Hari terus berlalu, Malin pun menulis surat balasan untuk ibunya. Selama tiga kali berturut-turut ibunya Malin dan Malin saling berbalas surat, namun pada surat ibunya Malin yang ke empat, Malin tidak lagi mau membalas surat.
“Sudah ada balasan dari Malin?” tanyaku pada Annaliese.
Annalise pun menggelengkan kepalanya, “Belum ada, Badrun.” Jawabnya.
Aku pun menganggukkan kepalaku dna terus berpikirpositif. Aku mencoba berpikir kalau Malin hanya sedang sibuk saja sehingga belum ada waktu untuk membalas surat dari ibunya, mungkin beberapa hari lagi Melin akan memblasnya.
“Yasudah mungkin beberapa hari lagi,” kataku.
“Tapi kenapa ya, Badrun? Ini sudah satu bulan lamanya. Padahal biasanya setiap Malin mendapatkan surat dari ibunya, hanya butuh waktu sekitar satu minggu untuk membalasnya,” kata Annalise.
Aku sebetulnya membenarkan apa yang ada di pikiran Annalise, karena aku pun merasa demikian, terlebih Annaliese yang melakukan pencatatan jadi dia tentu tahu persis selang beberapa hari biasanya surat-surat itu mendapatkan balasan.
Dua bulan berlalu dan surat dari ibunya malin datang. Aku pun terus mengantarkan surat itu namun Malin tidak pernah lagi mau bertemu denganku. Aku jadi merasa curiga kalau Malin memang sudah berminat lagi untuk membalas surat-surat dari ibunya itu.
“Bagaimana?” tanya Annalise.
“Malin sepertinya tidak mau lagi bertemu dneganku. Wajahnya berubah jadi masam setiap melihat aku. Namun dia tetap menerimanya,” kataku.
“Astaga, jangan-jangan apa yang kamu ceritakan kepadaku kalau Malin akan dikutuk jadi batu memang benar adanya,” kata Annalise.
“Ya memang begitu jalan ceritanya,” kataku.
Hari terus berlalu, dan ini adalah surat ketujuh yang tak kunjung mendapatkan balasan. Aku pun langsung pergi mengantarakan suarta itu kembali ke rumah Pak Hamzah.
“Permisi!” seruku dengan sopan.
Seorang perempuan paruh baya datang menghampiriku. Aku pun menyapanya karena aku tahu kalau beliau adalah seorang asisten rumah tangga yang ada di rumah Pak Hamzah.
“Mau cari Tuan Muda Malin ya?” tanya wanita paruh baya tersebut.
Aku sedikit terkejut mendengar wanita paruh baya itu menyebut Malin dengan embel-embel, ‘tuan muda’ karena biasanya tidak begitu.
“Tuan muda?” tanyaku yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaranku.
Wanita paruh bay aitu pun menganggukkan kepalanya, “Iya, Tuan Muda Malin sudah menikah dengan Nona Sari jadi kini Tuan Muda Malin mendapatkan gelar Tuan Muda,” kata Wanita kepadaku.
“Oh ya? Malin tidak pernah cerita kepadaku,” kataku.
“Mungkin saja lupa karena pernikahannya juga diadakan secara mendadak,” kata wanita paruh baya tersebut.
Aku pun menganggukkan kepalaku begitu saja, “Kalau begitu di mana Tuan Muda?” tanyaku.
“Tuan Muda dan Nona pindah ke kota.” Jawab wanita paruh baya tersebut.
Aku tercengang bukan main. Aku tidak menyangka kalau aku juga harus mencarinya ke kota. Mencari Malin sampai ke sini saja sudah susah, bagaimana kalau aku harus mencari Malin lagi?
“Boleh saya minta alamatnya, Bu? Karena aku harus mengantarkan surat untuknya,” kataku sambil memperlihatkan sebuah amplop kepada wanita paruh baya tersebut.
“Wah, tidak bisa. Selain saya tidak tidak tahu di mana alamatnya, saya juga tidak boleh memberikan alamat mereka ke siapapun. Maaf ya?” kata wanita paruh baya tersebut.
“Baiklah kalau begitu, terima kasih, Bu,” kataku.
Aku pun selanjutnya pamit dan aku mulai melangkah dnegan gontai menuju ke kantor pos. Annaliese di depan pos sudah menungguku. Dia langsung menghampiriku. Aku pun tidak mengatakan paa-apa. Dan kami berdua masuk ke dalam pos.
“Apa yang terjadi, Badrun? Kenapa kamu lesu sekali?” tanya Annaliese.
“Malin menikah dengan Sari,” kataku.
“Loh kapan? Kenapa kita tidak diberitahu oleh Malin?” tanya Annalise.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Karena aku sendiri saja tidak tahu kenapa Malin tidak mau memberitahukannya kepadaku. Mungkin dia tidak mau atau lupa, aku tidak bisa memastikannya sendiri.
“Ntahlah, aku tidak tahu kenapa dia melakukan ini.” Jawabku.
“Lalu?” tanya Annalise.
Aku langsung mengacungkan surat yang aku bawa. Dia pun terkejut bukan lain, “Loh, sok suratnya masih ada sama kamu?” tanya Annalise.
Aku menghela napas, “Iya, karena Malin dan istrinya pindah ke kota,” kataku.
“Bukankah ini kota?” tanya Annalise.
Aku lagi-lagi menggelengkan kepalaku, “Aku tidak tahu di kota apa maksudnya,” kata Malin.
“Astaga ini seirus sekali. Kita harus menemukannya dengan segera,” kata Annalise.
“Kita sama sekali tidak memiliki alamatnya, Ann,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya, “Kamu betul juga. Aku akan mencari tahu kalau begitu. Kamu tidak perlu khawatir,” kata Annalise.
Aku menatapnya, jujur aku tidak tahu mengenai apa yang bisa Annaliese lakukan dalam hal ini namun kali ini aku harus mempercayainya, karena biasnaya Annaliese punya cara unik tersendiri untuk mendapatkan sebuah informasi.
“Bagaimana kamu bisa mendapatkan informasi?” tanyaku.
“Mudah saja. Aku akan mengakrabi orang-orang yang ada di rumah Malin,” kata Annalise.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Sudah, lebih baik kamu terima beres saja,” kata Annaliese.
“Baiklah, kali ini aku percaya padamu.
***
Hari terus berlalu dan surat dari ibunya Malin terus datang, aku jadi merasa kasihan kepada ibunya Malin karena surat-surat itu mulai dikembalikan kepada ibunya malin, namun beliau terus menerus mengirim surat hingga ada tujuh surat yang menumpuk di kantor pos kami.
Aku sudah tidak tega mengembalikannya.
Annalise juga sudah melancarkan aksinya namun hingga saat ini memang belum mendapatkan titik terang.
“Bagaimana?” tanyaku kepada Annaliese.
“Aku berhasil mendapatkan alamatnya, Badrun!” kata Annalise dengan mata berbinar.
“Oh ya? Kamu tidak bercanda kan?” tanyaku. Aku takut kalau Annaliese justru hanya berbohong saja.
“Tentu saja aku tidak berbohong,” kata Annaliese. “Ini, alamatnya,” katanya sambil memberikan secarik kertas kepada diriku.
Aku pun langsung mengambil kertas tersebut dan membaca apa yang tertulis di sana. Dan benar saja, di sana sudah ada alamat Malin yang baru. Aku pun langsung tersenyum senang, “Kamu hebat sekali, An!” seruku.
“Tentu saja, Annaliese,” katanya sambil membanggakan diri.
Aku hanya bisa terkekeh begitu saja.
Tak lama kemudian, bos kami datang. Beliau tampak murung. Aku dna Annaliese yang melihatnya pun langsung mendekatinya.
“Ada apa, Bos?” tanyaku yang merasa penasaran dengan apa yang terjadi.
“Saya sedang bingung, Badrun,” kata bosku.
“Kenapa?” tanyaku sambil melirik Annaliese.
“Paket-paket ini lama-lama lebih banyak yang minta di antar ke kota. Kalau kita hanya beroperasi di sini saja, maka kita akan rugi banyak,” kata Bosku itu.
Aku pun terdiam sebentar, kemudian, otakku langsung menyalakan lampu dengan sangat cepat. “Apakah yang Bos maksud adalah Kota Bukit?” tanyaku.
Bosku pun menganggukkan kepalanya.
Aku dan Annaliese pun seketika saling pandang. Dan seakan Annaliese tahu apa yang ada di dalam pikiranku, dia pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja.
“Bos, kalau begitu biar kami saya yang berjaga di sana. Kita akan mengelolanya dengan baik,” kataku.
Bosku itu langsung menatapku dan Annaliese mencoba mencari kebenaran di mata kami. Namun, aku dan Annaliese tidak keberatan sama sekali. Kami memang bisa bekerja sambil mencari keberadaan Malin saat di sana.
“Apakah itu tidak terlalu merepotkan kalian?” tanya Bosku.
“Tentu saja tidak. Kami selalu senang hati mengerjakannya,” kataku.