PPW 52 – Pertemuan dengan Malin

1181 Kata
Aku pun langsung mengantarkan Mande Rubiyah ke rumah Malin. Sesampainya di sana, aku pun mengetuk pintu rumah Malin namun tidka ada yang menyahut. Rumah itu terlihat sepi, ntahlah, aku tidak tahu ke mana orang yang ada di dalamnya, mungkin sedang pergi. Kemudian, aku pun akhirnya mencoba mengetuk lagi. Tok tok tok! “Assalamualaiakum!” salamku. Namun, salamku ini tidka juga mendapatkan balasan. Karena tak juga mendapatkan balasan akhirnya aku pun langsung menghampiri Mande Rubiyah untuk mengatakan apa yang terjadi. “Mande, sepertinya Malin dan istrinya sedang pergi, bagaimana kalau kita menunggu terlebih dahulu?” tanyaku kepada Mande Rubiyah. “Iya, Nak. Tidak apa-apa,” kata Mande Rubiyah. Beliau langsung mengamati rumah Malin, mata beliau kini sudah berbinar-binar. Aku melihat raut wajah orang yang bangga kepada ankanya dalam mata beliau. Aku snagat paham kalau Mande Rubiyah sepertinya sangat bangga kepada anaknya. “Hebat sekali anak mande ya, Badrun? Rumahnya besar sekali.” Ucap Mande Rubiyah dnegan takjub. Aku pun tersenyum dan menganggukkan kepalaku, aku tidak mau kalau sampai mengeceilkan hati Mande, “Iya, Mande. Hebat sekali.” Ucapku. Mande Rubiyah pun langsung menatapku dengan tatapan yang penuh rasa bahagia, “Mande tidak menyangka kalau anak Mande bisa menjadi sukses seperti ini,” kata beliau. “Iya, Mande. Kalau bisa nanti kalau sudha bertemu Mande minta tinggal di sini saja, dari pada di kampung Mande sendirian.” Ucapku. Mande Rubiyah memang sudah tua. Mengingat Malin saja sudha memiliki istri dan beliau juga terlihat sudah berbatuk-batuk menandakan kalau beliau juga sudha sakit-sakitan. Rasanya tidak etis kalau Mande Rubiyah di rumahnya sedangkan anaknya saja rumahnya snagat bagus. “Bisa begitu, Badrun?” tanya Mande Rubiyah. “Tentu saja, orang tua itu adalah tanggung jawab anak laki-laki. Terlebih ibu. Jadi aku rasa Mande sudah seharusnya meminta hal itu. Dibicarakan saja baik-baik dnegan MAlin semoga MAlin bisa mengerti,” kataku. Mande Rubiyah pun langsung menganggukkan kepalanya namun beliau seperti tampak berpikir, “Tapi apa Mande tidak merepotkan kalau Mande minta tinggal di sini?” tanya Mande Rubiyah. Aku langsung menggelengkan kepalaku, “Mande kan ibunya MAlin jadi aku rasa tidak ada hal yang perlu dicemaskan kalau Mande mamang ingin tinggal di ini brsama dengan anak Mande sendiri,” kataku. Akhirnya Mande Rubiyah pun langsung menganggukkan kepalanya. Kemudian, kami pun memutuskan untuk menunggu sampai MAlin pulang. “Mande bagaimana kalau kita kembali besok lagi saja? hari sudah sangat malam dan kita tidak tahu sampai kapan Malin berad adi luar.” ucapku. Akum eras atidak tega pada Mande Rubiyah yang ahrus menunggu anaknya di teras bersama dneganku. Mande Ruibiyah langsung menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu khawatir dengan Mande, Mande ini masih kuat dan Manbde sangat ingin bertemu dengan MAlin, rasanya Mande tidak bisa menunggu di pos lebih lama. Mande memilih menunggu di sini. tapi kalau Nak Badrun mau kembali ke pos, Mande tidak keberatan sama sekali.” Ucap Mande Rubiyah. “Bukan begitu, Mande, aku hanya merasa cemas pada Mande. Karena seperti yang kita tahu kalau Angin malam tidaklah baik untuk kesehatan.” Ucapku. Mande Rubiyah pun langsung tersneyum begitu sja akepadaku. “Terima kasih telah mengkhawatirkan Mande.” Jawab Mande Rubiyah. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepalaku. Beliau sepetrinya benar-benar merindukan MAlin hingga mengabaikan kesehatannya sendiri. Aku jadi teringat Ibuku. Apakah ibuku tengah mencariku dan menangisiku? Apa beliau juga menungguku pulang sama seperti yang dilakukan Mande Rubiyah. Aku merasa bersalah dan ingin pulang saat ini juga. “Mande, apakah Malin sendiri yang bercerita pada Mande kalau dia ingin menikah?” tanyaku. Tiba-tiba pertanyaan itu muncul begitu sjaa tanpa bisa aku cegah. “Tidak, Nak.” Jawab Mande Rubiyah. Raut wajah beliau kini terlihat sedih, aku bisa melihat hawa kesedihan yang mulai terpancar pada diri Mande Rubiyah. “Lalu bagaimana Mande bisa tahu kalau Malin sudha menikah?” tanya Mande Rubiyah. “Mande mendengar kabar dari teman Malin, yang dulu sama-sama pergi berangkat merantau bersama dnegan MAlin. Dia kemarin pulang ke kampung dan mengabarkan kalau Malin sudha menikah.” Jawab Ibunya Malin. Aku pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. “Ah, begitu. Aku kira Malin yang memberitahukannya kepada Mande,” kataku. Mande Rubiyah langsung menggelengkan kepalanya begitu saja, “Tidak, Nak. Malin tidka mengatakannya kepada Mande. Mungkin Malin lupa mengabarkan Mande,” kata Mande Rubiyah. Aku menghembuskan napas, Mande Rubiyah terlihat terus berpikir positif kepada anaknya. Padahal, anaknya sama sekali tidak mau mengabari beliau. Aku yakin Malin tidak memberitahukan pernikahannya kepada ibunya karena dia memang tidka ingin memberitahukannya bukan karena lupa. Aku bernai bertaruh akan hal itu. Malam semakin larut, kemudian, aku melihat Mande Rubiyah yang terlihat sedang terkantuk-kantuk. Aku pun merasa tidka tega dnegan apa yang terjadi. “Mande, lebih baik Mande istirahat dulu saja, nanti kalau MAlin datang, aku akan membangunkan Mande,” kataku. Mande pun menganggukkan kepalanya, kemudian beliau mencari tempat yang nyaman untuk tidur, “Kalau begitu Mande tidur di sini saja. apa kamu tidka apa-apaa kalau Mande meninggalkanmu untuk tidur?” tanya Mande Rubiyah. “Tentu tidak apa-apa, Mande. Aku sudah terbiasa bergadang jadi Mande tidak perlu mengkhawatirkan aku.” Jawabku. Mande Rubiyah pun menganggukkan kepalanya lagi, “Baiklah kalau begitu.” Ucapnya. Aku pun langsung mengambil karung yang aku gunakan untuk mengantar paket dan aku juga langsung melepaskan pakaian luar yang aku kenakan. Jadi aku memang mamakai dua pakaian karena hidupku di sini sering berada di perjalanan jadi karena takut masuk angin aku slelau emamkai dua lapis. Aku pun langsung menggelar karung tersebut dan meletakkan bajuku di atas karung tersebut agar Mande tidka kedinginan oleh kramik rumah yang sudha muali dingin. “Mande tidur di sini saja,” kataku. “Nak, mengapa kamu buka bajumu?” tanya Mande, “Kamu tentulah akan kedinginan.” Jawab Mande Rubiyah. “Tidak apa-apa, Mande. Aku tidak akan kedinginan, Mande tidka pelru khawatir.” Jawabku. “Terima kasih ya, Nak. KAmu baik sekali kepada Mande,” kata Mande Rubiyah. Aku pun langsung menganggukkan kepalalku, “Iya, Mande sama-sama.” Jawabku. Mande Rubiyah pun akhirnya tidur di atas karung tersebut. Kemudian aku pun langsung menunggu Malin kembali. Aku benar-benar merasa penasaran mengenai ke mana dia pergi. Namun, ke manapun malin pergi semoga dia bisa cepat pulang mengingat ibunya ada di sini. “Semoga Malin cepat pulang.” Aku mulai berdoa. Malam semakin larut namun Malin tidka juga pulang, mataku sudha mulai sepat, rasanya mataku mulai ada lemnya, seperti ingin menempel terus menerus. Aku pun menguap begitu saja. Namun aku tidak bisa langsung tidur mengingat aku harus di sini menunggu Malin pulang. Ibunya MAlin tentu akan kecewa kalau aku tertidur. Tak lama kemudian aku pun sudha tidak sanggup lagi melawan kantukku hingga akhirnya aku langsung memejamkan mata tanpa sadar. Kemudian, aku pun mulai tertidur dalam duduk, namun tak lama kemudian, aku pun terbangun. Dan ntah jam berapa sekarang yang jelas aku melihat Malin dan istrinya datang menghampiriku. Aku pun langsung membuka mata dan mencoba menyadarkan diriku sendiri. Meminta tubuhku untuk bangun dan melihat apa yang terjadi. “Akhirnya kamu kembali juga, Malin.” Ucapku yang langsung berdiri ketika Malin kiat dekat denganku. Namun, raut wajah Malin langsung berubah menjadi sangat asam. Aku bisa merasakannya. Dia terlihat tidak menyukai keberadaanku. Aku pun hanya bis atersenyum tak mau balas menatapnya angkuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN