Putri Shinta memandangiku dengan tatapan meminta penjelasan. Kalau sudah begini lebih baik aku menjelasakan mengenai apa yang terjadi kepada Putri Shinta.
“Jelaskan padaku, Badrun! Katakan yang sebanrnya!” seru Putri Shinyta.
Aku menghela nafas dan menganggukkan kepalanya. Dengan sangat jujur, aku pun mulai menjelaskan mengenai apa yang terjadi, “Ya, tuan Putri. Apa yang Putri dengar memang benar. Aku baru saja datang dari Istana dan mendengar semuanya. Ternyata orang yang mengirimkan pasukan itu bukanlah Raja Rahwana melainkan Ratu Kaikeyi.” Terangku.
Putri Shinta menutup mulutnya karena terkejut, “Kamu pasti berbohong kan?” tanya Putri Shinta.
Aku langsung menggelengkan kepalaku, lagi pula aku juga tidak sedang berbohong kepada Putri Shinta, “Saya tidak berbohong, Tuan Putri. Apa yang saya katakan meamng benar adanya.”
Putri Shinta pun langsung menitikkan air matanya, terlihat sekali kalau dirinya sangat merasa sedih dan ketakutan, “Suamiku, …” katanya yang tak bisa melanjutkan kata=kataknya.
Aku menoleh ke arah Annaliese. Annaliese pun menggelangkan kepalanya.
“Suamiku kini tengah menyerang Kerajaan Alengka. Suamiku tengah diliputi kemarahan,” kata Putri Shinta.
Aku menghela nafas, aku pun tidak tahu mengenai apa yang harus aku lakukan kalau situasinya ssudah seperti ini.
“Putri, izinkan saya menghampiri Pangeran Rama dan menjelaskan mengenai apa yang terjadi. Saya akan berusaha untuk melerai,” kataku.
Putri Shinta terdiam sebentar namun seketika beliau menatapku. Aku merasa bingung dnegan apa yang terjadi.
“Aku mengizinkanmu untuk dtaang ke sana, namun tidak untuk melerai perkelahian,” kata Putri Shinta.
“Kenapa begitu, Putri? Bukankah Pangeran Rama salah menyerang?” tanyaku.
Putri Shinta langsung menggelengkan kepalanya dnegan cepat, “Suamiku memang salah menyeerang, namun suamiku bisa mengalahkan Rahwana dan menjadri Raja Alengka. Lagi pula kalau suamiku mengalahkan Rahwana, maka tidak ada lagi yang akan menghantuiku dan terus mengtatakan omong kosong tentang sayembara,” kata Putri Shinta.
“Tapi, Putri. Bagaimana kalau apa yang dikatakan oleh Pangeran maksudku Raja Rahwana memang benar adanya? Bagaimana kalau Raja Rahwana memang adalah orang yang memenangkan sayembara?” tanyaku.
Sebetulnya kalau memang Raja Rahwanalah yang memeangkan sayembara, tentulah Putri Shinta harusnya menikah dnegan Raja Rahwana bukan Pangeran Rama.
“Tidak, itu tidak akan terjadi. Sekalipun raksaksa itu yang memenangkan pertarungan namun suamikulah yang akan tetap mendapatkan aku,” kata Putri Shinta.
“Apa karena Raja Rahwana adalah seorang raksaksa Putri?” tanya Annaliese.
Annaliese ebnar-benar polos ketika menanyakannya. Pertanyaanya terlalu jujur. Tapi aku juga merasa penaasaran mengeni hal itu jadi aku memutuskan untuk tidak memotong apa yang dia tanyakan.
Putri Shinta menoleh ka rah Annaliese, “Bagaimana perasaanmu kalau kau adalah sebuat putrid air sebuah kerajaan, kau cantik, memiliki paras yang sangat dikagumi oleh semua orang namun harus menikah dengan laki-laki buruk rupa?” tanya Putri Shinta.
Aku menoleh ke arah Annaliese. Annaliese tengah menatap Putri Shinta, “Kalau akulah orangnya, au tentu tidak mempermasalahkannya selama kami mencintai. Bagiku cinta bukan hanya sekadar fisik namun juga rasa yang tak tergantikan oleh laki-laki tampan sekalipun,” kata Annaliese.
Aku menghela nafas, ntah megapa dalam dadaku seperti ada beban beart yang terangkat begfitu saja padahal kalimata Annaliese tentulah bukan sedang merujuk kepada aku melainkan Annaliese tengah memikikran mengenai dirinya sendiri.
Apakah aku terlalu percaya diri?
“Kamu tentulah tidak akan mengatakan hal yang sma ajika orangnya adalah raksaksa itu,” kata Putri Shinta.
Annaliese handak menjawab namun aku menahan Annaliese. Kini aku bisa mengerti mengenai Putri shinta yang sejatinaya tidak mau menikah dengan Raja Rahwana yang tidak lain adalah seorang raksaksa buruk rupa.
“Kalau begitu aku paimit dulu, Puttri,” kataku.
“Silakan,” kata Putri Shinta.
Aku pun langsung menoleh ek arah Annaliese. Aku meamng tidak ebrjanji untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Putri Shinta, aku hanya pamit. Lagi pula aku manusia bebas dan akiu bisa bertindak sesuai kemuanku sendiri. Kecuali aku dalam keadaan harus menyelamatkan orang.
“Aku ikut,” kata Annaliese.
Aku langsung menggelengkan kepalaku. “Tidak, kamu tidak bis aikut, An,” kata Annaliese..
“TApi, Badrun. Itu adalah medan paling berbahaya, aku tidak mau kalau kamu sampai mati terbunih,” kata Annalies.e
“Ann, itulah mengapa aku tidak bisa mengajakmu pergi, di sana memang medan paling menyeramkan. Aku tidak tahu berapa pasukan yang Pangeran Rama bawa dan berapa pasukan yang ada di Istana Kerajaan Alengka. Jadi, kamu lebih baik di sini. kamu akan lebih aman jika terus berada di sini,” kataku mencoba meyakinkan Annalise.
Annaliese pun langsung menujukkan wajah merajuk kepadaku namun aku tent uterus menggelengkan kepalku. Aku tidak mau kalau sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Aku tidak akan pernah rela. Kalaupun aku mati dalam pertemuran itu, aku akan tetap bangga karena aku terus berjuang sebagai laki-laki sejati. Aku justru takut kalau Annalise meninggal di pertempuran itu.
Annaliese sudah merasakan sebuah kematian, jadi aku tidak mau kalau dia smapai merasakqan lagi bagaimana rasa sakitnya mati.
“Kamu tenaang saja. Kalau dalam tujuh hari aku tidak pulang maka kamu boleh menyusulku,” kataku.
Aku tentu tidak tahu ebrapa lama pertempuran itu akan berlangsung namun aku memilih asal jumlah hari saja agar Annaliese merasa tenang. Aku baerharap kalau dia bisa mempercayaiku. Lagi pula sepetrinya perjalanan menuju keradaan Alengka memang sangat jauh dan tidak akan sampai kalau ditempuh jalan kaki selama sehari. Aku yakin kalau aku harus berjalan selama hbarhari-hari untuk itu.
“Aku moon kamu menurut lagi kali ini. Aku aman menyelesaikan smeuanya. Kamu tak perlu khawtair aku akan menjaga diriku baik-baik,” kataku ekapda Annaliese. “Jaga putri selama aku pergi.” Kiata Anna;liese.
Annaliese pun langsung memelukku seaan kami akan berpisah sangat lama. Aku tidak menyukai apa yang terjaid sata ini karena aku merasaa kalau aku akan kembali dengan cepat. aku tidak akan mati di medan pertempuran.
“Ssudah, jangan menangis lagi,” kata ku.
Annaliese pun melepaskan pelukannya dan menganggukkan kepalanya.
Kemudian, aku berpamitan dan langsung pergi lagi. Benar-benar aku yang malang. Aku baru saja sampai rumah namun akua harus melanjutkan perjalanan. Aku meraa kalau aku harus cepat pergi meniji ke Kerajaan Alengka untuk menyelesaikan pertarungan.
Aku akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada Pangeran Rama agar tidak ada aksi salah serang. Aku akan membela kebenaran dan terus bersikap netral. Aku tidak memihak siap0a-siapa dalam hal ini. Aku akan menggunakan kerasionalan otakku sendiir.
Aku akan menujukkan kepada dunia kalau kebenanran adalah sesuatu yang pantas di perjuangkan.
“Aku harus cepat. Aku ahrus tahu mengenai di mana letak kerajaan Alengka. Jadi bagaimana cara aku bisa mengetahui letak kerajaan itu? Dari mana aku bisa tahu?” tanyaku kepada diriku sendiri.