PPW 51 – Mande Rubiyah Datang

1067 Kata
Mande Rubiyah menatapku dan mulai memikirkan siapa aku. Sepertinya beliau merasa familiar denganku namun tidak ingat siapa aku. Kemudian, setelah beliau mengingat-ingat akhirnya beliau bisa mengingatku juga. “Nak, Badrun?” tanya beliau. Aku pun merasa senang sekali. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku, “Iya, Mande. Ini aku, Badrun yang mande temui dulu.” Jawabku. “Ondeh, kamu jadi sangat tampan jadi mande hampir saja lupa.” Kekeh Mande Rubiyah. Aku pun langsung terkekeh begitu saja. Aku tentulah merasa senang karena secara tidak langsung, beliau mengatakan kalau aku tampan, namun aku juga tidak boleh terlalu berharap karena beliau tentulah seorang ibu, dan biasanya ibu-ibu suka berbohong mengenai penilaian wajah. “Benarkah, Mande?” tanyaku. “Iya, mangaca lah sekali-sekali.” Jawab Mande Rubiyah. Aku pun terkekeh lagi, aku memang mengakui bahwa selama ini aku tidak lagi mengaca karena ntah mengapa di sekelilingku tidak ada kaca dan aku sendiri pun tidak memiliki ketertarikan untuk mengaca. “Iya, Mande, nantilah aku akan mengaca,” kataku. Kemudian, kami pun mulai mengobrol santai, sesekali Annaliese menimbrung pembicaraan anatara aku dan Mande Rubiyah. Hal yang kami obrolkan adalah masa lalu. Ntah mengapa mengobrol dengan beliau membuat aku merindukan ibuku di rumahku. Ntah apa yang kini tengah dilakukan oleh ibuku di rumah. Aku sering berpikir apakah beliau merindukan akua tau tidak. Namun, aku juga merasa bersalayh sekali kepada beliau karen pertemuan terkahir kali kami memang tidak baik. Aku dengan tega memarahi ibuku sendiri. “Maaf Mande, kalau boleh aku tahu, bagaimana caranya Mande bisa ke sini?” tanyaku. Pertanyaan ini memang sangat ingin aku tanyakan. Bagaimana mungkin ibunya Malin bsia smapai di kota seperti ini. Jarak antara rumah dengan keberadaan kami sangatlah jauh, bahkan waktu perjalanan yang harus ditempuh lebih dari 3 hari. Karena harus naik kapal dan melanjutkan perjalanan sampai ke kota. “Iya, Nak, mande ini sedang mencari anak mande, Malin. Anak yang hendak mande kenalkan dengan engkau. Dia sangat baik. Kami sering bertukar kabar melalui surat tapi ntah mengapa surat dari mande tidak pernah mendapatkan balasan lagi. Jadi mande merasa takut kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada Malin,” kata Mande Rubiyah. “Oh begitu, Mande. Lalu, bagaimana Mande bisa sampai di sini?” tanyaku lagi. “Mande diberikan alamat olrh Pak Sanjaya, katanya beliau bos kalian. Kebetulan Pak Sanjaya itu dulu adalah tetangga kami di kampung jadi mande mengenalnya. Teman sekolah Mande sebelum Mande dipaksa keluar sekolah untuk menikah. Beliau meminta mande untuk datang ke sini dan meminta bantuan kamu agar bisa bertemu dengan Malin. Kabarnya malin juga pindah ke kota ini.” Terang Mande. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku. Kali ini aku mengerti mengenai bagaimana Mande yang ternyata mendapatkan alamat dari Pak Sanjaya. Aku tentu sangat mengenal beliau. Beliau adalah orang yang sangat baik. Dan mengingat bagaimana Pak Sanjaya mengatakan kepada Mande Rubiyah kalau Malin pindah, itu artinya beliau langsung mencari info mengenai hal tersebut agar Mande Rubiyah bisa menyusul. “Iya, Mande. Betul sekali. Pak Sanjaya adalah bos kami. Dan kebetulan aku juga tahu keberadaan Malin. Besok kalau Mande sudah tidak lelah lagi, aku akan mengantarkan Mande untuk menemui Malin,” kataku. Aku pun langsung saja karena aku merasa ingin segera mengakhiri ini. Sebab, bagaimanapun, aku merasa tidak enak dan tidak menyangka kalau ibunya malin bisa datang dengan cepat. “Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak atas bantuannya,” kata Mande Rubiyah yang kini sudha menyeka air mata beliau. Sebagai wanita, Mande Rubiyah memang terlihat begitu sensitive, buktinya beliau mudah sekali untuk menangis. Annaliese yang ada di samping Mande pun langsung memeluk Mande dari samping dan mengusap punggung Mande. “Mande yang sabar ya. jangan menangis. Kami janji kami akan membantu Mande,” kata Annalies. Aku langsung menganggukkan kepalaku begitu saja. Aku juga merasa bertanggung jawab penuh kalau aku memang harus mengantarakan ibunya malin menuju ke malin. “Iya, Mande, Mande tidak perlu khawatir ya?” kataku. Mande Rubiyah pun langsung menganggukkan kepala beliau, “Sekali lagi terima kasih, Nak. Kalian adalah anak-anak yang baik. Semoga langkah kalian selalu dimudahkan oleh Allah SWT.” Ucap Mandeh Rubiyah. “Amin.” Jawabku dengan Annaliese. Aku pun seketika teringat seustau, “Madne, apakah Mande sudha makan?” tanyaku. Rasanya tentu tidak enak kalau ternyata Annaliese belum menawari Mande Rubiyah makan, aku tidak mau kalau Mande Rubiyah kelaparan. Aku juga berharap kalau Annaliese mamasak sesautu hari ini. “Sudah, Nak.” Jawab ibunya Malin. Aku rasa hal itu tidak benar. Aku merasa kalau ibunya malin berbohong, belia sepertinya belum makan apapun. Aku jadi curgia beliau belum makan atau pun minum selama perjalanan dari kantor pos tempat Pak Sanjaya yang pertama. “Mande, aku tahu seklai kalau Mande berbohong. Padahal mande belum makan,” kata Annaliese. Padahal aku sudah mencoba menahan agara tidak mengatakan hal tersebut namun Annaliese justru mengatakannya secara gamblang. Perut Mande pun seketika berbunyi meminta tjatah makanan. Akhirnya aku pun tersneyum, “Kamu hari ini masak, An?” tanyaku kepada Annaliese. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. aku pun langsung menganggukkan kepalaku, ternyata Annaliese beanr-beanr gadis yang cepat tanggap./ Setelah dia sudah menjadi istriku apakah dia masih bsia disebut gadis? Aku tentu tidak tahu. “Masak, Badrun. Aku akan mengambil masakanku. Dan kita makan bersama-sama di ini,” kata Annaliese. Aku pun langsung bangkit, “Aku akan membantu,” kataku. Aku pun langsung berpamitan dengan Mande Rubiyah, “Sebentar ya, Mande.” Pamitku. Mande Rubiyah pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja kemudian aku langsung mengikuti Annalise. Selain aku benar-beanr ingin membantunya, aku juga ingin menanyakan beberapa hal kepada dirinya. “Ann…” panggilku. Annaliese pun langsung menoleh ke arahku seakan bertanya ada apa. “Iya, kenapa, Badrun?” tanyanya memperjelaskan mimic wajahnya. “Aku ingin tahu bagaimana kamu bisa tahu kalau itu adalah ibunya malin?” tanyaku yang merasa begitu janggal. Katakanlah aku anak yang terlalu banyak berpikir sehingga beberapa hal yang tidak penting saja masih aku tanya dan pikirkan. “Aku awalnya tidak tahu namun saat beliau menyodorkan amplop berisi surat dan menjelaskan semuanya kepadaku, aku akhirnya tahu kalau beliau adalah ibunya malin. Beliau bahkan bertanya kepadaku apakah Malin sudah menikah atau belum, lalu aku menjawab sudah.” Ucap Annaliese. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku, “Kasihan Mande, beliau datang ke sini hanya untuk menemui Malin, namun kita tidak tahu bagaimana sikap Malin besok.” Ucap Annaliese. Itulah mengapa aku harus pergi besok untuk mengantarakan paket lalu kembali ke rumah dan langsung berjalan menuju ke rumah Malin. “Semoga kami bisa menemukan Malin.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN