PPW 50 – Kedatangan Ibunya Malin

1106 Kata
Aku dan Annaliese benar-benar beruntung karena kami hampir selalu dimudahkan. Apapun yang terjadi selalu saja kami mendapatkan jalan keluarnya. Seperti saat ini kami sudah mendapatkan jalan keluar atas kebingungan kami. Aku dan Annalise mulai pindah ke tempat yang disediakan oleh Pak Sanjaya di kota. Tak ada yang bisa aku ceritakan selaian di sana rumah yang kami tempati jauh lebih kecil ketimbang rumah yang kami tempati di tempat terdahulu. Namun, untungnya masih ada kamar yang bisa kami gunakan untuk beristirahat. “Badrun…” panggil Annaliese. Aku pun langsung menoleh kea rah Annaliese, “Ada apa?” tanyanya. “Ternyata jasa pengangantaran surat/barang atau ekspedisi seperti ini sudah ada sejak dahulu ya?” kata Annalise. Aku pun menganggukkan kepalanya, “Mungkin hal ini karena di zaman in tidak ada ponsel untuk berkomunikasi sehingga surat menjadi satu-satunya cara untuk berkomunikasi,” kataku. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang dikatakan oleh Annaliese. “Benar juga,” kata Annaliese. *** “Aku akan mulai mencari Malin lagi, Ann, sekalian mengantarkan paket-paket ini.” Pemitku kepada Annaliese. Annaliese pun manganggukkan kepalanya. Kemudian, aku pun langsung pergi menuju ke rumah pengantaran paket-paket tersebut. Dan seperti biasa, untuk yang terakhir, aku akan mengantarkan paket untuk Malin. Aku ingin lebih leluasa bertemu dengan Malin sehingga memilih waktu terakhir. Jadi aku tidak perlu buru-buru bertemu dengannya. Aku pun mulai mencari alamat Malin dan seketika aku langsung mendapatkan alamat tersebut karena alamat yang diberikan oleh Annaliese memang cukup langkap. Aku berjalan menuju ke rumah tersebut. Satu-satunya rumah besar yang ada di sana. Aku kini bisa merasakan bagaiman kayanya Keluarga Pak Hamzah, juga keluarga Malin. Tok tok tok! “Assalamualaikum!” salamku. “Waalaikumsalam.” Jawab Sari. Kali ini aku bertemu dengan Sari lagi, dia pun langsung terkejut setengah mati melihat aku yang datang ke rumah itu. Aku sangat bisa melihat keterkejutannya. “Loh, Abang bukannya pengantar paket?” tanya Sari yang tak bisa menahan rasa penasarannya. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku begitu saja, “Betul. Saya ingin mengantarkan surat untuk Tuan Muda,” kataku. “Bukankah jarak kantor pos ke rumah ini snagatlah jauh?” tanya Sari. “Kantor kami sudah pindah ke kota oleh Bos kami, jadi disinilah kami sekarang,” kataku mencoba menjelaskan dengan bahasa yang semoga saja cukup mudah dimengerti. Sari pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. “Tuan mudanya ada?” tanyaku. “Suamiku belum pulang,” kata Sari. “Ada apa mencariku?” tanya seseorang dari belakangku. Aku pun langsung berbalik dan mendapati Malin di sana. Sari menghampiri suaminya dan langsung mencium tangan suaminya. Aku melihatnya, Sari terlihat seperti wanita yang sangat tahu sopan santun. Melihat bagaimana Sari menyambut suaminya aku jadi teringat kepada Annaliese lagi. “Ikutlah dengan saya, Bang!” pinta Malin. Aku pun langsung mengekori Malin. Sedangkan Sari mulai masuk ke dalam rumha karena diminta oleh suaminya demikian. Sesampainya kami di sebuah tempat yang sedikit jauh dari rumahnya, Malin pun langsung menoleh ke arahku dan mulai menatapku dengan tatapan tidak suka. Tatapan ini snagatlah berbeda dengan tatapan dia saat pertama kali kami bertemu di atas kapal. “Ada apa lagi?” tanya Malin. “Aku hanya ingin mengantarakan surat.” Jawabku mantap. “Sebetulnya apa motifmu seperti ini? Mengikutiku hingga ke kota?” tanya Malin. “Aku tidak memiki motif selain menyelesaikan pekerjaanku. Bosku mengirimku ke kota karena banyak pengantaran