PPW 23 – Tentang Perjanjian

2098 Kata
Aku buru-buru mengikuti Pangeran Rahwana, ntah apa yang kini akan dilakukan oleh Pangeran Rama namun yang jelas selama perjalanan pulang ke rumah, Pangeran hanya diam saja tidak mengatakan satu katapun kepadaku. Aku yang enggan untuk memulai percakapan hanya bisa membisu. Kami pun terus menerus berjalan menuju ke rumah. Setelah beberapa hari di perjalanan akhirnya Pangeran Rama, aku dan beberapa pengawal setip Pangeran Rama datang ke rumah Pangeran Rama. Warga desa yang ikut bertempur sudah diarahkan untuk pulang ke rumah masing-masing. “Suamiku!” seru Putri Shinta yang langsung berlari melihat Pangeran Rama yang datang. Aku hanya bisa terdiam di samping Pangeran Rama yang kali ini tengah melemparkan senyuman kepada istrinya. “Istriku!” kata Pangeran Rama. Aku hanya bisa menyaksikan namun seketika aku memikirkan kata-kata Pangeran Rama. Sebuah janji tentulah janji. Dan kalau memang benar Pangeran Rama akan menyerhkan istrinya kepada raksaksa itu, itu artinya semua yang terjadi di hadapanku hanya perlu hitungan hari bisa hancur begitu saja. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Pangeran Rama kepada istrinya. “Badrun!” seru Annaliese. Dia memang bukan istriku namun dia terlihat begitu menungguku. Dia pun langsung memelukku erat sekali. Aku tidak pernah bisa menghitung mengenai pelukan ke berapa yang kini dilontarkan oleh Annaliese kepadaku. Aku tahu kalau dia memang angat mencemaskanku namun sejujurnya kalau dipikir-pikir lagi sepertinya ini semua ada yang janggal. Aku seperti merasa sedikit merasa nyaman dan sangat menyukai pelukan Annaliese. Aku tak bisa lagi mendengar percakapan dari Pangeran Rama dan Putri Shinta karena aku mulai sibuk dengan pelukan Annaliese. “Badrun kau tidak apa-apa?” tanya Annaliese. “Kalau kau memelukku terlalu erat aku tidak bisa menjamin kalau aku baik-baik saja,” kataku. Annaliese langsung melepaska pelukanku dna menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal, “Maafkan aku, Badrun,” kata Annaliese. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Aku tentu tidak bisa mengatakan kepada dirinya kalau aku tidak memaafkanku. “Apa kau bergitu mengkhawatirkan aku?” tanyaku. Annaliese langsung menatapku, “Tentu saja!! Kalau terjadi sesuartu padamu, bagaimana nasibku? Aku tentu tidak mau terkurung di sini sendirian,” kata Annaliese. Aku pun tertawa begitu saja namun seketika aku mengaduh karena ujung bibirku memang sedang terluka. “Kamu terluka, Badrun?” tanya Annaliese. Tiba-tiba tangannya sudah mendarat di pipiku. Sontak aku pun alngsung menoleh ke kanan dan ke kiri karena malu. Aku juga berani bertaruh kalau telingaku saat ini pastinya sudah memerah karena malu. Dan benar saja Pangeran Rama dan Putri Shinta sudah memperhatikan kami. Aku hanya bisa menoleh eka rah Annaliese dan meraih tangannya agar tidak memegang p[ipiku sembarangan. Aku sangat malu. “Aku tidak apa-apa.” Jawabku. Putri Shinta dan PAngeran Rama terkekeh. Hal itu tentu membuat aku menjadi tambah malu.. *** “Apa yang terjadi, Badrun? Aku melihat Pangeran Rama yang lebih banyak diam hari ini,” kata Annaliese. “Ada yang terjadi, Ann,” kataku. “Ada apa? Lalu bagaimana caramu bisa mendamaikan kedua kerajaan? Menurutku, Raja Rahwana tentulah tidak akan pernah melepaskan Pangeran rama begitu sja asetelah mengetahui kalau Pangeran Rama salah