Setelah memakan daun kelapa yang masih muda itu, selanjutnya Annaliese pun tertidur. Aku hanya bisa duduk di sampingnya. Aku merasa tidak tega dengan keadaannya. Dia tidur tanpa beralaskan kasur sama sekali. Akiu hanya bisa mengusap kepalanya. Andai saja aku bisa mengeluarkannya.
“Aku akan mencari cara agar kita bisa keluar dari sini, An,” kataku.
Aku sudah bertekad, aku tidak akan membiarkan Annaliese menderita lagi. aku akan membuatnya melewati ini semuanya dengan baik.
Tak lama kemudian, aku pun mulai mengantuk dan tertidur dalam keadaan duduk. Kantuk memang sesuatu yang tak bisa aku taklukkan. Ah, memangnya apa yang bisa kau taklukan? Sejauh ini tidak ada.
Aku pun mulai terbang ke alam mimpi. Lagi-lagi dalam mimpiku, aku kembali bertemu dengan Annaliese. Kali ini Annaliese berpakaian putih, dia terlihat sedih, matanya semmbab. Dia tak mau berjalan di sampingku, dia mencoba pergi dan aku mengejarnya, aku sangat takut kehilangan Annaliese.
“Ann, Annnalise!” seruku.
Aku membuka mata. Dan seketika aku terjaga dan menoleh ka kanaku dan di sana masih ada
Annaliese yang masih memjamkan mata. Aku pun memberanikan diri mengecek napas Annaliese dari hidungnya, ntah mengapa mimpiku sangat aneh dan menakutkan, aku sampai takut kalau terjadi sesuatu yang tidak-tidak dengan Annaliese.
“Syukurlah.” Gumamku meski suhu tubuh Annaliese masih tinggi.
Aku kini bisa bernapas lega karena Annaliese masih bernapas. Aku pun bangkit dan mencoba meminta obat untuk menurunkan demam kepada penjaga yang ada di sana, namun tak ada satupun penjaga di sana. Mereka berdua seakan direncanakan untuk dikurung berdua saja.
“Penjaga, penjaga!” seruku mencoba mencari penjaga.
“Ada apa, Badrun?” tanya Annaliese.
Aku langsungt menoleh dan mengaduh dalam hati, aku membangunkan Annaliese yang tengah beristirahat. “Aku ingin meminta obat untukmu, jadi aku ingin meminta tolong pada penagwal,” kataku.
Annaliese menggelengkan kepalanya, “Kamu tidak bisa melakukan itu, Badrun. Mereka itu tidak akan ada yang datang. Karena mereka tidak berjaga di sini. aku pernah meminta obat namun mereka tidak memberikannya,” kata Annaliese.
Aku pun menghela napas. Sulit sekali hidup dalam penjara seperti ini.
Aku pun mulai duduk menyender di sel.
Tak lama kemudian, aku mendengar ada langkah seseorang yang mendekat. Aku langsung bengkit dan menoleh ke arah Annaliese. Annaliese hanya diam saja. Aku mengedarkan pandangan bersiap-siap meminta pertolongan. Aku memegangi jeruji rotan itu dengan kencang. Tak sabar melihat siapa yang datang.
Seseorang berjubah hitam datang, langkahnya terlihat cepat.
“Siapa anda?” tanyaku sambil menebak-nebak siapa yang datang.
“Ini aku badrun,” kata seseorang itu. Dia membuka penutup kepalanya sebentar.
“P-putri Shinta?” tanyaku.
“Iya, benar, ini aku. Aku dengar kau telah datang. Ini kubawakan makanan. Maafkan aku, BAdrun. Aku tidak tahu mengapa suamiku menjadi seperti ini, aku kini percaya dengan semua yang kau katakan,” kata Putri Shinta.
Aku menganggukkan kepalanya.
Putri Shinta langsung memberikan bungkusan melalui celah reuji rotanj, aku menerimanya, “Terima kasih, Putri. TApi kenapa Putri sendiri yang mengantarnya?” tanyaku.
“Aku hanyalah orang asing di sini. semua orang adalah mata-mata suamiku jadi aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri,” kata Putri Shinta.
Aku menganggukkan kepalaku.
Aku menoleh ke samping, Annaliese sudah ada di sampingku. Putri Shinta memegang tangan Annaliese. “Katakan padaku apa yang kalian butuhkan aku akan memberikannya. Aku tidak memiliki waktu banyak, aku takut suamiku akan mencurigai aku,” kata Annaliese.
“Putri, bisakah anda membawakan obat untuk Annaliese, dia sakit demam, dan tubuhnya semuanya lemas,” kataku.
Putri Shinta menganggukkan kepalanya, “Baiklah,” jawabnya.
“Dan, bisakah anda mengeluarkan kami dari sini?” tanyaku.
“Tentu, aku akan mencari cara untuk mendapatkan kunci. Aku memang sudah lama berniat membebaskan Annaliese namun dia tidak mau bebas, istrimu ingin menunggumu,” kata Putri shinta.
Aku melirik Annaliese.
Aku menganggukkan kepalaku, “Terima kasih atas semua kebaikan anda, Putri,” kataku.
Putri Shinta pun menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu aku pergi dulu,” kata Putri Shinta.
“Terima kasih, Putri. Kami berutang banyak kepada anda,” kataku.
“Akulah yang memiliki hutang budi kepada kalian,” kata Putri Shinta, “Kau harus bertahan, setidaknya sekarang kau bersama dengan seumimu,” kata Putri Shinta kepada Annaliese.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya sambil menangis. Aku tidak mengerti mengenai apa yang dimaksud oleh Putri Shinta. Kemudian, Putri Shinta pun pergi begitu saja.
“Ada apa, Ann?” tanyaku.
Annaliese menggelengkan kepalanya.
Aku membawa Annaliese m,enjauhi jeruji rotan, aku mencoba menatap manik matanya untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang terjadi, “Ada apa? Aku mohon jangan seperti ini,” kataku.
Annaliese jadi menagis. Aku tidak tahu tangisan ap aitu. Dia menangisi apa? Aku benar-benar tidak tahu. Apakah dia menangisi karena rasa sakit yang dia derita begitu tidak tertahan?
“Usiaku hanya tinggal beberapa hari lagi, Badrun,” kata Annaliese
Jantungku langsung berdegup dengan sangat kencang. Apa maksud dari kalimata Annaliese? Memang Annaliese siapa? Kenapa dia bisa mengklaim hidupnya tinggal sebentar lagi? Hei, Annaliese bukan Tuhan!
“Kamu bukan Tuhan, An. Dari mana kamu tahu kalau kamu akan meninggal dalam beberapa hari lagi?” tanyaku. Aku menatap Annaliese.
Annaliese meraih tanganku dan memegangnya, dia menunduk mengamati tanganku yang dia genggam, “Pada saat aku datang ke sini, aku diberikan sebuah racun mematikan oleh Raja Rama. Aku hampir saja mati kalau Putri Shinta memberikan aku ramuan, namun racun itu memang sangat mematikan jadi ramuan yang diberikan oleh Putri Shinta tidak bisa benar-benar bisa menyembuhkan aku.”
Aku terdam mencoba mendengar semua yang diucapkan oleh Annaliese. Dia kembali meanngis namun kali ini aku membiarkannya karena aku merasa ini waktu yang tepat untuk dia menangis. Aku berharap seusai menangis, dia tak lagi menangis, dia akan menjadi Annaliese yang bisa bangkit kembali.
“Ramuan itu hanya bisa memperlama proses tidak bisa menyembuhkan. Untuk itu Putri Shinta tahu kalau hidupku tak akan lama lagi. Terlebih aku sudah mulai kehilangan tenagaku. Semakin hari, tubuhku kian lemas, untung ada Putri Shinta yang selalu menyemangatiku utuk terus bertahan setidaknya sampai kau datang,” kata Annaliese.
Aku menatap Annaliese seakan tidak percaya dengan apa yang Annaliese katakan. Namun, raut wajah Annaliese menunjukkan kalau Annaliese tidak sedang berbohong. Annaliese sedang mengatakan hal yang memang sebenarnya terjadi.
“Putri Shinta yang diam-diam mengirimiku makanan. dan dia juga menawairku untuk bebas, meloloskan diri. namun aku harus kemana mencarimu, Badrun? Aku tentu lebih bersedia berada di sini karena ku tahu kalau kamu pasti akan datang, setidaknya kalau kamu tidak datang, kamu tahu keberadaanku. Dibanding aku bebas, tapi kamu tidak bisa menemukan atau tahu keberadaanku,” kata Annalise sambil mengusap kepalanya.
Aku langsung memeluk Annaliese. Aku yakin kalau mataku sudah sangat merah. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku berada di posisi Annaliese. Ini benar-benar tidak adil. Aku tidak tahu seberapa menderitanya Annaliese namun aku tahu kalau pasti itu sangat menyakitkan baginya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan.
“Maafkan aku, Ann… ini semua karena aku. Kalau saja aku terus berada di sisimu, kamu tidak akan sampai di sini dan menegak racun itu,” kataku.
Annaliese tersenyum dan mengusap punggungku, “Tidak, Badrun. Ini bukan salah kamu. Kamu tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Memang ini suda ditakdirkan, sudah digariskan jadi kita tidak bisa mengelak akan takdir yang digariskan untuk kita,” kata Annaliese.
“Kamu bertahanlah, aku akan mengobatimu. Aku akan menemukan tabib yang bisa menyembuhkanmu,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan kepaalnya. Aku melepaskan pelukan. Air mataku kini jatuh. Annalies mengusapnya.
“Sekarang makanlah,” kataku mencoba mencairkan suasana meski kini giliran air mataku yang terus menderas..
Aku mengeluarkan makana yang dibawakan oleh Putri Shinta. Annaliese menganggukkan kepalanya, “Putri Shinta adalah ornag yang baik sama seperti Raja Rhawana.. Aku berharap kalau Putri Shinta menikah dengan Raja Rahwana suatu saat nanti,” kata Annaliese.
“Kita pasti bisa mewujudkan itu semua, Anln. Asalkan kita bersama-sama kita bisa menyatukan mereka dan memberikan pelajaran kepada Pangeran Rama atas apa yang Pangeran Rama lakukan,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya.
“Kamu juga makanlah, Badrun,” kata Annaliese.
Aku pun menganggukkan kepalanya. Kali ini kami mulai makan berdua, kali ini ada yang sedkit berbeda dari kita, selama makan kami hanya diam. Hanya air mata kami yang sesekali jatuh tanpa kami minta, meanndakan kalau sebetulnya kami tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
“Kamu harus banyak beristirahat, An,” kataku keapa Annaliese.
“Bukan hanya aku. Tapi kamu juga,” kata Annaliese.
“Jangan lupakan, kalau Badrun juga,” kataku mencoba mengajaknya tertawa lagi.
Annaliese pun terkekeh, “Apa Badrun yang kamu maksud adalah kuda?” tanya Annaliese.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalanya, “Iya, dia juga harus beristirahat. Aku bisa bertaruh kalau Badrun sedang menunggu kita sambil tidur di luar sana,” kataku.
“Annaliese pun terkekeh begitu saja, “Aku ingin naik kuda,” kata Annaliese.
“Sebentar lagi keinginanmu itu akan tercapai,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum, “Terima kasih ya, Badrun. Kamu sudah mau membantu aku. Kamu juga sudah mau mempertaruhkan nyawa hanya untuk aku,” kata Annaliese.
Aku menganggukkan kepalaku, “Kamu tidak perlu berterima kasih,” kataku.
Malam pun tiba, jantungku mulai berdegup dengan sangat kencang. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus tertuju pada Annaliese. Aku mengetahui kalau sekarang adalah malam hari karena cahaya yang kami dapatkan memang hanya dari lubang-lubang kecil dari sela-sela atap ruangan ini. Atapnya terlalu tinggi sehingga aku tidak bisa memanjatnya, kalaupun memanjatnya aku tidak bisa menghancurkannya karena pondasi bangunan ini sangat kuat dan tanpa alat apapun aku tidak bisa meruntuhkannya.
Ternyata inilah arti dari mimpi-mimpi burukku dengan Annaliese. Racun adalah seseuatu yang sangat mematikan. Aku jadi membayangkan bagaimana sakitnya Annaliese ketika dirinya harus menelan racun ini dan menghadapi rasa sakitnya sendirian sejak kemarin.
Aku mencoba mengamati tubuh Annaliese. Melihat napasnya. Sejak aku tahu kalau usia Annaliese tidak akan lama lagi, aku meras atakut untuk tidur. Aku takut kalau tiba-tiba kondisi Annaliese memburuk. Aku mengusap kepala Annaliese. dia terlihat tenang saat tidur.
Andai, Shelly
***
Keesokkan harinya, Putri Shinta pun datang. Seperti biasanya, Putri Shinta datang dengan tergesa-gesa. Kali ini Putri Shinta datang dengan membawa kunci sel rotan ini. Kemudian, Putri Shinta langsung membukakan pintu untuk kami.
“Ayo, lekas, Badrun, Annalise!” kata Putri Shinta yang sangat takut kalau kami ketahuan oleh Raja Rama. Kalau sampai kami ketahauan, kami tentulah akan dibunuh hidup-hidup.
“Badrun, kau pergilah snediri, sepertinya aku tidak sanggup untuk berjalan.,” kata Annaliese.
“Tidak., kamu harus ikut aku,” kataku.
Aku langsung berlari menuju Annaliese yang kini masih tertidur di tempatnya.
Aku memilih untuk menggendong depan Annaliese dia terlihat sudah sangat lemah. Bibirnya semakin pucat dan itu sangat membuat aku khawatir. Tidak boleh ada hal buruk yang terjadi padanya.
“Bertahankah, An…” kataku.
Annaliese hanya bisa tersenyum saja. TAk mau mengucapkan apa-apa.
Lalu, Putri Shinta pun langsung mengarahkanku, ke sebuah jalan. “Maaf, Badrun, Annaliese. Aku tidak bisa mengantarkan sampai jauh. Aku hanya bisa mengantarkan kalian sampai sini. Tapi kalian tenang saja. Aku akan mengambil perhatian Raja,” kata Putri Shinta.
Aku menganggukkan kepalaku, “Terima kasih, Putri,” kataku.
“Terima kasih, Putri,” kata Annaliese.
“Apapun yang terjadi kau harus bertahan,” kata Putri Shinta kepada Annaliese.
Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya.
Kemudian, aku dan Annaliese pun berpisah dengan Putri Shinta. Putri Shinta bukannya bertanggung jawab namun dia memang takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi sebutan Putri Shinta sekarang adalah Ratu meski dia tidak mau dipanggil dengan panggilan demikian. Putri Shinta masih mau dipanggil Putri.
“Bertahanlah,” kataku kepada Annaliese sedikit lagi.
Aku pun terus mempercepat langkahku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Uhuk!” Annaliese terbatuk.
Kali ini dari mulutnya, Annaliese mengeluarkan darah. Aku langsung menepikan langkahku. Aku langsung mendudukkan Annaliese dan mengecek kondisi Annaliese di balik tembok.
“K-kamu tidak apa-apa, An?” tanyaku cemas.
Annaliese tak menjawab hanya membuka telapak tangannya yang berisi darah. Aku langsung mengusap darah itu dengan menggunakan pakaianku. Aku pun mengusap bibir Annaliese dengan baju yang aku pakai.
“Tinggalkanlah aku, Badrun. Sepetrinya aku tidak akan kuat untuk pergi,” kata Annaliese dengan wajah yang sedih.
“Kamu jangan berpikir seperti itu,” kataku.
Air mataku terjatuh. “Kita harus melanjutkan perjalanan. Aku akan mencarikan obat dan tabib untuk menyembuhkanmu,” kataku.
Annaliese menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mau menyusahkanmu, kalaupun aku mati, aku memang sejatinya sudah mati, Badrun. Jadi, lebih baik kamu saja, perjuangkan hidupmu. Aku tidak rela kamu di sini mengalami hal-hal buruk demi menyelamatkan aku,” kata Annaliese sambil menangis.
Aku mengusap air mata Annaliese, “Kamu bertahanlah,” kataku yang tak mau menggubris kata-katanya.
Aku langsung mengangkat tubuh Annaliese lagi dan menggendong di bagian depan. Kemudian, Annaliese hanya bisa pasrah. Aku tidak akan pernah membiarkan Annaliese merasa sedih dan merasa kalau dia adalah beban.
Aku harus cepat. Aku mempercepat langkahku. Yang ada di dalam pikiranku hanyalah satu, aku harus segera membawa Annaliese keluar dari istana terkutuk ini.
“BERHENTI!” seru seseorang yang ada di belakangku.
Meski begitu, aku tetap tidak mau menghentikan langkahku. Aku terus berlari dan hal itu membaut mereka mengejarku dari belakang. Aku tak perduli lagi dengan semuanya yang penting aku dan Annaliese bisa keluar.
Namun, semesta sepertinya belum mengizinkan aku keluar dari istana ini karena di depanku, aku melihat banyak prajurit yang datang dan menghadang kami.