"Ampun, Pak! Saya mohon ampuni saya! Saya sungguh tidak tahu ke mana Nurani pergi."
Ayah Nurani bersimpuh di kaki lelaki berbadan kekar itu. Mereka adalah debt collector suruhan kepala desa yang gagal menikah dengan Nurani Cahya. Bagaimana tidak kecewa, kepala desa itu sudah membayangkan malam pertama yang indah bersama seorang gadis belia yang pastinya manis. Namun sayang, semuanya sirna karena Nurani Cahya kabur di malam sebelum pernikahan mereka.
"Katakan di mana Nurani Cahya! DIMANA!"
Lelaki berbadan gempal dan tinggi itu menarik rambut Ayah Nurani dengan kuat. Sementara itu, orang-orang lain memporak-porandakan isi rumah bilik sederhana itu. Televisi, perabotan, pakaian, dan nasi yang baru saja dimasak oleh Ibu Nurani berantakan di depan rumah.
"Saya sungguh tidak tahu, Pak, saya--"
"Pak, sakit..." Ibu Nurani ditarik rambutnya yang sudah berwarna abu-abu. Rambutnya memang sudah memutih karena termakan usia. Hidup di kampung dengan kerja serabutan membuat tubuh seseorang lebih cepat terlihat kusam dan tua.
Ayah Nurani memohon ampun agar istrinya dilepaskan. Semua ini salahnya karena ia suka bermain judi. Istrinya sama sekali tidak bersalah. "Mohon lepaskan! Saya akan berjanji mencari Nurani dan mengembalikannya pada Pak Kepala Desa. Tolong jangan siksa istri saya." Ayah Nurani mencium kaki lelaki bertubuh tambun yang sedang menarik rambut istrinya.
"Baiklah!"
Lelaki tambun itu mendorong istrinya hingga jatuh ke tanah, mengibaskan kedua tangannya seolah rambut Ibu Nurani adalah debu kotor. Kemudian, lelaki tersebut menelpon atasannya. "Baik, Pak." Setelah selesai menelpon, ia kembali menutup ponselnya.
"Dengar! Pak kepala desa melepaskan kalian, namun selama seminggu kalau tidak menemukan Nurani, maka kalian akan habis." ujarnya seraya memperagakan seolah keduanya akan digorok oleh atasannya.
Sementara itu, Nurani yang sedang dibicarakan mereka, sedang memeluk dirinya di sebuah ujung gang dengan kedua kakinya terluka karena tertusuk paku payung. Darah mengalir di telapak kakinya, dan ia menangis sendirian di sana. Tubuhnya gemetar ketakutan ketika melihat sepasang sepatu hitam mengkilat menghampirinya. Seseorang itu berjongkok di depannya, membuat Nurani mengangkat tatapannya dengan takut-takut.
"A-anda?"
Nurani tahu laki-laki itu adalah bagian dari lelaki tadi. Lelaki bermata biru yang menurutnya agak menakutkan, meski memiliki wajah tampan. Satria tersenyum dan memberikan tangannya. "Kita pulang, di sini tidak aman," ujarnya.
"Kamu pasti suruhan lelaki yang tadi? Kamu mau bawa aku ke dia kan?"
Satria tersenyum lembut, sangat memaklumi perasaan gadis polos itu. "Tuan itu sebenarnya sangat baik. Tuan tidak akan pernah melukaimu."
"Ta-tapi..."
"Kedua kakimu sedang terluka. Akan lebih baik kalau kita pulang dan Tuan akan mengobati kakimu di sana."
Satria harus sabar dan memberikan senyuman ramah agar gadis itu merasa nyaman dengannya. Jangan sampai gadis itu ketakutan dan kabur. Jika itu terjadi, kepalanya akan menjadi taruhan. Selama ini, ia tidak pernah gagal menjalankan misi apapun yang diperintahkan oleh atasannya, termasuk misi mendekatkan perempuan yang diinginkan atasan.
***
Sampai di gedung yang tadi Nurani tinggalkan, ia berjalan tertatih dan Satria membantunya. "Tuan saya itu sangat baik. Nona akan diurus dan dibelikan banyak baju bagus," ujar Satria ketika keduanya masuk ke dalam lift.
Nurani menoleh pada lelaki bertubuh tinggi berisi namun tidak gendut itu. Lelaki itu memakai jas coklat dengan kaos polo hitam. "Apakah saya tidak akan dijual?"
Pertanyaan polos itu membuat Satria terkekeh. "Tuan tidak akan pernah melakukan itu," ujarnya sambil berdeham pelan.
"Kenapa dia baik? Apa dia menganggapku anaknya?"
Kembali Satria terkekeh. Apakah tuannya terlihat setua itu sampai gadis cantik ini mengatakan pantas menjadi ayahnya? "Oh, bukan seperti itu, Nona," ujar Satria.
"Oh, jadi seperti apa? Apa dia mau menjual saya?"
Sepertinya gadis itu memang trauma, karena terus saja mengatakan akan dijual. "Tidak seperti itu, dan Tuan tidak sejahat itu sampai harus menjual Nona. Intinya, Tuan saya itu baik sekali, dan Nona akan tahu setelah bertemu dengan beliau nanti."
***
"Kakimu terluka..."
Lelaki bermata biru itu menatapnya dalam sekali. Nurani menjauhkan kakinya ketika lelaki itu hendak meraihnya. Ia celingukan mencari Satria, namun lelaki itu sudah tidak ada.
"Tenanglah, sayang. Aku tidak akan melukaimu."
Dengan pelan, lelaki bermata biru itu meraih kaki Nurani dan meletakkannya di atas pahanya. Nurani gemetar dan bingung. Jarak ini terlalu dekat, sehingga ia bisa menghirup wangi tubuh lelaki itu. Wangi khas seorang lelaki yang mapan secara finansial dan emosional. Wajah tampan ala bule yang menawan, tubuh berisi dengan d**a bidang tersembunyi di balik kemeja mahal berwarna putih.
Bagian lengan kemejanya digulung setengah, memperlihatkan jam tangan mahal dan mengkilat. Kaki yang terbungkus sepatu kulit hitam pekat itu membuat Nurani merasa tidak sebanding dengan lelaki di depannya.
"Apa yang kamu lihat, huh?"
Segera saja Nurani mengalihkan tatapannya ke arah lain. Jantungnya terasa hendak melorot dari tempatnya. Senyuman menawan itu membuatnya mati kutu. "Ti-tidak. A-apakah sudah selesai?" Bagaimana tidak gugup jika wajah tampan itu membuat pikirannya kacau? Sentuhan tangan lebar dan hangat itu membuatnya berkeringat dingin.
Menyadari gadis itu begitu kikuk hanya karena sentuhannya di kedua kakinya, lelaki itu ingin membuatnya lebih parah. "Masih belum, sayang," ujarnya dengan suara berbisik.
Nurani mengerjap dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. "I-itu sakit... itu..." gadis itu meringis ketika lelaki tampan itu mengoleskan obat di lukanya.
"Hanya sebentar sayang. Nanti juga akan terasa enak."
Ujarnya lagi dengan suara rendah, membuat Nurani melebarkan kedua matanya. E-enak! Apapula itu!