengenal seorang lelaki dengan dekat."
Alamak, aku senang sekali mendengarnya. Itu artinya aku benar-benar telah beruntung mendapatkannya. Baiklah mungkin ini memang terkesan b******k, karena aku menginginkan wanita yang masih suci seperti gadis ini, sedangkan aku memang pernah celup sana sini se suka ku. Tapi percayalah aku ini masih terbebas dari penyakit kelamin. Meski aku suka hal yang seperti itu, namun aku juga tahu bahwa perempuan seperti apa yang harus aku dekati. Aku tidak pernah mendekati perempuan yang sudah terlihat tidak layak untuk aku sentuh.
"Baiklah, baiklah. Aku minta maaf."
Dia memalingkan wajahnya begitu terlihat lucu dan manis. Wajah judesnya itu justru membuatku amat menyukainya. Ah, Nurani... Nurani... kamu benar-benar seperti sebuah nurani.
"Tuan keluar!"
Oh, dia berani mengusirku. Tapi tidak apa-apa, karena aku pasti akan mendapatkannya. Aku yakin seratus persen, aku pasti akan mendapatkannya!
"Aku akan keluar, tapi nanti Satria akan ke sini dan kita akan pergi ke ibu kota. Kamu jangan pernah keluar dari kamar ini, karena di luar ada banyak orang yang berbahaya!"
Orang-orang sepertiku tentu saja. Lelaki beruang dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi, karena bisa mendapatkan gadis seperti dia. Bukan aku meremehkannya, namun setiap gadis yang aku temui biasanya memang agak-agak jaim, namun tentu saja tidak sampai se kejam Nurani. Ah, gadis itu memang membuatku putus asa.
"Saya sudah mendapatkan semua informasinya."
Satria berada di depan pintu kamarku, dan aku mengajaknya masuk. Lumayan juga, hanya tiga puluh menit dia sudah menemukan informasi itu. Aku tidak peduli dari siapa ia mendapatkannya. Aku masuk diikuti oleh laki-laki itu.
"Jadi apa?"
Aku duduk di sofa dan dia berdiri di depanku.
"Jadi, mereka tinggal di Desa Kenangan. Kedua orang tuanya memiliki hutang pada seorang kepala desa. Mereka tidak bisa melunasinya, sehingga Nurani harus menikah dengan laki-laki itu. Sekarang kedua orang tuanya tidak ada di desa karena pergi ke kota untuk mencari Nurani."
Ah, sayang sekali. Aku tidak menemukan kedua orang tuanya. Jadi bagaimana bisa aku menolongnya kalau begini. "Untuk kepala desa itu, temui dia dan berikan uang sebanyak hutangnya, dan katakan padanya untuk tidak mengganggu Nurani lagi!"
"Baik, Tuan."
Satria kembali meninggalkan ruanganku. Aku rasa saat ini urusanku telah selesai. Aku tidak akan memiliki masalah lagi! Dan Nurani tentu saja akan menjadi milikku.