Tak lama kemudian, aku pun akhirnya bertemu dengan Malin. Dia datang menemuiku setelah aku lihat dia yang disambut oleh gadis itu sebelumnya.
“Malin, ada paket untukmu.” Kata gadis itu kepada Malin.
Dalam jarak yang cukup dekat ini, aku bisa mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu, Malin yang mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu langsung mendongak ke arahku.
“Loh, Tuan?” tanya Malin yang merasa tidak asing denganku.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku dan tersenyum, “Apa kabar Malin?” tanyaku.
Malin pun menghampiriku dan memelukku erat seakan kami adalah saudara jauh yang sudah lama sekali tidak bertemu. Aku pun balas memeluknya.
“Aku kira Malin yang aku antarkan suratnya bukan kau Malin.” Kataku berbohong.
Aku tentu tidka bisa mengatakan kalau aku sudah lama mencarinya karena hal itu sangat mudah membuat dirinya merasa curiga.
Kami melepaskan pelukan.
“Surat?” tanya Malin.
Aku pun menganggukkan kepalaku, “Ada surat untukmu.” Kataku.
Aku pun memberikan surat itu kepada Malin. Kemudian, Malin pun langsung mengambil surat tersebut.
“Dari i-…” aku belum menyelesaikan kalimatku namun Malin buru-buru menyela.
“Duduklah dulu, Tuan.” Kata Malin.
“Panggil Abang saja.” kataku.
Malin menganggukkan kepalanya. Gadis itu terlihat mendekat, namun karena aku sadar kalau aku hanya datang untuk mengantarkan paket itu akhirnya aku pun memilih untuk pamit saja.
“Malin, aku hanya datang untuk mengantarkan surat ini, aku akan pamit pulang karena hari sudah mulai malam.” Kataku berpamitan.
“Loh, cepat sekali, Bang.” kata Malin. “Tidak main dulu di sini?” tanyanya.
“Saya sudah menunggumu lama tadi.” Kataku smabil terkekeh.
Malih hanya bis amenggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu tersenyum mendengar apa yang aku katakan.
“Baiklah kalau begitu, Bang. sering-sering lah menemuiku.” Kata Malin.
“Tentu saja kalau ada paket atau surat yang datang ke kantorku, aku akan segera mendatangimu.” Kataku.
Malin pun menganggukkan kepalanya. Kemudian, aku pun mulai pamit karena harus pergi dari sana, “Kalau begitu aku pamit dulu.” Kataku.
Kemudian, setelah pamit, aku pun langsung pergi begitu saja. Aku langsung pergi menuju ke kantor pon menemui Annalise yang sepertinya sedang menungguku pulang. Aku hanya menebak-nebak, ntahlah bagaimana kebenarannya.
“Badrun!” sapa Annalise ketika Annalise melihat aku berjalan menuju ke kantor pos, dia bahkan langsung berlari keluar dan menatapku dnegan tatapan yang berbinar-binar. Aku menatapnya sambil tersenyum, “Kamu senang sekali?” tanyaku melihat wajah ceria yang diperlihatkan oleh Annalise.
“Tentu saja, aku hampir saja berpikir kalau kamu tidak akan pulang, lihatlah hari sudah malam. Kamu tidak pernah pulang terlambat selama ini.” Kata Annaliese.
Aku pun langsung terkekeh begitu saja. Dia benar-benar seperti istriku saja. padahal kami menikah hanya di dunia paruh waktu seperti ini. Aku jadi berandai-andai dlaam kehidupan nyataku dia tetap menjadi istriku, namun sepertinya hal itu snagatlah sulit terwujud mengingat Annaliese adalah hantu.
Sebagai manusia tentu tidka bisa menikahi hantu.
“Katakan saja kalau kamu merindukanku.” Kataku mencoba menggodanya.
Annalise mengerucutkan bibirnya, “Tidak, siapa juga yang merindukanku? Aku hanya meras asedikit aneh saja melihat kamu belum pulang hanya itu.” Kata Annalise.
“Aku tidak percaya.” Kataku.
“Sudahlah, Badrun. Kamu menyebalkan sekali. Sekarang ceritakan bagaimana pertemuanmu dengan Malin?” tanya Annaliese.
Aku pun langsung tersenyum tipis mendengar pertanyaannya, ternyata dia memang mendatangiku karena ada maksudnya, ternyata dia merasa sangat penasaran dengan pertemuanku dengan Malin.
“Iya tadi aku hanya mengantarkan suratnya, menunggunya pulang, dna memberikan surat itu langsung kepadanya.” Terangku. Aku memang tidak menutupi apapun, aku berkata yang sebenarnya.
“Lalu?” tanya Annaliese.
“Lalu aku pulang karena aku tahu kamu menungguku berjam-jam di luar rumah.” Kataku.
Annaliese langsung memutar bola matanya dia tidak setuju dengan ucapanku, “Sudahlah, lebih baik kamu masuk ke dalam dan makan.” Kata Annaliese.
“Kamu memasak?” tanyaku hampir tak percaya.
Annaliese menganggukkan kepalanya dengan senang hati, “Iya, aku masak, Mas.” Kata Annalise.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku begitu saja, “Hebat sekali. Ayo, aku jadi tidak sabar ingin menghina masakanmu.” Kataku.
“Astaga, Badrun. Kamu kenapa bisa jahat seperti itu mulutnya?” tanya Annalise.
Aku pun hanya bisa terkekeh saja. Habis, apa lagi yang bisa aku lakukan? Selain itu. “Aku hanya bercanda.” Kataku.
“Bercandamu benar-benar tidak lucu ya, Badrun.” Katanya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Maaf. Ayo makan ayooo…” kataku smabil membalikkan tubuhnya kea rah rumah dan memegangi kedua lengannya agar bisa jalan menuju ke pos.
Sesampainya di sana, aku pun langsung menutup kantor karena hari sudah malam. Dan setelah dibantu oleh Annalise, selanjutnya kami berdua pun makan. Makan masakan Annalise. Annalise memang tidak pernah gagal ketika memasak ntah mengapa.
Aku jadi curiga kalau sebelumnya Annaliese adalah seorang koki cilik.
“Ini dia.” Kata Annalise yang menghidangkan makanan di hadapanku.
Aku pun menatap makananku dnegan tatapan berbinar. Tidak sabar untuk memakannya, “Wah, enak sekali ini.” Kataku.
“Ck, padahal kamu belum mencicipinya, Badrun.” Kata Annaliese.
Aku hanya bisa tertawa saja. karena aku sendiri pun bingung harus melakukan apa.
“Masakanmu tidak pernah gagal jadi aku sudah tidak meagukannya lagi.” kataku.
Annalise pun langsung tersenyum mendengar apa yang aku katakan.
“Makanlah.” Katanya.
Aku pun mulai menyuap nasi goreng yang ad adi piringku itu. Masakan ini begitu sederhana namun ntah mengapa di lidahku selalu menjadi istimewa. Contohnya kali ini, meski aku hanya dimasakkan nasi goreng namun aku merasa masakan ini sungguh spesial. Rasanya enak sekali.
“Ini, Badrun. Ada ayam.” Kata Annaliese memberikan sepotong ayam untukku.
“Kamu sudah makan?” tanyaku.
“Aku nanti saja belum lapar.” Kata Annalise.
Aku langsung menghentikan kegiatanku dan langsung menatap Annalise. Bagaimana mungkinj aku membiarkan diriku sendiri makan namun Annaliese tidak makan.
“Ayolah, makan bersama saja denganku.” Kataku.
Annaliese menggelengkan kepalanya.
“Yasudah, aku suapi saja. Aaaa…” kataku smabil membuka mata.
Annalise pun langsung menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ingin memastikan kalau di rumah itu tidak ada siapa-siapa selain kita berdua.
Annaliese pun langsung memakan makanan itu. Aku pun langsung terkekeh, “Aku romantic bukan?” tanyaku.
“Ck, tidak kamu sama sekali tidak romantis.” Jawab Annalise.
Aku hanya bisa terkekeh begitu saja. kemudian, kami pun makan berdua. Annaliese pun mengambil piring dan makan sendiri. Kemudian, kamu pun makan bersama sambil sesekali tertawa. Aku jadi teringat pada pertemuan awal kita. Aku dahulunya sangat membencinya karena dia terlihat sangat cantik. Dahulu, aku berpikir kalau gadis cantik tentulah menyebalkan dan tidak akan pernah bisa baik kepada orang-orang kepadaku. Namun, untunglah Annalise tidak seperti itu.
“Ann, besok masak lagi ya?” kataku.
“Kalau tidak sibuk aku akan masak lagi.” kata Annalise.
Aku pun menganggukkan kepalaku, “Oke, terima kasih, An.”