PPW 39 – Perjalanan Kedua

2110 Kata
Aku mulai membuka mataku, tubuhku begitu pegal. Aku seperti baru saja jatuh dari suatu tempat yang sangat jauh. Ntahlah mungkin aku terlau berlebihan medeskripsikannya namun setidaknya itulah yang aku rasakan. Aku pun mengedakan pandanganku ke segala arah. Ternyata aku berada di bawah pohon. Aku tidak tahu di mana aku berada. “Di mana aku?” tanyaku. Aku pun memutuskan untuk bangun dari bawah pohon dan langsung mengedarkan pandanganku ke segala arah. Aku mulai mengamati semuanya, lalu aku melihat ada seorabu ibu yang tengah mengantarkan anaknya untuk bersekolah. Aku mengedarkan pandanganku lagi, dan benar saja kini aku berada di pinggir jalan, bukan benar-benar jalanan seperti yang ada di zamanku. Aku melihat di hdapanku ada jalan setpak yang masih berlumpur, tidak ada aspal. Pakaian yang dikenakan ibu-ibu tersebut Sumatra Barat. Aku pun langamati rumah-rumah yang ada di sekelilingku, rumah-rumah itu juga terlihat masih menggunakan rumah adat Sumatra Bata, yakni Rumah Gadang. Kemudian, aku pun memilih untuk berjalan. Aku tidak lagi memperhatikan ibu-ibu dan anak tersebut. Kemudian, aku memilih duduk di dekat sekalolah, mencoba merenungi nasibku. Aku sudah tidak terlalu kaget berada di dimensi lain namun aku merasa sedih karena aku sendirianb, aku tidak memiliki teman. Andai Annaliese masih ada, maka aku tidak akan pernah seperti ini. Aku tidak akan kesepian. Aku menatap langit-langit. Setelah pergi bersama dengan kakek-0kakek itu, aku tidak ingat lapa-apa lagi. Tiba-tiba aku merasakan ada seseorang duduk di sampingku, aku menoleh berharap itu Annaliese namun ternyata hal itu tidak terjadi. Orang itu bukankah Annaliese melainkan ibu-ibu yang sebelumnya pernah aku lihat. “Manunggu sia, Diak?” tanya ibu-ibu tersebut. Aku terdiam sebentar. Aku tidak menegrti apa yang dikatakan oleh ibu-ibu yang kini ada di sampingku ini, “Maaf, Bu. Saya tidak pandai berbicara bahasa minang,” kataku jujur. Ibu-ibu itu terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “Mande tanya, kamu sedang menunggu siapa?” tanya beliau. “Aku sedang menunggu teman, Bu. Tapi dia sepertinya tidak akan pernah kembali,” kataku lemas. “Oh, menunggu teman,” kata ibu-ibu tersebut. “Mande Rubiyah,” kata ibu-ibu yang ternyata beranama Ibu Rubiah tersebut. Sepetrinya aku tahu kalau ‘mande’ artinya adalah ibu dalam bahasa minang/ semoga saja seperti itu. Kalau tidak salah. “Saya, Badrun, Madnr,” kata ku menjabat tangan beliau. “Saya baru saja mengantar anak saya sekolah. Dia sekolah di sini,” kata Mande Rubiah. Aku pun langsung menoleh ke belakang dan menganggukkan kepalaku. Aku merasa bingung harus merespons seperti apa. Karena aku memang sedang tidak mood untuk menjalani hidup sendiria. Benar hakata orang, hidup sendirian itu tidak enak. Meski di dunia ini aku tidak benar-benar sendiri, namun tetap saja mereka tidak benar-benar mengenal aku. Istilahnya mereka hanya datang untuk pergi tidak benar-benar menemani kita. Argh, meninggal kata pergi aku jadi merasa kesal, aku jadi teringat Annaliese lagi. ntah sedang apa dia sekarang di atas sana. “Mande baru saja mengantarkan anak Mande ks sekolah,” kata Mande Rubiah. Aku menganggukkan kepalanya, “Anaknya laki-laki ya, Mande?” tanyaku yang iseng saja teringat kalau aku tsebelumnya juga bertemu dengan Mande Rubiah ketika di jalan. Mande Rubiha menganggukkan kepalanya, “Iya, nak Made laki-laki. Namanya Malin,” kata Mande Rubiah. Aku pun menganggukkan kepalaku, aku merasa kalau semua laki-laki yang berada di Sumatra Barat bernama Malin. Aku jadi teringat Malin Kundang. “Iya, Mande berharap nanti suatu saat nanti anak Mande bisa jadi anak yang sukses dan buat Mande bangga,” kata Made. “Amin, Mande,” kataku. “Maklumlah, Mande Cuma punya Malin. Suami Mande tidak punya, dan anak hanya malin saja. dia anak yang menyayangi mande, jadi Mande ingin dia trus menjadi anak yang berbakti terhadap orang tua dan bisa membuyat mande dan warga kampung bangga,” kata Mande. Mendengar apa yang dikatakan oleh Mande, membuat aku langsung teringat kepada ibuny. Akus duah sangat lama tidak bertemu dengan ibuku. Ntah sedang apa ibuku sekarang namun yang jelas aku yakin beliau tengah kebingfungan mencariku. Aku jadi merasa bersalah ketika menaikkan nada ketika berbicara pada ibuku. “Kamu sepertinya anak yang baik, Diak. Ibumu pasti akan bangga,” kata Mande. “Amin, Mande,” kataku. Lagi pula apa lagi yang bisa aku jawab. Aku tidak mungkin mengatakan kalau ibuku tidak akan bangga kepadaku yang sikapnya saja kurang ajar. Namun, itu rasanya bukan jawaban yang bijak mengangat aku baru saja bertemu dengan Maande. Belum dekat atau sudah kenal lama. “Mande duluan ya, Nak?” kata Mande Rubiah. “Iya, Mande, silakan,” katakku. Mande Rubiah pun pegi seketika. Kemudian, aku pun berjalan begitu saja. aku berjalan ke manapun tak tentu arah. Seperti di dimensi sebelumnya, waktu terlihat begitu diputar dengan cepat. Aku abahkan melihat bagaimana Mande Rubiah bersama anaknya. Di mana anaknya tumbuh menjadi anak yang baik dan menayayngi ibunya. Mande Rubiah bukanlah orang kaya. Beliau bisa dikatakan miskin dan penuh dengan kekuranga. Namun hidupnya dipenuhi kebahagiaan karena beliau memiliki anak yang sangat beliau sayangi. “Aku benar-benr bosan. Aku benar-benar sendirian. Andai ada kamu di sini, Ann,” kataku. Aku pun menghela nafpas begitu saja. aku tidak mengira kalau begini ujungnya, kalau memang seperti ini sebenarnya untuk apa aku bertahan? Aku berhenti di sebuah pohon dan memilih duduk dibawahnya kemudian, karena rasa lelah, aku pun memilih untuk duduk di sana dengan perut keroncongan. Mataku mulai terpejam. Aku kelaparan namun aku tidak memiliki uang. Pohon mangga ini pun tidak juga berbuah.Jadi, aku hanya ingin beristirahat saja hitung-hitung mencoba menghilangkan rasa lapar. *** Aku pun terbangun merasakan goncangan yang sangat dahsyat, aku bahkan merasakan perutku mual. Lalu, aku pun langsung membuka mataku dan seketika mataku membelalak melihat keadaan di depanku yang mirip seperti kapal. Aku langsung bangkita dan mengedarkan pandanganku ke segala arah. Dan benar saja setelah aku berdiri, aku memang tengah beradad I sebuah kapal. Aku berdiri dan menghampiri pagar kapal. Dan aku melihat banyak orang yang mulai melambaikan tangan ke kapal kami. “Astaga, aku berada di mana lagi saat ini?” tanyaku kesal. Aku merasa kebingungan. Aku pun langsung berjalan cepat mengelilingi kapal. Aku tidak tahu di mana aku berada, dan zaman apa yang aku masuki saat ini, Aku ingin mencari petunjuk. Andai saja aku bersama dengan Annaliese. Jujur aku memang merindukan Annaliese hari ini. Hanya dia yang membuatku seperti ini. Mungkin karena selama ini dia yang ada di dekatku jadi aku merasa sangat kehilangan dirinya. Aku berharap kalau Annaliese ada di sini. Aku terus berjalan. BUG! Tak sengaja aku menabrak seseorang yang sepetrinya tengah berjalan dengan cepat juga. Seketika mataku membelalak. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku terkejut, benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin? “A-annaliese?” tanyaku dengan mata berbinar. Annaliese terdiam dan seketika da menatapku dengan tatapan bingung, “Siapa kamu?” tanyanya. Aku tidak percaya dengan Ananleise. Namun, mengingat dirinya telah meninggal dan kemungkinan dibangkitkan lagi di zaman ini membuat dia hilang ingatan. Setidaknya ini teoriku. Untuk kebenarannya aku tidak bisa memastikannya. “Ann, ini aku Badrun. Kalau kamu tidak ingat tidak apa-apa. Di kehidupan sebelumnya kta telah menikah dan aku adalah suamimu,” kataku. Aku merutuki diriku sendiri karena mengucapkankalimat itu. Ntah dapat ide dari mana aku mengatakannya. Kemudian, aku pun langsung membantu Annaliese untuk berdiri. Aku mengamati pakaian yang dikenakannya. Kali ini, dia menggunakan pakaian yang sangat sopan. Dai memakai baju kurung dan sebuah penutup kepala. Mirip pashmina polos. Bajunya berwana biru dan penutup kepala yang dia sampirkan asal-asalan itu juga berwarna biru. Meski pdalam pakaian tertutup, Annaliese sangat cantik. Aku tidak bohong namun ini memang yang terjadi. Mungkin ini karena Annaleise memang pada dasarnya sudah cantik sehingga mau bagaimanapun, dia tetap cantik. “BEnarkah kau adalah suamiku?” tanya Annaliese. Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap, “Iya, kamu adalah istriku,” kataku. “Aku tidak percaya pernah menikah denganmu,” kata Ananlies.e Aku pun langsunggarukkan kepalaku. Ini memang terdengar sangat konyol. Namun, sungguh aku tidak berbohong ketika mengatakan kalau aku adalah suaminya. Lagi pula aku sudah menikahinya kemarin. Bukankah itu sudah cukup menjelaskan segalanya? Ah, tapi dia kan tidak ingat. “Ini memang terdengar sangat konyol. Dan aku pun tahu seharusnya laki-laki yang pernah menikah denganmu bukan seperti aku. JTapi, Baikal;ah lupakan soal pernikahan itu. Dan cukup kenal aku sebagai temanmu saja. namaku Badrun,” kataku pada akhirnya. Aku tidak peduli dengan status kami. Yang aku pedulikan adalah dia bisa menjadi teman seperjalananku lagi. Bagaimana aku menjelaskannya? Aku ingin dia terus berada di sampingku. Annaliese pun seketika tertawa. Aku yang mendengar dia tertawa pun langsung terdiam. Bagaimana mungkin dia tertawa? Sepertinya percakapan kami tidak mengandung unsur tawa. Kenapa dia justru tertawa seperti itu? Jangan jangan. Aku langsung memebelalakkan matku. “Hahahahaha, kamu lucu sekali, Badrun,” kata Annaliese. Aku benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran Annaliese, “Maksudmu?” tanya tanyaku kepada Annaliese. Annaliese menyodorkan tangannya, “Hai, BAdrun. Aku Annaliese. temanmu, istrimu, dan hantu perpusataanmu,” katanya. Aku pun langsung berkaca-kaca. Ntahlah meski aku meras amalu setengah mati namun aku sangat merindukannya. Aku langsung memeluk Annaliese begitu saja. aku sangat merindukannya. Annaliese balas memelukku. Sepetrinya dia juga rindukanku. “Aku mencarimu ke mana-mana, Badrun. Jahat sekali membiarkan aku di sini begitu lama,” katanya. Aku langsung melepaskan pelukanku. “Aku tidak tahu. Aku pun sendirian berada di sini. sepertinya kakak itu memang sengaja ingin memisahkan kita. Untunglah kita sudah kembali bersama lagi, Ann…” kataku. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya. “Apa ini semua hanya mimpi, An?” tanyaku. Aku sedikit tidak percaya dengan pertemuan kami. Bukankah pada dimensi sebelumnya, Annaliese sudah meninggal? Mengapa dirinya bisa hidup kembali? “Maksudmu?” tanya Annaliese yang merasa bingung dengan pertanyaanku. “Ini semua harus dibuktikan,” kataku. “Dibuktikan? Bagaimana caranya?” tanya Annaliese. Aku menyeringai, katakanlah otakku jahat namun aku sangat ingin melakukannya. Aku pun angsung mencium pipi kiri, kanan dan dahinya. Jantungku berdebar begitu saja, aku melihat wajah Annaliese sudah memerah dan telingaku pun sudah berwarna merah. “Badrun!” geram Annaliese yang terlihat sekali terkejut dengan apa yang aku lakukan. Dia langsung memukul-mukulku. Aku hanya bisa terkekeh saja melihat bagaimana dia memukulku. “Aduh, sakit, An. Nah, kalau aku sudah merasakan sakit seperti ini berarti kita meang nyata. Aku benar-benar bisa bertemu denganmu lagi,” kataku. “Tapi kan kamu bisa mengatakannya saja padaku tanpa perlu, … , astaga. Kamu sangat menyebalkan,” kata Annaliese yang langsung berbalik dan pergi meninggalkan aku. Aku langsung mengejar Annaliese begitu saja. aku tidak mau kehilangan dia lagi. “Ann, bagaimana kamu bisa hidup kembali?” tanyaku. “Ck, aku tidak mau menjawab pertanyaanmu, aku sedang mengambek,” kata Annaliese yang terus berjalan. Aku pun terkekeh di belakang Ananlise masih mengikutinya dari belakang, “Ayolah, An … aku hanya penasaran. Jelaskan padaku mengenai apa yang terjadi, oke?” tanyaku. Annaliese menggelengkan kepalanya begitu saja. “Aku tidak mau,” jawab Annaliese. “Baiklah, baiklah, aku akan meminta maaf,” kataku yang langsung menahan tangannya agar Annaliese tidak pergi ke manapun lagi. Annaliese mengerucutkan bibirnya. Aku membawnaya duduk di tempat duduk yang sudah disediakan. Ada banyak hal yang ingin aku ketahui darinya. “Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin kamu kembali? Aku sangat takut kehilanganmu. Kenapa bsia dengan begitu mudahnya?” tanyaku. “Kau kitra meninggal itu hal yang mudah, Badrun?” tanya Annalise. “Eh, maskduku bukan begitu,” kataku sambil mengagruk kepalaku. Aku sepertinya salah bicara pada Annalise. Aku berdehem. “Maksudku seperti ini, mmm bagaimana aku menjelaskannya ya?” katkaku. Annalies memutar bola mata, aku hanya bisa terkekeh begitu saja. “Asal kamu tahu yam Badrun. Meninggal itu sangat tersiksa. Apakah ketika rohmu tengah dicabut dari ragamu. Rasa sakitnya itu sangat tidak bisa dideskripsiakan. Terlalu menyakitkan,” kata Annaliese mencoba menjelaskan. Aku tahu kali ini dia mengatakan hal yang sebnarnya. Apa lagi dirinya sudah dua kali mengalami hal serupa. Itu tentu menjadi trauma berat untuknya “Maafkan aku,” kataku tulus. Annaliese pun menganggukkan kepalaku. “Aku pun sempat takut tak bisa mendampingimu. Aku benar-benar takut namun untunglah. Ntah bagaimana caranya aku sudah berada di sini bersamamu,” kata Annaliese. Aku tersenyum kepada Annaliese, “Sepertinya kau sangat merindukanku, An…” godaku. Aku memang sengaja menggoda Annaliese agar dia terlihat tersipu malu namun yang terjadi tidak demikian. “Bukankah yang menangisiku itu kamu?” tanya Annaliese. JLEB! Annaliese sungguh benar-benar keterlaluan karena dia sampai mengungkit apa yang pernah aku lakukan. Jangan-jangan dia masih ingat semuanya. Kalau itu memang benar maka aku tidak bisa membiarkan percakapan ini berlanjut. Aku akan malu nanti. “S-siapa yang menangisimu?” tanyaku. Aku langsung mengalihkana pembicaraan. Annaliese terkekeh. Dia terlihat begitu senang menggodaku. Nasib, nasib, aku yang semula berniat untuk menggodanya justru menjadi bahan godaan Annaliese. Ini sepertinya tidak adil untukku. “Aku masih dalam keadaan sadar, Badrun, aku juga masih bernyawa ketika kamu mengatakan kalau kamu,” Aku buru-buru memotong ucapannya. Aku langsung membekap mulutnya dengan tanganku. Menyebalkan sekali. Dia pun melepaskan tanganku dan terkekeh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN