Aku menarik tangan Annaliese agar kita tidak kehilangan Malin Kundang. Orang yang harus kita kejar memanglah Malin Kundng. Kita tidak bisa membiarkan Malin Kundng lolos karena dia aadalah salah satu kunci agar kita bisa keluar dari dimensi ini.
“Ayo, An, kita harus cepat-cepat!” kata ku kepada Annaliese.
“Tunggu Badrun,” kata Annaliese.
Aku memegangi tangan kanan Annaliese dan di tangan kananku sudah ada Badrun. Aku tidak mau meninggalkan Kudaku ini.
Kemudian, kita pun terus berlari-lari kecil, menembus semua orang yang kini menhalangi jalan kami karena mereka juga ingin turun dengan cepat, tak sabar bertemu dengan kelauarga mereka.
Namun, akhirnya, setelah keluar, aku dann Annaliese pun langsung bingung. Kami tidak menemukan di mana Malin Kundang. Kami kehilangan jejak.
“Aduh, bagaimana ini, Badrun?” tanya Annaliese yang merasa cemas. Jangankan Annaliese, aku saja cemas.
Aku tidak mau kalau kita terkebak lebih lama di sini. Aku ingin menyudahi ini semua dan pulang.
“s**l, sial., s**l, kemana dia ya?” gumamku.
“Badrun, itu kata-k********r, tidak boleh diucapkan. Nanti kalau kita benar-benar sila bagaimana? Apa kamu mau tanggung jawab? Aku tidak mau s**l terus Badrun. Hidupku harus terus berlanjut. Dan tentunya tanpa kesialan,” kata Annaliese.
Aku menghela napas, sebetulnya kesla juga dengan apa yang dikatakan Annaliese, namun mau bagaimana lagi. apa yang dikatakan oleh Annaliese sebenarnya memang ada benarnya namun perlu lebih dicerna lagi saja.
“Lalu, kita harus ke mana, Badrun?” tanya Annaliese.
“Aku juga bingung. Lebih baik kita naik Badrun saja. Kita akan lebih mudah menemukan banyak orang kalau kita ditempat yang tinggi,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya namun seketika dai menatap Badrun dengan ngeri. Aku yang melihat bagaimana eksprsinya yang seperti itu pun langsung bertanya, “Ada apa?” tanyaku.
“Aku tidak bisa naik kuda, Badrun Tampan ini tinggi sekali, bagaimana aku bisa menaikinya,” kata Annaliese.
“An, ini bukan kali pertama kamu menaikinya kamu pasti bisa,” kataku.
“Kapan aku menaikinya Badrun? Kamu mengada-ada saja,” kata Annaliese.
Aku terdiam sebetar. Aku jadi teringat di masa sebelumnya, sepoetrinya ketiuka aku membantu menaikkan Annaliese di atas punggung Badrun, saat itu kondisi Annaliese sudah tidak sadarkan diri, bahkan sudah meninggal.
“Kamu pasti sudah meninggal saat aku menaikkanmu ke atas Badrun,” kataku.
“Ntahlah, aku tidak ingat. Lalu bagaimana ini? Aku tidak bisa menaikinya,” kata Annaliese.
“Sini biar kubantu.” kataku.
Annaliese pun menekatiku.
“Badrun, kamu duduk yah, agar dia bisa naik,” kataku kepada Badrun dan mengusap wajah Badrun. Lalu Badrun pun langsung duduk, menurut sakali.
Melihat apa yang aku lakukan, mata Annaliese jadi berbinar, Annaliese tidak menyangka kalau kalau Badrun bisa senurut itu denganku.
Aku bisa mengetahuinya dari bagaimana sorot mata Annaliese Annaliese meamng merupakan orang yang mudah ditebak jadi mudah saja aku menebaknya.
“Ayo, sekarang naik. Pegang tanganku dan kamu naik ke sini, pelan-pelan,” kataku menujukkan cara naik pelaa.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya.
Untungnya, Annaliese memakai celana jadi dia bisa dengan mudah saat menaikinya, kalau dia memakai rok itu tentulah snagat merepotklan.
“Bagini,?” tanya Annalisee.
Aku pun menganggukkan kepalaku.
Kemudian, aku pun langsung naik kuda itu dan duduk di belakang Annaliese.
“Kita sepertinya terlalu mepet, Badrunh,” kata Annaliese.
“Ya memang seperti ini cara kerjanya, sudah kamu tak pelu berpikir macam-macam.,” kataku.
“Tapi a-aku meras atidak nyaman,” kata Annaliese.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ntahlah.” Jawabnya.
Aku hanya bisa menghela napas, “Mungkin karena kamu belum terbiasa,” kataku.
“Aku takut jatuh,” kata Annaliese.
“Tidak akan, ada aku di belaakangmu,” kataku.
Aku bukannya sedang menggombal. Aku hanya sedang membuatnya tidak cemas, itu saja.
Kemudian, kami pun mulai mencari Maling Kundang pelan-pelan dengan menunggani Badrun. Dia berjalan pelan, sekana tahu kalau kami memang tengah mencaro seseorang.
“Dia di mana ya?” tanyaku bingung.
“Ntahlah, manusia ini banyak sekali, Badrun. Sepertinya kita akan kesulitan mencarinya,” kata Annaliese.
Aku menganggukkan kepalaku begitu saja.
Kini diantara banyak orang, hanya kami yang menunggani kuda. Semua orang pun melihat kami dengan tatapan takjub, lagi pula sepertinya ini kali pertama mereka melihat ada kuda di pelabuhan.
Namun, tak lama kemudian, aku bisa melihat ada kuda-kuda yang digunakan sebagai delman yang sudah berderet di dekat pontu keluar pelabuhan.
Di zaman ini tidak ada kendaraan lagi. hal itu tentulah sangat lumrah mengingat masa yang aku datangi terlalu lampau.
Setelah mencari kesana dan kemari ternyata, Malin Kundang memang tidak juga dapat ditemukan.
Padahal kami sudah jalan jauh sekali. Namun apa yang bisa kita lakukan kalau sudah begini.
“Kita tidak bisa lama-lama. Aku kasihan dengan Badrun Tampan yang harus membawa kita,” kata Annaliese.
Aku setuju karena Badrun bisa saja lelah terlebih selama di perjalanan kami hanya bisa memberinya makan alakadarnya saja.
“Baiklah kita akan pergi kea rung itu, sekalian kita makan dan Badrun bisa memakan rumput-rumput yang ada di samping warung itu,” kataku.
Annaliese menganggukkan kepalaku.
Kemudian, aku dan Annaliese pun turun dari atas Badrun sesampainya kami di depan rarung tersebut. Aku turun terlebih dahulu, lalu kuulurkan tanganku agar Annaliese bisa turun dengan mudah.
“Aku akan mengikat Badrun terlebih dahulu, kamu masuklah dulu,” kataku kepada Annaliese. “Oke, Badrun,” kata Annaliese.
Aku pun langsung berjalan menuju sebuah pohon yang baru saja ditebang dan menyisakan batang pohon sebatas d**a, aku mengikat Badrun di sana agar Badrun bisa leluasa memakan rumput dan dia tidak pergi atau menghilang dariku.
Setelah selesai mengikuta Badrun aku pun langsung mengusap kepadla Badrun,. “Kamu tunggulah aku di sini, aku akan kembali lagi, kamu jangan khawatir. Maskanlah rumput-rumput ini sesukamu,” kataku.
Kemudian aku pun langsung masuk ke dalam restoran, ah, maskudku warung makan itu. Di sana, tanpa sengaja aku melihat Annaliese yang tengah asyik mengobrol dengan Malin.
Aku pun langsung buur-buru berjalan menghampiri mereka berdua dan langsung berada dai tengah-tengah mereka. Aku duduk di samping Anbnalise.
“Bang Badrun!” kata Malin yang terlihat begitu senang dengan kedatanganku.
Aku malas betul rasanya melihat Malin namun aku tidak bisa menujukkannya karena aku takut kalau Annaliese mengira kalau aku cemburu pada Malin padahal hal itu tentulah tidak mungkin terjadi. Aku tidak merasakan apapun. Sungguh. Ntahlah, sungguh berbohong atau sungguh tidak berbohong.
“Hai, Malin, sedang apa kau di sini?” tanyaku berbasa-basi.
“Aku bekerja di sini, Bang. untuk sementara.” Terang Malin.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku. “Kau ebanr-benar pekerja keras,” kataku.
Malin terkekh begitu saja mendengar apa yang aku katakan. Aku meang memujinya dengan jujur karena dirinya memeanglah seorang anak laki-laki yang sngata bersemangat bekeerja. Semangat sekali untuk manju sehingga aku tidak bisa meragukannya.
“Dia akan memberikan kita dua porsi nasi secara cuma-cuma, Badrun,” kata Ammalise.
Aku pun langsung menoleh ke arah Malin, “Tidak perlu, Malin. Jangan mentraktir kami karena akmu baru bekejea, itu akan menjadi penilaian yang buruk dari bosmu. Apalagi kamu baru saja diterima bekerja, lebih baik biarkan kami membayar,” kataku.
“Tapi, Bang. aku sudah terlanjur mengatakan keadpa Kakak kalau aku akan mentraktir,” kata Malin.
“Tidak apa-apa, Malin. Apa yang dikatakan oleh Badrun memang benar, jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku,” kata Annaliese sambil tersenyum.
Aku jadi merasa kesal melihat abgaimana Annaliese ynag bisa tersenyum begitu saja kepada Malin.
“Buatkan kami mnmakanan yang enak ya, Malin.” Kata Annaliese yang mulai mengatakan hal dengan tersenyum lagi.
“Baik,” kata Malin.
Kemudian, Malin pun langsung berjalan menuju dapur dan mulai membuatkan makanan untuk Annaliese dan juga aku. Setelah meletakkan makanan kami, dia pamit untuk melayani pelanggan yang mulai berdatangan.
Aku mengamati gerak-gerik Malin yang terlihat sangat gesit dan semangat dalam bekerja.
Aku pun menyuapkan makanan ini, dan rasanya begitu enak dan pas dilidah.
“Enak sekali,” kata Annaliese yang lagi-lagi bisa menytuarakan isi kepalaku tanpa aku mengucapkannya. Aku lagi-lagi tidak tahu apakah ini hanyalah kebuetulan belaka atau memang anallise bisa mendengar apa yang aku katakan.
“Iya, enak sekali,” kataku.
“Mungkin ini karena yang m,embuat juga tampan,” kata Annaliese.
“Cak, tampan dari mana? Sepertinya seleramu buruk,” kataku mencibirnya.
Namun, sejujurnya pa yang dikatakan oleh Annaliese memang benar adanya. Malin memang sosok yang tampan dan memiliki tubuh yang bagus. Aku bisa menebak kalau tubuhnya bagus karena dia rajin berolahraga dan juga merupakan pekerja yang snagat kuat. Maskudku, dia pekerja keras.
“Kenapa kau terlihat tidak suka seperti itu, Badrun? Apa kamu sedang cemburu kepadaku?” tanya Annaliese.
Aku pun langsung terbatuk begitu saja, Annaliese langsung dengan cepat menyodorkan sebuah air putih atau air mineran kepadaku, aku langsung meminumnya dan aku pun bvisa terbebas dari tesedak itu.
“Kenapa kamu sampai tersedak sih?” kata Annaliese.
“Lagi pula kamu kenapa coba berpikir sampai sana. Aku tidak cemburu, ingat itu.” Kataku kepada Annaliese.
Annaliese yang mendengar apa yang aku katakan pun langsung terkekeh begitu saja. dia seperti mengejekku, kali ini aku hanya bbisa mengerucutkan bibirku sebentar dan langsung kembali berkutat dengan makananku.
“Badrun, kalau dia di sini, berarti kita bisa sering-sering ke sini ya?” kata Annaliese.
Aku pun menganggukkan kepalaku, “Iya,” kataku.
“Lalu kita tinggal di mana?” tanya Annaliese
“Kita akan mencari penginapan di sekitar sini, kalaupun kita tidak dapat penginapan kita bisa tidur di sana?” kataku sambil menujuk bukit yang tak jauh dari kiitempat kita berada.
“Maskdumu? Di sana kan tidak ada rumah, Badrun,” kata Annaliese.
“Ya memang kita tidur saja di bawah pohon,” kataku.
“Asatag, kalau aku sampai masuk angin dan deman bagaimana?” tanya Annaliese.
“tidak mungkin, kau itukan kuat, biasa tidur di luar, tidak mungkin sakit,” kataku.
“Iya, aku juga tidak mungkin mati, Badurn,” kata Annaliese menyindirku.
Aku sangat tahu itu namun mau bagaimana lagi.
Setelah makan siang kami lakukan, selanjutnya aku dan Annaliese pun hendak pergi setelah aku membayar mkanan kami.
“Terima kasih, Malin. Makanan kami sungguh enak. Kamu benar-benar snagat berbakat,” kataku kembali lagi memujinya.
Aku ingin Malin merasa akrab denganku agar aku bisa mendekatinya.
“Iya aku juag senang kalian bisa makan di rumah makan ini karena aku jadi merasa memiliki saudara. Padahal di sini aku tidak memiliki satupun saudara,” kata Malin.
Aku pun menganggukkan kealaku.
Kemudian, Annaliese pun pamit dengan Malin, “Malin, kalau kita sering makan di sini jangan bosan ya?” kata Annaliese.
Aku kesal sekali mendengar suara Annaliese yang snegaja diimut-imutkan.
“Iya, Kak. Aku pasti merasa senang kalau kalian datyang berkunjung terus ke sini,” kata Malin.
“Kami pergi, Malin,” kataku memutus percakapan.
Aku pun mulai berjalan dan aku pun menyerat tangan Annaliese agar dia bisa mengikutiku kek kuda.
“Astaga. Kudaku mana?” tanyaku yang bingung setengah mati.
“Ck, itu dia,” kata Annaliese yang melihat Badrun yang tengah memakan rumput dengan tali yang sudah terlepas.
“Badrun!” seruku dan langsung memeluk Barunm.
Akus empeat berpikir kalau Badrun akan pergi begitu sjaa meninggalkan aku namun ternyata Badrun masih ada di sana dan aku snagat menyayanginya.
“Akuhampir saja mati kehilanganmu, Badrun,” kataku yang terkejsan lebay namun itu adanya.
“Ck, bohong, Badrun,” kata Annaliese.
Aku hanya sedikit melotot kepada Annaliese,s edangkan Annaliese hanya bisa tertawa begitu saja. Dia memang hantu paling meyebalkan.
“Aku takut kamu sampai hilang,” kataku kepada Badrun.
“Kamu ebanr-benar sangat lebay, Badrun. Berlebihan. Hih!” kata Annaliese.
“Biarkan saja,” kataku.
Kemudian, kami pun memilih untuk melanjutkan prjalanan untuk mencari penginapan. Kami tentu membutuhkan penginapan untuk beristirahat . apalagi badan kami sudah pegal-pegal.
“Itu sepertinya penginapan, Badrun,” kata Annaliese sambil menujuk salah satu tempat.
Aku pun langsung mengamatinya sebentrar lalu menganggukkan kepalaku, itu memang sepertinya sebuah penginapan. “Sepertinya betul. Ayo kita ke sana,” kataku.
Annaliese pun langsung bersorak senang, “Ayo, Badrun,. Aku sudah snagat lelah, aku ingin beristirahat.
Aku pun menganggukakn kepalaku, “Aku juga merasakan hal yang sama,” kataku.
Kemudian, kami pun mendatangi penginapan tersebut kemudian mulai memsan kamar namun kami hanya bisa memesan satu kamar saja padahal Annaliese dan aku sempat ingin pisah kamr karena rasanya begitu canggung terus menerut tinggal bersama. Namun, takdir berkata lain, aku dan Annaliese pun harus berada di dalam satu ruangan.
“Bagaimana? Kita hanya bisa memmesan satu kamar aja,” kataku kepada Annaliese.
Aku tentu tidak bermasalah akan hal itu namun aku tidak tahu apakah hal itu bisa diterima opoleh Annaliese atau tida. Kalau tidak diteirima kita bisa mencari penginapan yang baru.
“Yasudah, Badrun, tidak apa-apa, lagi pula kalau mencari penginapan lain sepertinya kakiku suah tidak kuat,” kata Annaliese yang memegangi lututnya sendiri.
Aku pun mengamati lutut Annaliese yang tertutup celana panjag, “Iya, aku makslum karena perjalanan kita memang snagat jauh,” kataku.
Kemudian aku pun langsung membayar kamar tersebut selama satu minggu. Aku dan Annaliese akan emncari uang lagi setelah ini.
Sebenarnya Annaliese dan Badrun bisa menyewa penginapan sampai berbulan-bulan namun Annaliese dan Badrun tiodakmau melakukannya karena mereka akan berpindah-pindah tidak mau menetap dis atu tempat saja.
“Ayo?” kata ku mengajak Annaliese.
Annaliese menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menganggukkan kepalanya dan mengikutiku dari belakang.