Melihat bagaimana Annaliese yang sudah berada di sisiku lagi membuat aku kini menjadi tenang. Jujur, selama aku tidak bersama dengan Annaliese, rasanya hidupku banr-benar hampa, aku bahkan sampai bingung harus melakukan apa karena aku terbiasa melakukan semuanya bersama dengan Annaliese sehingga ketika Annaliese tidak ada di sampingku aku jadi ebrasa kesepian dan juag merasa tak memiliki gairah untuk melanjutkan hidup.
Katakanlah aku lebay namun itulah yang terjadi.
“Jadi, kita sudah berada di zaman apa, Badrun? Aku tidak pernah melihat ada orang yang memakai baju seperti ini di duniamu,” kata Annaliese.
Aku terkekeh, “Pakaian seperti apa yang kamu maksud, pakaian tertutup seperti ini? Sebetulnya di zamanku juga banyak yang menggeunakan pakiana seperti yang kamu kenakan sekarang hanya saja kamu tidak mengetahuinya, kalau kamu mengetahuinya tentulah kamu tidak akan berkata demikian,” kataku.
“Ah, berarti mungkin karena aku hanya berada di perpustakaan saja ya, jadi aku tidak pernah melihatnya?” tanya Annaliese.
“Bahkan di perpustakaan juga ada yang mengenakannya,” kataku asal.
“Siapa?” tanya Annaliese
“Guru-guru. Ketika ada acara, mereka menggunakan baju kurung tertutup. Kalau mereka tidak sedang mengguknakan serangam, terkadang mereka juga memakai baju kurung,” kataku.
“Oh ya? kenapa aku tidak tahu ya?” tanya Annaliese.
Aku hanya bisa menaikkan bahu.
“Tapi, Badrun, adal hal yang sangat menarik di sini,” kata Annaliese
“Apa?” tanyaku.
“di sana, aku menemukan Rumah Gadang. Aku pernah membacanya di buku yang berisi nama-nama rumah adat dan pakaian adat,” kata Annaliese.
Aku menganggukkan kepalaku, “Kamu benar. Kita memang berada di Sumatra Barat. Aku sebetulnya curiga kalau kita ada di Zaman Malin Kundang,” kataku.
Annaliese terdiam. Dia seperti mencoba mengingat-ingat cerita tersebut. Wajahnya sangat lucu ketika dia terlihat seirus berpikir seperti itu.
Karena tidak tega, sehingga aku pun langsung memilih utuk mengatakan kepada Annaliese, “Itu loh! Yang anak durhaka kepada ibunya dan dikutuk jadi batu,” kataku.
“Oh, iya, aku ingat sekarang,” kata Annaliese.
Aku pun menganggukkan kepalaku,. “Syukurlah kalau kamu memang mengingatnya,” kataku.
“Bagini …” kata Annaliese.
Annaliese hendak mengatakan sesuatu namun tiba-tiba kami mendengar suara kuda. Aku bisa mendengar dengan jelas bagaimana suara kuda tersebut. Mendengar suara kuda, aku jadi teringat pada Badrun, ntah di mana dia sekarang, dan sedang apa dia.
“Hoi! Siapa pemilik kuda ini?” seru seru seorang penumpang yang terlihat kesal.
Aku dan Annaliese pun langsung refleks menoleh. Seketika mataku terbelalak melihat kuda yang kini di pegangi oleh seorang bapak-bapak itu. Aku sangat mengenal kuda tersebut. Kuda itu adalah Badrun.
“Badrun!” seruku.
Aku langsung ebrlari ke arha Badrun. Aku sangat mengenali kuda itu. Kuda berwarna coklat pekat dengan jambul berwarna putih. Aku langsung berlari dan memeluknya. Mengabaikan bapak-bapak yang tengah marah-marah di samping Badrun.
“Oh, rupanya kamu pemilik dari kuda ini?” tanyanya.
Aku pun langsung tersadar mengenai apa yang terjadi, aku pun langsung menoleh ke sumber suara, “Iya, saya adalah pemilik kuda ini. Ada apa?” tanyaku.
“Kudamu ini telah memakan makananku. Ini adalah makanan terakhir yang aku miliki. Sedangkan aku harus pergi merantau dan membutuhkan persediaan makanan yang cukup,” kata laki-laki tersebut.
Aku menghela napas, aku tidak memiliki uang, lalu aku pun menoleh ke arah Annaliese, “An, apakah kamu memiliki uang?” tanyaku.
“Tentu saja. Ini,” kata Annaliese.
Annaliese memberikan beberapa uang kepadaku dan aku langsung memberikannya kepada pemuda itu. “Maafkan kudaku. Dia mungkin lapar sehingga memakan bekal milikmu. Semoga anda bisa memakluminya,” kataku mencoba meminta maaf.
“Baiklah, Bang. Maafkan aku juga, sepertinya akulah yang terlalu terbawa meosi dan bingung tadi,” kata laki-laki yang spertinya baik itu.
Aku pun langsung menganggukkan kepalanya.
“Ini terlalu banyak, Bang. Aku butuh satu saja,” katanya.
Pemuda itu memberikan selembar uang yang aku berikan kepadaku.
“Tidak perlu, kau bisa ambil,” kata Annaleise. Padahal aku baur saja hendak mengambil uang tersebut.
“TErima kasih, Nona. Anda baik sekali,” kata pemuda itu dengan perasaan senang.
Annaliese pun menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih juga, Bang,” kata pemuda itu kepadaku dengan wajah berseri-seri.
Aku pun hanya bisa menganggukkan kepalaku saja.
Kemudian, pemuda itu pun pergi meninggalkan kami. Aku langsung mengusap kudaku ini. Aku benar-benar merindukannya. Meski kami belum lama bertemu namun aku sangat merasa dekat dengan kuda ini sebab dia selalu menemaniku dan membantuku sebelumnya.
“Aapa kabar, Badrun?” tanyaku kepada kuda ini.
Kuda itu hanya menguik sebetar sekana menjawab kalau dirinya baik-baik saja. aku pun tertawa, benar-benar kuda yang sangat manis dan pintar.
Di belakangkau Annaliese juga ikut tertawa. Kemudian, aku pun langsung menoleh ke arah Annaliese, “Kenapa kamu tertawa?” tanyaku kepadanya.
“Bagaimana aku tidak tertawa? Kau sungguh sangat lucu! Maksudku kalian,” katanya.
Aku terdiam mencoba mencerna kalimat Annaliese.
“Sama-sama bernama Badrun. Hai, Badrun! Kenalkan namaku Annaliese. kamu tidak perlu menguik seperti sebelumnya,” kata Annaliese yang langsung mengusap kepala kuda milikku.
Badrun terlihat senang kepada Annaliese hal ini bisa aku rasakan karena aku bisa melihat bagaimana responjs yang berbeda dari Badrun kepada Annaliese yang tidak seperti respons pemuda tadi.
Badrun terlihat seperti tidak suka pada pemuda tadi.
Bebicar amengenai pemuda tadi, sebenarnya akum eras asedikit tidak asing dengan wajahnya. Aku seperti pernah bertemu dengannya ntah di mana. Aku sudah mencoba memutar otak namun aku belum menemukannya. Sepertinya aku butuh makan sehingga tidak bisa mengingatnya.
“Betulkan, apa yang aku katakan?” tanya Annalies kepadaku.
Aku pun langsung menoleh kepada Annaliese. aku tidak tahu maksud ucapannya. Annaliese selalu saja mengatakan satu dua hal potong-potong tidak utuh.
“Memang kamu pernah menghatakan apa?” tanyaku kepadanya.
“Badrun kuda ini lebih tampan darimu.” Ata Annaliese sambil terkekeh.
“Enak saja. tetap saja lebih tampan aku,” kataku tak mau dikatakan lebih jelek ketimbang kuda meski pada kenyataannya sepertinya apa yang dikatakan oleh Annaliese memang benar adanya. Namun, aku tetap saja tidak terima akan hal tersebut.
“Kata siapa? Kata ibumu? Kamu sendiri pernah mengatakan kepadaku bukan, kalau pujian ibumu itu tidak bisa dihitung sebagai pujian karena seorang ibu pasti akan mengatakan kalau anaknya tampan, tidak mungkin menjelek-jelekkan anaknya sendiri.,” kata Annaliese.
Mendengar Annaliese menyebut-nyebut nama ibu. Aku jadi teringat kepada ibuku. Ntah mengapa aku jadi teringat bagaimana perlakuan ibuku saat berada di dunia nyataku. Aku merasa menyesal telah bertindak buruk pkepada ibu. Aku menyesal telah marah-marah kepada ibu.
“Loh, wajahmu kenapa murung, Badrun? Maaf ya, aku hanya bercanda aku tidak berniat untuk membuatmu tersinggung,” kata Annaliese.
“Iya, tidak apa-apa. Aku hanya teringat pada ibuku. Itu saja,” kataku.
“Maafkan aku ya, Badrun,” kata Annaliese kepadaku. Raut wajahnya msekana menunjukkan kalau dia merasa tidak enak hati kepadaku.
“Iya, tidak apa-apa,” kataku.
“Memang ada apa dengan ibumu?” tanya Annaliese.
“Tidak ada apa-apa. AKu hanya merindukannya saja. merindukannya secara tidba-tiba,” kataku.
“Mungkin kamu durhaka seperti malin kundang sehingga ibumu merasa kesal kepadamu dan kamu tidak dikutuk jadi batu melainkan jadi pergi ke tempat yang sangat jauh,” kata Annaliese.
“Ann, aku sedang tidak ingin bercanda,” kataku kepaanya.
“Maaf, Badrun. Aku hanya ingin menghiburmu saja,” kata Annaliese kepadaku.
Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku begitu saja.
“Ngomong-ngomong, dari mana kamu punya uang?” tanyaku yang merasa sanat penasaran dengan Annaliese.
Annaleise menghela napas dia pun memilih untuk duduk. Mungkin dia lelah untuk berdiri. Karena sedari tadi kami memang berbicara sambil berdiri dan menatap lautan. Aku memilih untuk duduk di sampingnya karena l;ama-lama kakiku terasa pegal juga.
“Bagaimana?” tanya Annaliese.
“Dari mana kamu mendapatkan uang? Aku memang tidak tahu berapa mata uang yang besar di zaman ini namun jika melihat dari reaksi pemuda tadi, sepertinya uang yang kau berikan kepadanya sangat besar. Jadi, akupun ingin bertanya mengenai dari mana kamu mendapatkan uang itu.” Tanyaku.
“Oh, itu, iya. Uang yang aku berikan kepadanya itu kalau dalam zamanmu sekitar dua juta rupiah,” kata Annaliese
“Astaga, An, kenapa kamu memberikan uang sebesar itu kepada pemuda tadi?” tanyaku.
“Tenang saja, Badrun. Aku Masih memiliki uang lagi,” kata Annaliese.
Annaliese langsung mengeluarkan tiga lembar uang yang sama persis seperti yang aku ebrikan kepada pemuda tadi. Berarti kira-kira kitra berdua Masih memilikui uang tiga juta. Tidak terllau egois bukan kalau aku menge-klaim uang milik Annaleise menjadi uang milik kita berdua?
“Jadi kita anggap aja uang tadi itu uang terima kasih kita karena dioa mempertumuka kita dengan Badrun Tampan,” kata Annaliese sambil terkekeh.
“Ck, harusnya Badrun Tampan itu ini,” kataku sambil menujuk diriku sendiri, “Bukan itu,” kataku yang langsung menujuk kuda milikku.
Annaliese terkekeh, “Aku maunya dia saja. Badrun Tampan lebih cocok untuknya,” kata Annaliese.
“Terserah kau sajalah,” kataku.
Annaliese pun terkekeh. Namun ada satu hal yang ssepertinya janggal. Apakah dia sedang mengalihakn pembicaraan?
“Apa kamu sedang mengalihkan pembicaraanmu, Ann?” tanyaku.
Annaliese hanya bisa menggelengkan kepalanya gugup, “T-tidak,” katanya.
“Ayo, katakan kepadaku dari mana kamu dapatkan uang itu?” Desakku pada Annaliese.
“Aku tak sengaja menemukan dompet orang Badrun, lalu aku mengambilnya dan ternyata ada isinya,” kata Annaliese dengan ragu dan malu.
Aku pun langsung menggelengkan kepalaku, “Astaga Annaliese. Kemarikan dompetnya.” Katu kepadanya.
“Sudah aku buang,” kata Annaliese.
“Astaga, kamu buang di mana?” tanyaku.
Annaliese menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tidak akmu buang ke laut kan?” tanyaku. Aku takut kalau dibuang ke laut. Kalau dibuang ke laut itu artinya kita tidak bisa menemukannya, aku tentu tidak mungkin meloncat ke laut dan mencari dompet itu bukan?
Aku menatap Annaliese.
Annaliese langung menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Tidak, Badrun. Tidak. Aku membuagnya ke tongsampah kantin,” kata Annaliese.
“Ayo, kit acari dompet orang itu,” kata Annaliese.
“Tapi, Badrun, sepertinya pemilikinya kaya sehingga dia tidak mencari dompetnya,” kata Annaliese.
“Kamu tahu dari mana kalau pemiliknya tidak mencari keberadaan dompet tersebut?” tanyaku.,
Annaliese terdiam. Dia tidak bisa menjawab apa yang aku tanyakan.
“Ann, meski dia orang kaya, dia pasti tidak memiliki uang saat ini. Aku yakin dia sedang mecnarinya hanya saja kamu tidak tahu kalau pemilik dompet itu sedang mencari.
Annalies etediam dan menganggukkan kepalanya, “Baiklah, BArun, aku mengaku salah,” kata Annaliese.
Aku pun menganggukkan kepalaku.
“Ya sudah, sekarang kit acari dompet itu dulu, lalu kit acari pemiliknya. Kasihan bukan kalau dia tidak memiliki uang?” tanyaku.
“Tapi, Badrun, lalu kalau kita kelaparan bagaimana? Kita tidak memiliki uang,” kata Annaliese.
“Aku akan bekerja. Kamu tenang saja. sebagai pengangkut barang atau apapun aku bisa melakukannya,” kataku.
Annaliese pun menganggukkan ekpalanya.
“Badrun, kamu di sisi dulu yah, jaga dirimu baik-baik,” kataku kepada Badrun.
“Ck,” Annaliese hanya bisa berdecak saja. Aku tidak memperdulikan penilaian Annaliese.
Kemudian, Annaliese pun langsung mengarahkanku untuk menuju ke tempat yang dia maksud. Bau busuk mulai tercium. Aku hampir saja muntah.
“Di sana,” kata Annaliese.
Aku mengaduh dalam hati. Aku tidak menyangka kalau tempat sampahnya bisa sebau ini. Namun, aku sudah mengatakan kepada Annaliese kalau aku akan mencari dompet tersebut sehingga aku harus mencarinya meski aku harus mencium aroma yang sangat bau.
“Baiklah. Ayo, kita cari!” kata Annaliese.
Aku dan Annaliese pun mulai mencari keberadaan dompet tersebut. Awalnya, perutku dan Annaliese terasa mual karena tidak tahan dengan bau namun lama-lama kami mulai terbiasa dengan baunya.
Aku terus berdoa agar bisa menemukannya dengan cepat namun aku tetap tidak menemukannya.
“Ketemu!” seru Annaliese pada akhirnya.
Aku pun langsung terbatuk dan langsung menganggukkan kepalaku begitu saja, “Ayo, kita keluar,” kataku.,
Aku dan Annaleise pun keluar dari tong sampah yang ada di ruangan dekat kantin dan langsung mual, memuntahkan semua isi perut kami ke laut.
“Astaga bau sekali,” kata Annaliese.
Aku langsung menoleh ke arah Annaliese. “Memang tadi waktu kamu membuangnya kamu tidak mencium bau?” tanyaku penasaran.
Annaliese menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak menicum bau apapun. Ah, mungkin bau ini berasal dari tubuhmu Badrun,” kata Annaliese.
“Astaga, Annaliese, kamu benar-benar jahat sekali,” kataku.
Annaliese pun terkekeh begitu saja.
“Tapi sebenarnya, aku sudah mencium aroma yang tidak sedap ini sejak tadi. Jadi, sepertinya bukan bau tubuhku atau tong sampah itu yang menyengakt, tapi kamu. Kamu yang bau,” kataku yang kembali menggoda Annaliese.
“Badrun! Kamu benar-benar menyebalkan!” seru Annaliese yang langsung memukul-mukulku.
“Ann, tanganmu bekas dompet. Pasti bau,” kataku.
Annaliese pun semakin memukulku, “Biarkan saja biar kamu jadi bau,” kata Annaliese.
Aku langsung mengangkap Annaliese ebelum tubuhku benar-benar menjadi bau, “Lebih baik kamu ikut aku. Cuci tangan kita,” kataku yang ;langsung menarik Annaliese untuk mencari kamar mandi yang bisa kami gunakan untuk membasuh tangan kami dengan air bersih dan menggunakan sabun agar wangi.
Kemudian, aku dan Annaliese pun langsung membasuh tangan kita. Aku mencuci dompet tersebut, Namun, sebelum aku mencucinya, aku sudah mengeluarkan sebuah kertas yang ada di dalamnya. Aku takut kertas itu basah. Di dompet ini tidak ada Kartu ATM. Hanya ada sebuah kartu identitas pemiliknya yang juga aku singkirkan sebelum mencuci dompet tersebut.
“Jaga kertas itu, An, jangan sampai terbang,” kataku.
“Oke, Badrun,” kata Annaliese.