Aku dan Annaliese menunggu di bawah pohon, aku melihat Annaliese yang mulai terkantuk-kantuk karena terlalu lama menunggu Raja Rahwana. Raja Rahwana memang berkata akan pergi sebentar namun ntah mengapa beliau lama sekali kembali hingga membuat kami mengantuk.
HAP!
Kepala Annaliese tiba-tiba menyender di bahuku. Aku ingin sekali memindahkan kepalanya namun aku merasa tidak tega ketika melihat wajah Annaliese yang terlihat lelah. Jadi, dengan tepaksa aku pun membiarkan dia menyenderkan kepadalanya ke bahuku. Aku pikir-pikir, aku sangat baik kepadanya ntah kenapa.
Karena terlalu lama, akhirnya aku pun terserang kantuk. Aku langsung memejamkan mataku dan pergi ke alam mimpi. Dalam mimpiku, aku pergi bersama dnegan Annaliese ke sebuah tempat yang sangat indah dan kita bermain kejar-kejaran seperti anak kecil.
“Bangun, Badrun!” suara seseorang merusak mimpiku.
Aku pun membuka mataku dan mencoba memantapkan indra penglihatkan. Aku mencoba membuat kesadaranku pulih.
“Astaga!” seruku terkejut setengah mati karena melihat wajah Raja Rahwana yang sangat bisa dikatakan buruk rupa.
Aku sampai langsung berdiri dan membuat Annaliese terjatug.
BUG!
“Aduh!” ringis Annaliese yang kepalanya sudah terkena akar pohon yang menyembul. Dia meringis kesakitan.
“Eh, An, maaf-maaf,” kataku yang langsung berjongkok untuk memerika keadaan Annaliese.
“Aduh, Badrun! Sakit tahu!” ringis Annaliese yang mulai memegangi dahinya.
“Biar aku lihat,” kataku.
Aku mencoba membuka telapak tangan Annaliese yang sudah ada di dahinya. Seketika aku harus menahan tawaku karena menemukan hal yang sangat luar biasa lucu.
“Ppppttt… hahahaha.” Aku tak kuasa menahan tawa.
“Ada apa? Kenapa kamu tertawa?” tanya Annaliese yang merasa kesal setengah mati kepadaku.
“Dahimu benjol, An. Bulat seperti donat,” kataku.
“Astaga! Jadi dahiku bolong?” tanya Annaliese yang mulai panik.
Aku terkekeh lagi. “Bukan itu maksudku. Tidak, dahimu tidak bolong, kamu hanya benjol. Segini,” kataku sambil mengepalkan tanganku mencontohkan padanya.
Tiba-tiba, di luar dugaan, Annaliese pun langsung menangis mendengar apa yang aku katakan. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam kepalanya yang membuat dia menangis.
“Eh, kamu kenapa, kenapa menangis?” kataku yang mulai panik.
Aku sebagai laki-laki tentulah tidak bisa membiarkan seorang perempuan menangis di dekatku.
“Kamu jahat sekali, Badrun,” kata Annaliese.
Kali ini aku tahu kalau aku sudah menyinggung perasaan Annaliese. Jadi, hal yang bisa aku lakukan untuk mengatasi ini adalah dengan meminta maaf. Aku pernah mendengar kalau perempuan selalu benar jadi aku harus mengalah.
“Maaf, Ann. Aku tidak bermaksud jahat. Maaf yaaa …” kataku.
Annaliese masih menangis. Aku pun memeluk Annalise. Aku berharap kalau apa yang aku lakukan ini tidak membuatnya berpikir yang macam-macam.
Aku juga mengira kalau Annaliese akan memberontak namun dia justru menangis lagi di dalam pelukanku. Aku hanya bisa mengusap punggung Annaliese mencoba menenangkan dia yang terus menangis seperti bayi.
“Maaf ya, maaf,” kataku lagi.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya.
“Ekhm!” deheman Raja Rahwana membuat kami melepaskan pelukan kami.
“Maaf, Raja,” kataku dan Annaliese bersamaan.
“Kalian sepertinya harus menikah. Besok aku akan menyiapkan sebuah pesta untuk penyatuan kalian,” kata Raja Rahwana.
Aku dan Annaliese pun langsung terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Raja Rahwana. Kami tentulah belum mau menikah. Kita masih ingin melajang.
“Tidak, Raja. Kami hanya teman,” kataku.
“Selama aku mengenal kalian spertinya tidak demikian. Kalian tenang saja, aku akan menyiapkan semuanya dan meminta penghuni istana mengadakan pesta,” kata Raja Rahwana.
Gawat ini benar-benar gawat. Bagaimana cara mengungkapkannya? Ini benar-benar gawat!
***
Keesokkan harinya, Raja Rahwana kembali mengirimkan makanan untuk Putri Shinta, kali ini aku dan Annaliese merasa kalau semua ini akan berjalan dengan baik. Dan untungnya hal itu memang terjadi.
Raja Rahwana kembali ke istana dengan wajah yang sangat bahagia. Aku bisa menebak kalau makanannya diterima oleh Putri Shinta.
“Bagaimana, Raja?” tanyaku terlebih dahulu.
Raja Rahwana pun tertawa terbahak-bahak. Wajahnya berseri-seri. Aku melirik Annaliese aku tahu ini kabar bagus namun telingaku sakit mendengarkan suara tawa yang sangat memekakan telinga ini.
“Akhirnya Putri Shinta menerima makanan yang aku berikan. Kalian benar-benar luar biasa,” kata Raja Rahwana.
Mendengar hal itu tentu membuatku merasa sangat senang. Karena ini semacam anugerah. Akhirnya kami bisa melihat Raja Rahwana berbahagia meski telinga kami sakit saat mendengar raja tertawa.
“Selamat, Raja. Ini semua memang murni karena usaha Raja sendiri, kami hanya membantu sedikit,” kataku.
Raja Rahwana pun menepuk-nepuk bahuku ntah maksudnya apa namun yang jelas sepertinya beliau sedang mencoba berterima kasih kepadaku.
“Besok siapakan menu yang lebih banyak lagi, aku akan mengantarkannya lagi kepada Putri Shinta,” kata Raja.
Aku pun menganggukkan kepalaku, “Baik, Raja. Aku dan Annaliese akan menyiapkan segala sesuatunya,” kataku.
Raja Rahwana yang hendak pergi langsung kembali menatapku seakan masih ada yang perl beliau katakan kepadaku yang ntah apa.
“Ada yang hampir saja terlupa,” kata Raja Rahwana.
“Ada apa, Raja?” tanyaku.
“Aku harus mempersiapkan pesta pernikahan kalian,” kata Raja Rahwana yang langsung tertawa dan masuk ke dalam ruanganna.
“Raja, kami tidak pacarana, Raja! Raja!” seruku frustasi.
Aku melihat ditempatnya Annaliese hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Aku jadi bingung saat ini. Aku tidak mau menikah diusia muda. Meski kami hanya berada di negeri yang ntah berantah ini namun aku ingin menikah di dunia nyata, lagi pula kau takut kalau pernikahan kami memang sah. Bagaimanapun pernikahan tetaplah pernikahan.
“Kau mau menikah denganku?” tanyaku kepada Annaliese.
Annaliese terkejut setengah mati mendengar pertanyaanku. Tiba-tiba aku meringis mengingat apa yang aku katakan. Bagaimana mungkin pertanyaanku begitu ambigu? Astaga itu bukan lamaran, aku hanya ingin bertanya apakah dia ingin kami menikah atau tidak.
“A-apa?” tanya Annaliese.
“Lupakanlah, Ann. Sepertinya aku mulai gila,” kataku yang lebih memilih meninggalkan ananliese begitu saja.
Katakanlah aku jahat namun setidaknya aku memang sepertinya sedang membutuhkan waktu untuk menjernihkan pikiranku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau aku akan mengalami hal seperti ini.
Bagaimana kalau pernikahan kami tetap berlangsung? Apa yang harus aku katakan kepada orang tuaku di dunia nyata? Apakah aku harus mengatakan, “Ma, Pa, aku sudah menikah!” astaga sepertinya aku butuh tidur.
***
Aku mencoba mencubit lenganku sendiri. Ini semua benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kami benar-benar dinikahkan seusai adat mereka? Aku dan Annaliese tidak bisa menol;ak karena ini adalah suatu titah raja yang tidak bisa aku bantah. Sebab kalau aku dan Annaliese membantah perintah raja. Maka Raja akan tersinggung dan ntah nasib buruk apa yang sudah ada di depan mata kami.
Aku dan Annaliese hanya bisa pasrah, untungnya tidak ada ritual yang mengharuskan aku dan Annaliese melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Kalau sampai itu terjadi, ntah apa yang bisa kulakukan.
“Sekarang sebagai tanda peresmian, silakan kau mencium istrimu!” seru Raja Rahwana.
Seluruh rakyat yang menyaksikan kami langsung bersorak.
Jantungku berdegup dengan sangat kencang melihat semua orang yang dengan semangat meminta kmi melaksanakan perintah raja.
Aku melirik Annaliese, sebutir air matanya jatuh. Aku sangat tahu kalau Annaliese memang seorang perempuan. Dinikahkan secara paksa apalagi dengan seorang laki-laki tidak tampan sepertiku adalah sesuatu yang sangatr membuatnya terpuruk. Aku bisa mengetahui hal itu.
Namun, mau bagaimana lagi.
“Maafkan aku, Ann,” kataku. “Aku tidak akan melakukannya,” kataku.
“Jangan Badrun. Kita bisa dipenggal hidup-hidup karena membangkang perintah raja,” kata Annaliese.
Aku benar-benar merasa sangat bingung. Situasi ini begitu sulit untuk kami. Aku pun merasa tidak enak pada Annaliese. aku takut dia berpikir kalau aku menciri-curi kesempatan dalam kesempitan. Sungguh, aku bukan laki-laki yang seperti itu.
“Lakukanlah,” kata Annaliese. Kali ini dia terlihat begitu mantap.
“Tapi, An.,” kataku.
“Lakukan atau kita mati di sini,” kata Annaliese.
Akhirnya aku tidak bisa menolak apa yang dikatakan oleh Annaliese. Aku menganggap kalau kata-kata Annaliese bukanlah sesuatu yang sifatnmya memberitahu melainkan permintaan.
“Aku mulai berjalan menedekati Annaliese. JAntungku berdegup dengan sangat kencang. Aku tidak tahu kenapa kita harus berakhir seperyi ini. Bukan akhir memang, namun, aRtagh!
Aku pun mulai mendekati wajah Annaliese. Wajah kita tinggal beberapa cm lagi, “Maaf.” Bisikku di telinganya.
Dan,
Di sinilah kami, melakiukan aktivitas yang mereka pinta, .
Aku sangat yakin kalau kegiatan kami akan membuat Aku dan Annaliese menajdi canggung. Namun, biarlah untuk saat ini sepertinya aku harus mengakui jalau aku melakukannya dalam keadaan jantung berdebar dan kup[-kupu mulai beterbangan begitu saja di dalam perutku.
Seusai pesta pernikahan aku dan Annaliese, kami pun kembali ke dalam sebuah kamar yang sudah didesain seperti kamar pengantin baru. Aku hanya bisaterbatuk ketika melihat taburan bunga mawar yang kelopaknya sudah tercecer di atas tempat tidur yang ada di dalam kamar tersebut.
Annaliese pun duduk di tempat tidur itu dan mulai menangis.; Kali ini tangisannya begitu pilu menyayat hati. Kali ini aku tidak berani menenangkannya. Untuk Annaliese yang merupakan seorang perempuan, ini tentulah sesuatu yang sangat buruk. Dia tentulah tidak pernah menyangka kalau ini semua akan terjadi.
Aku sangat paham mengenai situasi yang dialami oleh Annaliese karena juju raku pun bingung dan merasa menjadi laki-laki paling jahat untuknya.
Aku menikahi seorang gadis yang tiodak tahu mencintaiku atau tidak.
“Aku prnah berjanji kepada ibuku. Kalau aku akan menikah dengan orang yang aku cintai,” kata Annaliese di sela-sela tangisannya.
Aku pun hanya bisa menghela nafas mendengar apa yang dikatakan oleh Annaliese tersebut. Aku sangat mengerti mengenai perasaannya.
Aku tidak berani duduk di sampingnya, aku hanya berani bersandar pada tembok yang tak jauh dari pintu.
“Maafkan aku, An. Aku tidak memiliki pilihan lain. Aku pun tidak bisa memberikan respons yang baik kepada Raja Rahwana,” kataku.
“Ini semua bukan salah kamu, Badrun,” kata Annaliese.
Aku terdiam, menunggu Annaliese berkata lagi, aku tahu bagi seorang perempuan yang menangis, dia hanya perlu sebuah telinga saja. Dia ytidak perlu sebuah saran atau apapun. Dia hanya butuh telinga saja.
“Aku benar-benar tidak mengerti,” kata Annaliese. Annaliese pun menangis lagi. belakangan ini perasaannya jauh lebih peka dan sangat sensitive. Aku tidak bisa membiarkan Annaliese terus menangis.
Kalau aku hanya membiarkan Annaliese menangis, itu artinya aku tidak memiliki hyati, sehingga aku pun memberanikan diri untuk duduk di atas tempat duduk dan memeluk Annaliese.
Annaliese tidak memberontak pelukanku.
“Maafkan aku, An. Ini semua karena aku. Kalau saja aku bukan seorang penasehat kerajaan dan bisa membantah perintah dari Raja Rahwana, kita tidak akan seperti ini,” kataku.
Annaliese menggelengkan kepalanya karena merasa kalau ini semua bukan salah aku. Semua ini memang sudah jalannya.
Annlaiese masih menangis. Aku pun mencoba mengusap-usap punggung Annaliese untuk menennagkanb Annaliese.
“Aku mohon, jangan menangis lagi. karena aku bingung mengenai apa yang harus aku lakukan. Aku sangat tahu kalau kamu sangat sedih dengan pernikahan ini. Jujur akupun merasakann hal yang sama. Tapi, An, kita tidak boleh terus menerus bersedih. Ini bukan zaman kita, kita bisa kembali pribadi kita yang dahulu setelah melewatio zaman ini,” kataku yang mencoba menghibur Annaliese.
Settelah mendengar apa yang aku katakan, akhirnya Annaliese pun langsung terdiam namun isakan-isakannya masih terdengar. Aku tidak bisa melepaskan pelukan ini. Jadi aku hanya bisa mengusap-usap punggung Annaliese saja.
“Tidak apa-apa, An. Semuanya akan baik-baik saja. Tenang, aku tidak akan meminta jatahku sebagai suami. Aku tidak akan pernah melakukannya karena kita tidak menikah di zaman kita,” kataku.
Annaliese masih terdiam. Ak uterus menepuk-nepuk dengan lembut punggung Annaliese.
Tak alam kemudian, aku pun merasakan kalau Annaliese tertidur. Aku merasakannya dari nafasnya yang mulai teratur m,eski sesekali masih diselingi dengan isakan.
“An? Kamu tidur?” tanyaku yang mencoba mematikan Annaliese.
Tidak ada respons dari Annaliese.
Aku pun langsung mencoba melihat bagaimana ekspresi Annaliese, namun ternyata Annaliese sedang memejamkan mata tanpa ekspresi.
Aku pun menghela napas, akhirnya aku memilih membaringkan Annal;iese di tempat tidur itu. Dia tidak bisa membangunkan Annaliese karena aku tahu kalau Annaliese sangat lelah mengikuti ritual pernikahan itu.
Aku mencopot sepatu yang dikenakan oleh Annaliese. kemudian membetulkan posisi tidur Annaliese, “Kamupasti sangat lelah. Maafkan aku ya, Ann. Ini semua karena aku. “ kataku.
Aku pun mendekatkan wajahku ke keningnya namun seketika aku menghantikan kegiatanku dan memilih untuk mengusap kepala Annaliese begitu saja. Aku tidak bisa memanfaatkan kesempatan atau mengedepankan rasa yang aku miliki. Karena ini semua tidak benar.
Aku menarik tubuhku dari Annaliese dan langsung menghela nafas kasar. Ini seperti bukan aku.
“Aku bisa-bisa jadi gila kalau bnegini terus.” Hgumamku. Tentu saja, bagaimana tidak gila kalau kita yang belum genap berusia 20 tahun bahkan masih 18 tahun sudah dipaksa menikah dengan seorang gadis? Ini tentulah berita yang sangat membuat syok yang mendengar apalagi yang menjalaninya.
“Maafkan aku, An. Maafkan aku.” Aku tidak tahu untuk ke berapa kali maaf ini aku sampaikan namun yang jelas sepertinya aku memang ingin mengatakan kalau aku memang sangat meminta maaf kepada Annaliese mengani semua yang terjadi. Aku seharusnya bisa membawa Annaliese keluar dari masalah bukan justru menambah masalah lagi bagi Annaliese.
Setelah memastikan Annaliese tertidur, aku pun memutuskan untuk tidur di bawah, aku tidak mungkin tidur satu tempat tidur dengan Annaliese meski kami sudah menikah.
Bug!
Aku yang tengah memejamkan mata tiba-tiba merasakan ada sebuah tubuh yang jatuh tepat di atas tubuhku. Aku benar-benar merasa terkejut hingga aku langsung membuka mataku untuk melihat apa yang terjadi.
Kamudian, ternyata di hadapanku aku melihat ada Annaliese.
Iya, Annaliese jjatuh dari tempat tidur dan menimpaku yang kebetulan ada di bawah. Aku memang tidak tidur satu kasur dengan Annaliese. meskip[un kami sudah resmi menikah namun ini semua hanyalah sebuah topeng atau sebuah hal yang akan kita lupakan setelah keluar dari dalam zaman ini.
“Aduh,” ringis Annalise.
Aku [pun langsung menyingkirkan tubuhb Annaliese dengan hyati-hati. Posisi kami sangat tidak baik, terutama untukku. Aku merasa sangat tidak nyaman, apalagi pada bagian yang tak bisa aku sebutkan. Bagi seorang laki-laki pagi adalah waktu yang sangat lumrah untuk merasakan perasaan aneh, dan pagi ini aku pun merasakannya.
“Maaf, Badrun,” kata Annaliese.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Sakit yah?” tanya Annaliese yang terlihat begitu mencemasakanku.
“Tidaik apa-apa,” kataku.
Aku langsung bangkit, “Aku harus ke kamar mandi. Kemudian, aku berlari begitu saja menuju ke kamar mandi. Aku tidak peduli dengan apa yang dia ingin lakukan dan katakan.