yang ditujukan untuk penduduk kota.” Jawabku. “Tidak mungkin,” kata Malin yang masih tidak percaya dengan apa yang aku katakan. “Yang jelas aku hanya ingin mengirimkan surat ini kepadamu,” kataku. Aku menyerahkan ada 7 surat dari ibunya Malin yang ditujukan kepada Malin, “Bakar saja surat-surat itu,” kata Malin. Aku menatap terkejut kea rah Malin. Bagaimana mungkin seorang Malin bisa seperti ini? Bisa berkata kasar. “Tapi, Malin, maksudku Tuan Muda, ini adalah surat yang diberikan oleh ibumu. Ibumu tentulah sangat ingin melihat anda membaca dan membalas surat seperti biasanya,” kataku mencoba sedikit memberikan nasihat kepada Malin. “Kamu hanya tukang pengantar barang, kenapa kamu berani sekali menceramahiku seperti ini?” tanya Malin. “Aku hanya ingin memberitahumu, Malin. Mencoba membuka hatimu agar kamu bisa menjadi pribadi yang baik. Dan tidak melupakan ibumu,” kataku. “Ck, saya peringatkan sekali lagi, tolong jangan datangi saja lagi untuk mengantarakan paket-paket ini. Saya tidak mau membalas surat yang diberikan oleh ibuku. Aku sudah tidak memiliki ibu!” jawab Malin. Jantungku seketika berdegup dengan snagat kencang mendengar apa yang dikatakan oleh Malin. Bagaimana mungkin dia mengatakan kalau ibunya telah tiada? Itu sangatlah kejam. Di dunia nyataku. Aku memang memiliki ibu dan sering beradu mulut dengan ibuku namun aku tidak pernah berani untuk mengatakan kalau ibuku sudah meninggal. “Astaga, Malin. Mengapa kamu jadi seperti ini? Ini tentulah bukan kamu,” kataku mencoba menyadarkan Malin. “Inilah saya sekarang, sekarang saya minta untukmu pergi dari rumah ini. Aku tidak mau melihatmu lagi!!” seru Malin. “Setidaknya terimalah ketujuh surat ini, saya takut di dalamnya ada sesuatu yang snagat penting,” kataku. Malin mengambil surat itu dan langsung membantingnya ke tanah. Kemudian, Malin pun langsung pergi menuju ke rumanya dan meninggalkan aku di sana sendirian. Aku mengamati punggung malin dan juga surat yang ada di lantai. “Kamu benar-benar anak durhaka, Malin.” Seruku dalam hati. Aku benar-benar tak habis pikir kalau orang sebaik malin justru menjadi ornag yang tidak tahu terima kasih dan durhaka kepada orang tuanya. Malin benar-benar meresahkan. Aku pun akhirnya memutuskan untuk pergi menuju ke rumah atau ke kantor pos. karena surat Malin memang yang terakhir jadi aku tidak perlu berkeliling lagi dari alamat satu ke alamat yang lainnya. Aku pun berjalan gontai di samping Badrun (kudaku), “Kenapa dia begitu jahat ya, Badrun?” tanyaku seperti orang gila. Meski begitu aku masih tetap berjalan menuju ke pos. kemudian, sesampainya di dekat pos, tiba-tiba aku bisa melihat ada sandal seseornag yang tidak aku kenal. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Aku juga merasa terkejut karena biasanya Ananliese akan menungguku di jalanan namun kali ini tidak ada Annaliese yang menungguku. Aku pun mempercepat langkahku, kemudian, mengikat tali Badrun pada pohon yang berada di samping pos lalu buru-buru masuk ke dalam rumah. “Annaliese?” panggilku. Pada saat masuk. Aku langsung mendengar Annaliese yang terdengar sedang tertawa dengan seseorang wanita. Aku pun merasa taka sing dengan suara itu namun karena aku memang penasaran sehingga aku pun langsung memilih untuk berjalan menuju ke sumber suara. “Eh, Badun kamu sudah datang? Lihat siapa yang datang!” seru Annaliese dengan wajah yang berseri-seri. Aku pun langsung mengalihkan pandanganku dan ternyata benar saja. Wanita yang tengah mengobrol dengan Annaliese adalah ibunya Badrun. Aku pun langsung berjalan dan bersalaman dengan ibunya Malin. “Mande, apa kabar?” tanyaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN