PPW 42 – Pelabuhan

2255 Kata
Penjaga itu menoleh, aku dan Annaliese hanya bisa tersenyum canggung karena ketahuan, “Anda hebat,” kataku sambil mengacungkan dua jempol. Annaliese juga melakukan hal yang sama. Lalu Annaliese pun bangkit dai atas tubuhku, kemudian aku pun menyusul, aku juga bangkit dari keadaan yang sangat memalukan ini. Kemudian, aku dan Annaliese pun langsung pergi meninggalkan penjaga tersebut. Aku memegangi punggungku yang memang tertimpa tubuh Annaliese. “Kenapa, Badrun, sakit ya? Maaf ya?” kata Annaliese. “Kamu berat sekali, Annaliese,” kataku. Annaliese pun langsung cemberut begitu saja. Ya, begitulah perempuan, mereka tentu tidak suka kalau ada ytang mengomentari penamp[ilannya padahal aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya, dia memang berat, sungguh aku sedang berkata jujur. “Badrun, kenapa kamu menyebalkan sekali,” kata Annaliese Aku hanya bisa nyengir lebar. Kemudian, kami pun pergi menemui Badrun dan duduk di dekat Badrun. Namun, sketika kami melihat pemuda yang sebelumnya kami berikan uang sedang mengepel lantai kapal. Dia tidak memakai seragam seperti yang digunakan petugas kapal lainnya. Namun, dia begitu rajin mengepel lantai kapal. “Lihat, ternyata dia terlihat rajin sekali,” kata Annaliese. “Iya, aku juga merasa seperti itu.” sahutku. “Dia mau merantau ke mana ya kira-kira?” tanya Annaliese. “Aku tidak tahu tapi sepertinya aku pernah melihatrnya,” kataku. “Oh ya? di mana?” tanya Annaliese. Aku terdiam sebentar. Kemudian, aku teringat satu hal. Aku teringat pada laki-laki yang merupakan anak dari Mande Rubiyah. Aku benar-benar mengingatnya. “Dia adalah malin,” kataku kepaa Annaliese. “Malin Kundang yang kamu ceritakan?” tanya Annaliese. “Aku belum yakin namun kalau mengingat cerita Malin Kundang yang pernah dibacaklan padaku, seharusnya sih iya. Karena polognya sama,” kataku. “JAlaskan lebih detail. Karena aku sepertinya belum pernah mengetahui kisah ini secvara utuh./” kata Annaliese. “Jadi, kisahnya itu diawali dengan ada seorang anak laki-laki yang tinggal bsersama dengan ibunya. Nah, ibunya ini sangat menyayangi anak laki-lakinya. NAmun, suatu ketika dia anak laki-laknya pamit kepada ibunya untuk merantai. Nah setelah merantai nanti dia bertemu dengan saudagar kaya, lalu menikahi anak saudagar kaya itu, lalu mereka menikah, dan ketika ibunya malin datang, malin tidak mau mengakui ibunya dan memperlakukan ibunya dengan buruk hingga akhirnya malin Kundang dikutuk jadi batu oleh ibunya.” Terangku. “Ck, kau adalah pencerita yang buruk, Badrun,” kata Annaliese. Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebeb, aku memang hanya bisa bercerita seperti itu saja. Akukan bukan pendongeng jadi wajar saja kalua gaya berceritaku ala kadarnya. Annaliese ini suka sekali mengomentari segala sesuatu yang akuy lakukan. Ntahlah, mungkin ini adalah hobinya. Hobi yang sangat buruk. “Tapi-tadi tidak aku ceirtakan,” kataku. Annaliese terkekeh begitu saja, “Lagi pula kamu kan ingin menjelaskan awal kisagh namun kalau aku dnegar ceritamu sepertinya kamu menceritakannya sampai tamat,” kata Annaliese. “Ann, lama-lama aku pusing, apakah mulutmu tidak bisa diperban saja?” tanyaku. Annaliese langsung terkekeh begitu saja;. dia memang sangat suka membuat aku marah. Ntahlah, semenjak kita bertemu lagi dia etrlihat suka menggodaku. Argh, mungkin ini semua karena pernyaan cintaku waktu itu. Kalau mengingat momen-momen tersebut, aku jadi malu sendiri. “Kalau begitu mungkin misi kita adalah membuat dia menjadi anak yang berbakti kepada ibunya,” kata Annaliese. Kali ini aku menyetujui apa yang dia katakan karena apa yang Annaliese katakan memang Masuk akal. Aku juga sempet berpikur seperti itu namun aku belum mengutarakannya karena ku tidak tahu apakah dia benar Malin Kundang atau tidak. “Bagaimana kalau kita dekati dia?” tanya Annaliese. “Iya, kita harus dekati dia,” kataku. “Kalau begitu biar aku saja, dia terlihat tampan dan sopan jadi sepertinya akan lebih mudah kalau aku dekati,” kata Annaliese kepadaku. “Tidak!” kataku menolak mentah-mentah apa yang Annaliese sampaikan. Bagaimana mungkin aku tidak menolaknya? Dia terlihat centil sekali. Dia mengatakan kalau Maklin Kundang laki-laki tampan di hadapakan aku, suaminya. Ya walaupun kami menikah karena terpaksan dan denganc ar ayang aneh namun sepertinya di dalam dunia paruh waktu ini kita adalah suami istri. “Kenapa tidak boleh, Badrun? Ini adalah hal yang sangat Masuk akal,” kata Annaliese. “Iya, kitra akan mendekati dia, namun orang yang akan mendekati dia adalah aku,. Bukan kamu,” kataku ekapda Annaliese. “Kenapa? Dia tampan sekali, Badrun. Dia seperti artis meski pakaianannya kumal seperti gelandangan,” kata Annaliese. Aku langsung membekap mulut Annaliese, aku takut kalau ada orang yang mendengar apa yang Annaliese katakan. Aku tahu kalau Annaliese tidak berniat untuk menghina dia hanya mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya saja. namun aku tidak tau mengenai bagaimana pandangan orang. Aku tidak tahu apakah orang-orang itu juga bisa memakluminya. Aku langsung melepaskan tanganku. “Jangan seperti itu, An, itu namanya menghina. Kamu boleh melakukan itu kepadaku yang tahu cara kamu bercanda tapi angan pada orang lain yah? Aku takut kalau kamu akan terluka karena mulut kamu kurang berhati-hati,” kataku. Annaliese tersenyum licik, ntah apa yang kini ada di dalam kepalanya, “Apa kamu sedang mengkhawatirkan aku, Badrun?” tanya Annaliese. Aku pun langsung terkejut mendnegar pertanyananya, aku tidak menyangka kalau dirinya akan menayakan hal demikian. Aku pun langsung menggelengkan kepalaku, “TEntu saja tidak. Untuk apa aku memperdulikan anak ceroboh sepertimu?” tanyaku sambil memeletkan lidahku. Annaliese kali ini mengerucutkan bibirnya begitu saja. namun dia tidak marah, aku sangat mengetahui itu. Dia memang hanya sedang ingin berpose seprti itu saja. setidaknya itulah yang ad adi dlaam pikiranku. “Aku tidak ceroboh,” kata Annaleise protes dengan menggmaskan. Kali ini giliran aku yang terkekeh melihat dirinya yang seperti itu. Kemudian, kami pun mengamato Malin lagi. kali ini aku ingat dia sehingga akau kaan memanggil namanya saja. Aku mulai mengamati bagaimana cara dia berinteraksi dengan orang-orang dan terliaht sekali kalau dia adalah orang yang sangat baik. Awalnya, saat aku bertemu dengan dia ketika dia menanyakan pemilik Badrun, akuy sempat berpikir kalau dia adalah orang yang akan menyebalkan karena sikapnya memang begitu menyebalkan dan aku asa tidak sopan. Namun, setelah mngobrol dengannya dan melihat bagaimana cara dia berinteraksi, aku langsung berubah pikiran. Aku jadi merasa kalau MAlin adalah orang yang sangat bvaik dan ulet. Sepertinya aku tidak percaya kalau orang sebaik Malin menjadi anak durhaka. Aku pun berniat untuk bertemu dengan Malin dan mengajaknya berbincang sebentar. Sekadar untuk perkenalan. Rasanya aku tidak adil kalau hanya aku ytang mengenal dirinya. Malam pund atang, Annaliese sedang tidur di samping Badrun. Aku tidak mencemaskan Annaliese saat ini karena dia ada di samping Badrun. Kudaku yang sangat bisa diandalkan. “Aku tinggal sebentar ya, Badrun. Aku tidak akan lama. Aku hanya di sana, amsih bisa mengawasi kalian,” kataku sambil mengusap kepala kudaku, berharap kalau dia akan mengerti apa yang aku katakan. Aku pun langsung berjalan menuju ke arah Malin yang kini duduk sendirian. “Kau sendiri?” tanyaku. Malin yang mendangar aku berbicara langsung menoleh, “Eh, Bang. Saya …,” katanya. “Tidak usah formal,” kataku. Malin pun menganggukkan kepalaku. “Badrun Subadrun,” kataku. Aku sengaja memperkanalkan diri dengan menggunakan nama panjangku agar Malin juga mau menyebutkan nama lengkapnya. Aku memang dalam tyahap ingin memsstikan apakah aku memang berada dalam dimensi Malin Kundang dan dia adalah tokoh utama dalam cerita rakyat tersebut atau bukan. Malin menjabatr tanganku, “Malin Kundang, Bang,” katanya. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku. Ternyata aku benar-benar sudah Masuk ke dalam Dunia Malin Kundang. Syukurlah, itu artinya aku tidak perlu berkelahi, bertarung, atau melihat pertumpahan darah. Aku bukannya takut namun aku sangat takut kalau Annaliese sampai terluka. Ntah mengapa aku tidak rela kalau ad ayang terjadi kepada Annaliese. Jadi, belakangan, aku selalu menomor satukan Annaliese. “Nama yang bagus,” kataku. “Iya, pemberian ibuku,” kata Malin. “Ibumu tak ikut?” tanyaku. Wajah Malin kini berubah menjadi muram, dia seperti sedaih. Warut wajahnya benar-benar menunjukkan kerinduan yang mendalam kepada ibunya. “Tidak, Bang. Aku ini merantau ingin sukses, agar ibuku bangga. LAgi pula dirantauamn nanti aku tidak tahu harus tinggal di mana dan apakah bsisa makan atau tidak sehingga aku tentulah tidak bisa mengajak ibuku,” kata Malin Kundang. Aku pun menganggukkan kepalaku. Apa yangt dikatakan oleh Malin Kundang terlihat ebegitu jujur. “Kau orang yang cerdas, Malin,” kataku. “Aku tahu, ibuku selalu mengatakannya kepadaku,” kata MAlin. Aku rasanya ingin mengatakan kepada Malin kalau kita tidak bisa memakai pujian ibu sebagai tolok ujkur sebuah pencapaian, ramun rasanya tidak tepat karena kami belum kenal akrab. Lagi pula itu adalah bahan candaan aku dengan Annaliese. “Kamu sepertinya sangat merindukan ibumu,” kataku. “Iya, Bang. mau bagaimana lagi. beliau adalah satu-satunya keluargaku. Ayahku sudah tiada sejak lama. Aku pun tak memiliki kakak atau adik jadi aku hanya memiliki ibuku. Hal itu membuatku merasa sangat menyayangi ibuku.” Terang Malin. Aku menganggukkan kepalaku. Sampai sini aku p[aham klau Malin sebetulnya adalah orang yang sangat peduli dan menyayangi ibunya. Aku jadi tidak yakin kalau dia akan membangkang kepada ibunya karena jika melihat percakapan kami, Malin terlihat sangat jujur. “Betul, aku bangga padamu, Malin, semoga kau manejadi saudagar kaya yang baik hati dan tidak sombong, serta bisa mengajak serta ibumu menikmati kekayaan yang kau peroleh susah payah,” kataku. “Amin, Bang,” kata Malin sambil tersenyum. Matanya menatap langit dia terlihat seperti sedang merindukan seseprang. Untuk sekarang ini, aku merasa kalau orang yang sedang dipikirkan oleh Malin adalah ibunya. “Aku tadi melihatmu beres-beres kapal. Kau mencari tambahan?” tanyaku. Malin menganggukkan kepalanya, “Iya, Bang. Lumayan. Lagi pula aku merantau untuk bekerja jadi menurutku tidak boleh menyia-nyiakan waktu. Aku tidak mau terlalu lama hidup merantau dan tidak akan pernah mau untuk pulang sebelum aku sukses,” kata Malin. “Benar-benar pedoman orang minang sejati, tak mau pulang sebelum kaya,” kataku. Malin tertawa mendnegar apa yang dikatakan olehku, “Ngomong-ngomong, dari manamu? Kenapa logat bocaramu berbeda dari kami semua?” tanya Malin. Sejauh ini, Malin memang merupakan anak yang sangat cerdas. Dia juga pandai bergaul. Sehingga dia terlihat sangat mudah membuatku nyaman berbicara dengan dirinya. “Aku dan istriku datang dari tempat yang sangat jauh, jadi logat bocicara kami sedikit berbeda dengan kalian.” Terangku. Malin pun mengaggukkan kepalanya, sekaan tahu kalau aku tidak akan mau menyebutkan dari mana aku berasal. “Istrimu sangat cantik. Wajahnya juga terlihat berbeda dengan wanita kami,” kata Malin. Aku terkekeh, tentu saja. Annaliese bahkan terlihat mencolok dimanapun. Kelitnya yag putih sekali begitu kontras dengan warna kulit semua orang Indonesia. Rambutnya berwarna pirang alami, dan wajahnya terlihat begitu cantik. “Iya, dia memang bukan orang kita. Dia adalah anak dari keluarga Belanda.” Terangku. “Belanda?” tanya Malin yang seperti tidak mengetri mengenai apa maksud aku. “Intinya dia datang juga dari tempat yang sangat jauh,” kataku. Malin pun menganggukakn kepalanya. Aku pun kembali menyambung obrolan, namun meski aku mengobrol dengan Malin namun aku tetap mengawasi Badrun dan juga Annaliese yang tengah tertidur. Aku merasa kasihan kepada Annaliese karena dia tentulah sangat kedinginan karena tidur di luar ruangan kapal. Kami memang tidak bisa Masuk ke dalam kamar-kamar kamar yang di dalamnya sudah banyak pasangan yang sudah memsan kamar terlebih dahulu. Setelah mengakhiri orolan aku pun memilih untuk kembali kepada Annaliese. Dia terlihat tidak nyaman tidur tanpa bantal. Lalu dengan kebaikan seluruh hatiku akhirnya aku pun langsung berinisiatif untuk memindahkan kepadla Annaliese ke atas pahaku. Kali ini aku tidak sedang mencuri-curi kesempatan dalam kesempitan karena Annaliese memang terasa tidak nyaman dengan posisinya. Aku sebagai laki-laki, hanya bisoa membantunya menjadi nyaman, itu saja. Keesokkan harinya, kami pun sampai di sebuah pelabuhan. Di sana sudah banyak warga yang melambaikan saputangan ke arah kapal meski kapal bisa dikatakan Masih jauh. Aku jadi seakan bisa merasakan bagaimana mereka yang terlihat menunggu-nunggu kedatangan kami. Aku seketika teringat pada film yang pernah naik daun pada Masanya, jduulnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Aku jadi teringat ketika mengantarkan tokoh Hayati naik kapal. Aku teringat bagaimana banyak orang yang melambaikan sapu tangan dan menyambut kedatangan dan melepaskan kami begitu saja. “Kita akan sampai ya, Badrun?” tanya Annaliese. Aku pun menganggukkan kepalaku, “Sepertinya iya, An,” kataku. “Lalu di mana kita?” tanya Annaliese. “Aku tidak tahu. Sepertinya Jakarta,” kataku. “Wah, kamu hebat Badrun. Dari mana kamu mengetahuinya?” tanya Annaliese. “Kamu tidak perlu heran. Aku hanya membaca tulisan itu,” kataku kepada Annaliese sambil menujuk sebuah tulisan yang ssebenarnya aku tidak tahu apa bacaannya karena menggunakan huruf-huruf kuno yang aku dan Annaliese tidak mengerti cara membacanya. “Memang kamu bisa membacanya, Badrun?” tranya Annaliese. Kau hanya bisa terkekeh begitu saja. “Tidak bisa.” Jawbaku jujur. “Wooo, sudah kuduga kamu akan bilang tidak tahu. Ah, kamu memang tidak bisa diandalkan, Badrun,” kata Annaliese. “Memangnya dari segi mana aku tidak bisa diandalkan?” tanyaku kepada Annaliese. “Dari segala segi,” kata Annaliese yang langsung terkekeh. Mendengar Annaliese terkekeh membuat aku jadi ikut-ikutan terkekehg begitu saja. “Badrun apakah kita perlu melambaikan tangan kepada sameua orang seperti yang dilakukan oleh orang lain?” tanya Annaliese. “Boleh. Lambaikan saja. kapan lagi kamu bisa melakukan ini. Nikmatilah sepuas hatimu,” kataku. Annaliese pun langung terkekeh dan kemudaian, Annaliese pun langsung ikut melambaikan tangnnya dengan penuh semangat. Annaliese benar-benar semangat meski dia tahu dan dia sadar kalau diantara banyaknya orang yang ada di pelabuhan, tidak ada satupun yang menjempunta. “Apakah aku terlihat menyedihkan, Badrun? Aku melambaikan tangan kepada semua orang namun sebetulnya tidak ada satupun orang yang menugguku di sana,” kata Annaliese. “Kamu tidak perlu berkata yang macam-macam. Kitakan memang bukan berasal dari mereka jadi wajar kalau tidak ada yang menjemput kita,” kataku kepada Annaliese mencoba menenangkan hati Annaliese.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN