PPW 47 – Pengantaran Surat

1097 Kata
Kami pun mulai bekerja, aku mulai mengantarkan paket ke luar, sedangkan Annaliese berjaga di kantor pos tersebut. Hari-hari kami lalui dengan senang hati karen pemilik kantor pos juga sangat baik kepada kami. Aku sedang bersiap untuk pergi mengantar paket, namun aku paket mana saja yang akan aku antarkan saat ini. “Badrun!” seru Annaliese. Aku langsung mendongak untuk menyahuti panggilannya, “Ada apa?” tanyaku. “Lihat! Ada surat yang kita cari!” pekik Annaliese. Aku membelalakkan matanya. Lalu, agar Annaliese tidak berteriak lagi akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke arahnya. Aku takut kalau Pak Sanjaya mendengar teriakannya dan kita tidak bisa lagi bekerja di sana. Padahal kami hanya ingin membaca isinya saja. katakanlah kami tidak sopan namun kami hanya ingin meluruskan keadaan saja. “Badrun!” panggil Pak Sanjaya yang masuk dari luar rumah. Aku buru-buru menyingkirkan surat itu agar tidak diambil oleh Pak Sanjaya. “Iya, Pak?” tanyaku. “Kamu belum berangkat?” tanya Pak Sanjaya. “Belum, Pak. Ini Annaliese meminta diajari pencatatan sebentar,” kataku berbohong. “Oh begitu, baiklah kalau begitu, saya akan pergi duluan,” kata Pak Sanjaya. “Iya, Pak. Hati-hati di jalan,” kataku. Pak Sanjaya pun pamit pada kami berdua dan langsung pergi melancarkan pekerjaannya. Annaliese menoleh ke arahku, “Apa yang harus kita lakukan pada surat ini, Badrun?” tanya Shelly. “Kita harus membukanya,” kataku dengan serius. Satu-satunya cara untuk mengetahui duduk perkara mengapa Malin berakhir denga kutukan memang seperti ini. “Tapia pa yang kita lakukan ini tidak sopan, Badrun,” kata Annaliese. “Habis, mau bagaimana lagi? Kita tidak akan pernah bisa mendapatkan petunjuk apa-apa kalau tidak membacanya dan keberadaan kita di sini tentulah akan jadi sesuatu yang sia-sia,” kataku mencoba menjelaskan. Aku tahu ini salah namun, mau bagaimana lagi. “Aku tidak mau, Badrun. Ini adalah kesalahan. Lebih baik kita antarkan saja surat ini kepda Malin dan biarkan Malin yang menjadi orang yang membacanya, kemudian kita tunggu saja sampai Malin membuang sampah, baru kita ambil,” kata Annaliese. “Bagaimana kalau surat itu disimpan olehnya dan tidak dibuang? Atau mungkin ketika dia mau membuangnya, surat itu dia gunting-gunting jadi kecil-kecil?” kataku. Aku tahu kalau aku sangat cerewet seperti anak perempuan namun aku hanya ingin menjelaskan kepada Annaliese bahwa ada resiko dibalik kita membiarkan surat itu jatuh ke pada Malin tanpa kita tahu apa yang tertulis di dalamnya. “Badrun, Malin itu laki-laki, dan apa yang kamu katakan itu adalah tindakan perempuan, jadi aku rasa kali ini kita tidak perlu mencemaskannya. Biasanya laki-laki akan langsung membuang saja surat atau kertas yang mereka tidak perlukan lagi. Dan biasanya ketika membuangnya pun hanya di remas dijadikan bola saja tidak sampai digunting-gunting. Karena itu hanyalah pekerjaan perempuan,” kata Annalise. Aku terdiam sebentar. Jujur dalam hatiku, aku mengakui kalau Annaliese adalah gadis yang sangat pintar dan pemikirannya pun sangat luas. Dia sering memikirkan apa yang tidak sampai aku pikirkan. “Lalu, bagaimana kalau Malin justru menyimpan surat ibunya?” tanyaku. Annaliese langsung menggelengkan kepalanya, “Badrun, apakah ketika aku mengirimimu surat dan kamu telah baca, kamu akan menyimpannya?” tanya Annalise. “Tidak.” Jawabku spontan. Habis untuk apa pula aku menyimpan surat yang jelas-jelas sudah selesai aku baca? Itu hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada untungnya menurutku. “Nah, dia juga akan berpikiran seperti apa yang kamu pikirkan, Badrun. Dia juga tidak akan menyimpannya,” kata Annalise. Aku mendesah kecewa, ternyata pertanyaan yang dilontarkan oleh Annaliese adalah sebuah jebakan, aku jadi merasa benar-benar bodoh saat ini. “Kamu benar.” Jawabku. “Jadi?” tanya Annalise. “Baiklah, aku tidak akan membuka surat ini. Aku akan mencarinya di tong sampah saja. Kita berdoa saja kalau dia akan membuangnya,” kataku. Annalise pun menganggukkan kepalanya. Kemudian, aku dan Annaliese pun langsung terdiam sebentar. “Aku pergi dulu.” Pamitku. Annalise pun menganggukkan kepalanya. Kemudian aku pun langsung pergi, mulai menjalankan tugasku. Aku memilih untuk mengirimkan paket milik Malin terakhir karena jujur aku ingin bertemu dengannya sedikit lama. Kalau aku mengantarkan kepada dirinya terlebih dahulu maka aku takut kalau waktu bertemu kami sangat sedikit. Aku mengantarkan satu persatu paket itu, kemudian, yang terakhir aku pun mendatangi alamat Malin yang berada di rumah Pak Hamzah, ternyata tidak sulit untuk mencarinya. Aku dan Annalise benar-beanr bersyukur karen kali ini jalan kami hampir dikatakan mudah sekali. Kami tidak perlu melihat medan perperangan. Di sini semua orang hidupnya tentram dan tidak ada yang saling berkelahi memperebutkan ini dan itu. Semuanya hidup dengan damai tanpa menyenggol orang lain. Aku menatap rumah yang paling besar yang ada di Kawasan itu dan terdiam sebentar. “Apakah ini rumahnya?” tanyaku. Namun, mengingat itu adalah rumah paling besar yang ada di sana sehingga aku pun langsung merasa kalau aku tidak sedang salah alamat. “Assalamualaikum!” salamku. Di sini semua orang mengucapkan salam seperti apa yang aku ucapkan. “Waalaikumsalam.” Jawab seorang gadis. Aku pun mengamati gadis cantik itu, aku sepertinya pernah melihatnya. Aku pun mencoba berpikir sebentar dan benar saja ternyata aku ingat kalau gadis cantik itu adalah gadis cantik yang aku lihat pernah bersama dengan Malin. Gadis itu mendekat. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dnegan ramah. “Apakah ada Sdr. Malin di rumah ini?” tanyaku. “Iya ada. Tapi ada apa ya?” tanya gadis itu. Aku pun bersyukur karena aku tidak salah alamat, “Saya ingin mengantarkan paket untuknya,” kataku. “Oh begitu, Bang Malin sedang pergi, kamu bisa menitipkannya kepada saya,” kata gadis itu dengan sangat ramah. “Maaf, Kak. Bukannya saya tidak maupercaya atau memberikan, namun menurut permintaan dari pengirimnya, aku harus memberikannya langsung kepada Malin,” kataku. “Oh, seperti itu ya?” tanya gadis itu. Aku pun menganggukkan kepalaku begitu saja. “Kalau begitu masuklah dulu, kamu bisa menunggunya di dalam,” kata gadis itu, “Terima kasih.” Jawabku. Gadis itu mempersilakanku untuk duduk di bangku yang ada di teras rumah. Aku pun berterima kasih kepadanya. Gadis itu selain cantik juga sopan. “Saya tinggal dulu sebentar ya, Bang,” katanya. Aku menganggukkan kepalaku. Kemudian gadis itu masuk dan kembali dnegan secangkir the untukku. Aku pun berterima kasih kepada dirinya. “Terima kasih,” kataku. “Sama-sama, Bang. Biasanya Bang Malin jam segini sudah pulang. Mungkin sebentar lagi,” kata gadis itu. Aku pun menganggukkan kepalaku, habis apa lagi yang harus aku jawab. Aku tentu sebenarnya penasaran mengenai siapa dia sebenarnya namun karena merasa tidak enak sehingga aku mengurungkannya, aku takut dia tersinggung atau bagaimana. “Iya, tidak apa-apa. Tempat bekerjanya jauh?” tanyaku. “Lumayan jauh,” kata gadis itu. Aku pun menganggukkan kepalaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN