Setelah membersihkan dompet tersebut, selanjutnya aku pun langsung mengajak Annaliese untuk mecnari pemilik dompet tersebut. Aku juga sudah meminta uang sisa yang ada di tangan Annaliese dan memasukkannya ke dalam dompet tersebut.
Aku berniat untuk memminta maaf kepada pemilik dompet karna telah memakai uang yang ada di dompet tersebut. Annaliese hanya bisa menurut saja.
“Bagaimana kita bisa menghubungi orang yang ada di dalam dini, Badrun? Di sini tidak ada telepon, lalu di kartu nama tersebut juga tidak ada fotonya. Kita tidak bisa mencocokkan wajah orang,” kata Annaliese.
Apa yang dikatakan oleh Annaliese memang cukup Masuk akal. Namun, aku harus mencari cara agar bisa memberikan dompet itu kepada pemiliknya. Kemudian, aku pun langsung berpikir keras.
“Tiket!” kataku.
Annaliese memandangiku. Aku bia menangakap dari caranya memandangku kalau dirinya sebetulnya tidak mengerti mengenai apa yang tengah aku jelaskan.
“Iya, semua orang yang ada di sini tentulah memiliki tiket. Kita bisa gunakan nama-nama yang ada di dalam tiket itu. Kita bisa cari petugas kapal yang membagikan tiket atau yang menrima p********n tersebut,” kataku.
“Itu tidak amsuk akaln, Badrun. Bagaimana mungkin petugas tiket bisa hapas semua orang yang Masuk ke dalam kapal ini?” tanya Annaliese.
“Tapi, Annaliese, kau bilang kalau dia dalah orang kaya, bukankah jumlah saudagar kaya di kapal ini tentulah sedikit? Mereka tentu bisa menghapalnya,” kataku.
Annaliese menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Begini, Badrun, … sebenarnya aku tidak tahu apakah pemilik dompet ini adalah orang kaya atau tidak karena aku hanya asal menebak saja,” kata Ananleise berkata dengan salah tingkah.
Aku menepuk dahiku. Annaliese benar-benar ajaib, luar biasa. Aku benar-benar tidak menyangka kalau Annaliese bisa seperti ini.
“Ann, ya ampun aku bingung harus berkata apa lagi,” kataku kepada Annaliese. Aku memang berkata yang sejujurnya karena Annaliese selalu memiliki cara untuk membuatku kebingungan.
“Tapi tidak apa-apa, Badrun kita coba saja tanya kepada petugas tiket siapa tahu mereka tahu keberadaan orang yang memiliki dompet ini,” kata Annaliese.
Annaliese pun langsung nyengir lebar. Aku menggelengkan kepalaku dan mulai berjalan, lagi pula apa ada lagi bisa kita lakukan selain mencoba mencari penjaga tiket?
Aku dan Annaliese pun mulai mencari petugas tiket. Kami tidak bisa tbertanya kepada semua orang mengenai siapa pemilik petugas tiket itu karena mereka akan mencurigai kami sebagai penumpang gelap, meski hal tersebut memanglah yang terjadi.
Baik aku maupun Annaliese memang tidak memiliki tiket.
Lalu, kamu pun menghampiri sebuah ruangan yang sepertinyadigunakan oleh petugas kapal. Di dalam sana ada seorang laki-laki berbadan besar yang tengah menghitung uang.
Aku pun langsung menoleh eka rah Annaliese. Sepertinya dia adalah orang yang tengah kami cari.
“Permisi,” kataku.
Orang itu pun langsung mendongak. Kemudian, setelah melihat kami, beliau langsung memasukkan uangnya ke dalam sebuah laci lagi.
“Ada apa?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku tentu tidak bisa mengatakan kalau kami menemukan dompet, sebab bisa saja beliau akan mengaku dompet trersebut atau hanya menyimpan dompet itu sampai pemiliknya datang. Atau bahkan dia tidak mau mencarikan pemiliknya.
“Begini, Pak. Kami memiliki janji dengan teman kami dikapal ini. Tapi aku tidak menemukannya di manapun, bisakah minta tolong untuk dicarikan, Pak?” tanyaku.
“Kau tidak lihat kalau aku sedang sibuk?” tanya petugas tersebut.
“Temanku ini adalah orang penting, kalau beliau tahu pelyanan kapal ini buruk seperti ini, dia tentu akan mengatakan kepada semua orang kalau tidak perlu ada yang menaiki kapal ini lagi,” kataku seidkit mengancamnya dengan cara yang sangat halus.
“Oh ya? Siapa namanya?” tanya petugas tersebut.
“Namanya Tuan Hamzah Sya’bana. Berasal dari Padang Panjang,” kataku.
“Baik, tunggu sebentar,” kata petugas tersebut.
Petugas tersebut menggembok kontak uang tersebut. Kemudian, beliau pegi. Kami dipesilakan menunggu di ruang tunggu.
Setelah petugas tersebut pergi, annaleise pun langsung menoleh eka rahku. Aku hanya bisa menanyakan mengenai ada apa menggunakan matakau.
“Kenapa kamu berbohong?” tanya Annaliese.
“Bohong sedikit tidak apa-apa, yang penting kita bisa bertemu dengan pemilik dompet ini,” kataku.
Aku tahu berbohong adalah tindakan yang tidak baik, namun untuk saat ini sepertinya hal itu adalah hal yang terbaik.
“Dasar kamu, Badrun. Aku tahu kamu sedang berbohong kan?” tanya Annaliese.
“Sttt, nanti kalau kamu terus berisik, kita bisa cepat ditangkap,” kataku menakut-nakuti Annaliese.
Annaliese pun langsung terdiam, sepertinya dai takut ditangkap. “Aku tidak mau ditangkap dan disiksa seperti sebelumnya,” kata Annaliese kali dia dia menunduk.
Melihat dia yang terlihat sperti trauma seperti ini membuat aku merasa sedikit kasihan kepadnya. Aku tahu bagaimana penderitaannya sampai di culik dulu bahkan sampai dia harus melewati sakit yang begitu panjang.,
“Kamu tidak perlu takut. aku hanya bercanda. Di dunia ini aku tidak akan pernah meninggalkanmu seperti sebelumnya. Aku tidak akan pernah membiarkan kamu pergi dan hilang dari pandanganku walau sedetik,” kataku.
“Kalau au ke kamar mandi bagaimana?” tanya Annaliese.
Aku memutar bola mataku, “Tentu saja terkecuali itu,” kataku.
Annaliese pun terkekeh begitu saja.
“Kalau aku diculik dari alam kamar mandi?” tanya Annaliese.
“Aku akan berjaga di pintu jadi tenang saja,” kataku.
Annaliese pun terkekeh begitu saja.
Tak lama kemudian, Penjaga datang, beliat datang dengan seorang suami istri yang sudah separuh baya. Kemudian, penjaga itu pun berpamitan kepada kami.
“Tuan Hamzah Sya’bana dari Padang Panjang?” tanyaku.
Beliau menganggukkan kepaanya.
“Perkenalkan nama saya, Badrun, dan di samping saya, Annaliese,” kataku.
“Istri Badrun,” kata Annaleise.
Aku harus menahan napas saat ini melihat Annaliese namun aku hanya bisa tersenyum saja tak bisa membuat Pak Hamzah merasa takut atau curiga pada kami. Aku takut beliau menganggap kami penipu.
“Hamzah, dan ini istri saya. Benarkah anda mencari saya?” tanya Pak Hamzah.
Aku pun menganggukkan kepalaku dengan sopan, “Iya, Pak. Saya ingin bertanya apakah merasa kehilangan sesuatu?” tanyaku.
“Ya, saya dan istri saya memang sedang kehilangan sesuatu. kami kehilangan dompet,” kata Pak Hamzah.
Aku melirik Annaliese sebentar.
“Oh ya? warna apa dompet anda?” tanyaku.
“Warna hita. Di dalamnya ada sebuah kertas yang sangat berharga. Kertas yang berisi tulisan anak kami yang baru saja meninggal,” kata Pak Hamzah. Beliayu terlihat memeluk punggung istrinya sejenak.
Aku dan Annaliese pun sepakat untuk memberikan dompet tersebut. Karena kami merasa kalau dompet tersebut memang merupakan dompet milik Bapak Hamzah sehingga sudah sepantasnya dompet itu kembali ekapda pemiliknya.
“Apakah ini dompet yang and acari?” tanyaku.
Pak Hamzah pun terkejut setengah mati. Beliau seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi, beliau tidak percaya kalau dompetnya bisa kembali kepada beliau.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Nak. Betul, ini adalah dompet milik saya,” kata Pak Hamzah.
Aku pun menganggukkan kepalaku, “Terima kasih kembali, Pak. Tapi maaf karena dompetnya sudah dalam keadaan sedikit bau dan uang di dalamnya pun sudah berkurang. Jujur, sebagian uang tersebut tadi terpakai oleh saya,” kataku tak enak hati.
Aku tentu tidak bisa mengatakan bahwa orang yang memakainya adalah Annaliese karena aku yakin kalau Annaliese tentu akan marah kepada diriku kalau aku mengatakan hal demikian. Lagi pula kurang etis rasanya. Aku juga tidak mau melihat Annaliese merasa bersalah.
Pak Hamzah mengecek isi dompetnya dan mencium dompet tersebut, “Dompet ini tidak bau, dan uang di dalamnya pun tidak berkurang seikitpun,” kata Pak Hamzah.
“Oh ya? Boleh saya lihat?” tanyaku yang langsung terkejut dan merasa tidak eprcaya dengan apa yang dikatakan oleh Pak Hamzah.
Beliau pun memberikan aku dompet tersebut lalu aku pun mulai mengeceknya dan benar saja dompet tersebut sudah tidak bau, dan uang di dalamnya sudah ada 5 lembar padahal sebelumnya sisa 3 lembar.
Aku memberikan dompet tersebut kepada pemiliknya. Aku dan Annaleise hanya saling berpandangan karena bingung. Bagaimana mungkin? Kenapa kejadian ini terlihat tidak Masuk akal?
Aku pun tidak mengetri.
“Karena kamu adalah orang yang baik maka bawalah uni untuk kalian, Nak,” kata Pak Hamzah memberikan semua uang yang ada di dompet terrsebut, atau 5 lembar uang kepada kami berdua.
“Tidak, Pak. Kami membantu bapak dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun,” kataku kepada beliau.
“Tidak apa-apa, Nak. Kamu terimalah. Semoga bisa kalian gunakan untuk membeli keperluan kalian,” kata beliau.
“Baiklah akan saya terima namun saya hanya perlu mengambil satu. Karena aku yakin pasti perjalanan bapak dan ibu membuatuhkan uang yang sangat banyak,” kataku.
“Tidak, Badrun, kami Masih memiliki uang yang kami sembunyikan. Yang terpenting adalah surat ini. Jadi kami mohon terimalah uang ini,” kata Pak Hamzah.
Aku pun akhirnya menganggukkan kepalaku. Sepertinya benar apa yang dikatan oleh Annaliese
“Baik, terima kasih kalau begitu, Tuan. Sekali lagi saya minta maaf, dan saya juga meminta maaf karena harus berbohong untuk mendatangkan kalian,” kataku.
“Iya, tidak apa-apa. Bukankah kalau tidak seperti ini kami tidak akan bertemu?” tanya Pak Hamzah.
Aku pun menganggukkan kepalaku setuju dengan apa yang beliau katakan.
Kemduian, akmi pun langsung mengobrol sebentar hingga akhirnya Pak Hamzah pamit terlebih dahulu. Aku dan Annaliese pun menganggukkan kepala kami.
Setelah Pak Hamzah dan istrinya pergi, aku dan Annaliese pun berjalan menuju ke tempat penjaga tadi. Kemudian, kami melihat di luar dugaan, Pegtuas tersebut mengambil uang dan handak memasukkannya ke dalam kantong celananya.
“Ekhm!” kataku berdehem.
Petugas itu terkejut bukan main melihat aku dan Annaliese datang.
Aku tersenyum pada petugas tersebut. Aku yakin kalau Annaliese mengerti mengenai apa yang dilakukan oleh Petugas kapal tersebut. Bagaimana tidak dia juga melihat apa yang terjadi.
“Ada apa kalian datang kembali?” tanya petugas itu gugup. Dia langsung bangkit dan berjalan menuju kami setelah menutup kotak uang itu dengan cepat.
“Kami ingin berterima kasih, karena berkat anda kami bisa bertemu dengan Pak Hamzah.” Kaaku.
“Dengan senang hati, asalkan kau mau mengatakan kepada kawanmu itu untuk tetap naik kapal ini dan juga mengajak teman-temannya untuk naik kapal ini juga,” kata Penjaga tersebut.
Aku terdiam sebentar mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengatakan beberapa hal kepada dirinya yang intinya aku ingin dia mengembalikan uang yang dia ambil. Bukannya aku tengah berburuk sangka namun jika melihat tindakan dan gelagatnya, aku sangat bisa mencium aroma korupsi dari tubuhnya.
“Anda tahu?” tanyaku kepada penjaga tiket, petugas tiket, atau penerima uang tiket ini.
“Apa?” tanya petugas tersebut.
“Kamu pernah mendengar dongeng orang yang berbohong?” tanyaku.
Pejaga tersebut terlihat gugup setengah mati, “Tidak, lagi pula aku bukan anak kecil yang mendengar dongeng,” kata petugas itu.
“Anda harus tahu. Kalau anda tidak mau mendengar dongeng, setidaknya anda harus tahu apa isi dari dongeng itu,” kataku.
“Aku tidak perduli akan itu,” kata penjaga tersebut.
“Sepertinya anda tidak mengetahuinya. Biar saya jelaskan. Meski dongen ini hanya dongeng namun hal ini bisa terjadi di dunia nyata. Ada sebuah kusah tentang pinokio yang setiapp bebrohong dia harus merelakan hidungnya memanjang,” katakku.
“Itukan hanya sebuah dongeng, tidak Masuk akal,” kata penjaga tersebut.
Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum, “Bukan di situ poinnya. Kisah itu mengajarkan kalau ada hukum alam yang berlaku atas semua tindakan kita. Ketyika kita melakukan sebuah kejahatan maka aka nada balasan untuk pelakunya. Mungkin belum tentu datang langsung namun bisa datang perlahan-lahan. Bahkan bisa menjadikan terror dan menyakjiti pelaku,” kataku mencoba menaku-nakutinya.
Penjaga kapal itu langsung mengusap wajahnya seperti memikirkan sesuatu dan terlihat sangat resah.
Aku menepuk bahunya, “Saya bukan mau menakut-nakuti anda. Saya hanya ingin menjelaskan kepada anda, ketika anda melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani serta merasa takut dilihat oleh orang lain, maka apa yang anda lakukan itu salah,” kataku.
“Ayo, Annaliese, kita harus cepat pergi,” kataku mengajak Annaliese
Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya.
Kemudian kami pun pergi. Namun, kami tidak benar-benar pergi. Kami mengintip apa yang dilakukan oleh petugas itu. Begitu juga dengan Annaliese. kita bersembunyi untuk melihat reaksi penjaga tersebut atas apa yang aku katakan.
Rasanya sepertinya menyakitkan kalau penjaga itu tetap tidak mau mengembalika uang itu namun setidaknya aku sudah mengingatkannya dan menyadarkan apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan yang tidak boleh dilakukan. Untuk dia mau menerima Masukan itu atau tidak. Itu tergantung dengan dirinya.
Aku mendonga, di atasku sudah ada Annaliese yang menempel di pndakku dan kepaalnya berada di kepalaku.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku sebentar.
Aku tidak bisa protes kepadanya karena kami memang sedang ebrsembunyi. Kalau kami berisik saat bersembunyi, maka kami akan ketahuan dan kami akan malu sendiri.
Kamipun mengamati pergerakan dari Penajaga tersebut. Setelah selesai berpikir panjang akhirnya penajag tersebut pun memilih untuk mengeluarkan uang yang sempat dia ambildari kotak tersebut yang dia simpan di sakunya, lalu mengamatinya sebentar.
Aku dan Annaliese tidak tahan melihat kelanjutannya. Apalagi aku. Aku haurs menahan berat Annaliese di atasku. Jadi aku sangat berharap kalau ini semua bisa selesai.
Cepatlah! -seruku dalam hati.
Kemudian ntah telepati atau bagaimana, yang jelas kini aku melihat penjaga tersebut berjalan menuju kotak tersebut dan langsung membuka kotak uang dan langsung meletakkan uang yang ada ditangannya ke dalam kotak tersebut. Awalnya dia terlihat ragu namun lama-lama dia langsung meletakkannya di dalm kotak tersebut.
Aku pun langsung tersenyum aku mengacungkan tanganku mengajak Annaliese untuk tos.meski dalam keadaan
Annaliese yang Masih menumpukan tubuhnya dia atas punggungku.
“YES!” pekikku pelan.
Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata penjaga itu tahu cara menangkap maksud apa yang aku katakan. Aku benar-benar hebat bisa membuat orang menyesali perbuatan buruknya tanpa adanya pertengkaran.
Aku sangat bersyukur kali ini.
Annaliese semakin menekan punggungku agar dia bisa bertos denganku.
BUG!
Saat Annaliese memang tangaku, kami berdua terjatuh begitu saja.