serang. Aku menghembuskan nafas begitu saja, aku ingin sekali menjawab pertanayaan dari Annaliese. Namun, sebelum itu aku kembali mengedarkan pandanganku ke segala arah. Aku mencoba membaca situasi. “ayo, ikut denganku,” kataku. Annaliese pun menganggukkan kepalanya. Dia tidak terlalu banyak tanya kali ini, sepertinya dirinya bisa membaca situasi. Kemudian, aku pun berjalan dan Annaliese juga ikut berjalan di sampingku. Aku membawanya agak seidkit menjaduh dari rumah. “Ada apa, Badrun?” tanya Annaliese yang terlihat begitu penasaran dengan apa yang terjadi. “Begini, Annaliese. aku kana menceritakannya tapi kamu janji tidak akan mencaeritakan kepada orang lain lagi ya?” kataku. Annaliese pun menganggukkan kepalanya, “Baik, aku berjanji,” kata Annaliese. “Jadi, aku mengaku kepada Raja Rahwana kalau aku yang meminta kepada Pangeran Rama untuk menyerang Istana Kerajaan Kosala,” kataku. “Apa? Lalu? Bagaimana mungkin kamu bisa lolos begitu saja?” tanya Annaliese. “ann, dengarkan aku dulu. Jangan poytong-potong dulu,” kataku mencoba menasehatinya. Sebab aku memang belum selesai mencaritakannya. Aku tentu merasa tidak enak ketika Annaliese memotong kata-kjataku. Annaliese pun langsung memperlihatkan raut wajah bersalahnya kepadaku. Aku hanya bisa luluh. “Maaf, Badrun. Aku trlalu bersemangat mendengarkan apa yang akan kamu katakan,” katanya. Aku pun menganggukkan kepalaku. “Lalu apa aku sudah bisa melanjutkan?” tanyaku kepada Annaliese. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya. “Iya, lanjutkan Badrun. Aku tidak akan menyela lagi,” kata Annaliese. Aku pun menganggukkan kepalaku. Memang sudah seharusnya seperti itu. Kita sebagai manusia memang harus bisa menahan keinginan kita ingin bicar aketika ada orang lain yang tengah berbicara. Itu adalah salah satu ajaran sopan santun paling dasar. Kita harus mendengarkan lawan bicara mengungkapkan isi pikirannya kalau memang sudah selesai baru boleh menjawab, tidak memotong-motong apa yang dikatakan oleh lawab bicara. Tidak bicara ketika lawan bicara sedang bicara. “Jadi, aku mengkambing hitmakan diriku sendiri. Aku mengatakan kepada Raja Rahwana kalau aku yang meminta kepada Pangeran Rama untuk menyterang istananya karena aku mengatakan kepada Pangeran Rama kalau serangan yang dtaang ke istana Pangeran Rama datang dari kerajaan Raja Rahwana. Awalnya, Raja Rahwana murka dan hendak memberikan pelajaran untukku namun untungnya ada Pangeran Rama mengajukan sebuah permohonan maaf dan meminta damai dengan meminta kepada Rja Rahwana untuk membuat satu permintaan. Dan ternyata Raja Rahwana meminta Putri Shinta sebagai permintaannya. Lalu, Pangeran Rama menyetujuinya,” kataku. “Astaga!” pekik Ananliese yang langsung menutup mulutnya sendiri tak eprcaya dengan apa yang aku katakan. Aku memang bisa mengerti mengenai mengapa dirinya bisa memekik demikian. Aku hanya bisa menghela nafas. “Ini benar-benar hal yang serius sekali. Terlebih sepertinya Pangeran Rama sudah mengingkari 2x janji yang dibuat dengan Raja Rahwana. Aku benar-benar merasa kalau ini sesuatu yang tidak adil bagi Raja Rahwana namun juga tidak tega dengan Putri Shinta,” kataku. “Apakah janji yang kamu maksud adalah janji ketika Pangeran Rahwana memenangkan sayembara?” tanya Annaliese. Aku pun menganggukkan kepalaku, “Aku tidak tahu apakah itu janji ataukah sebuah hal lain. Yang jelas itu sesuatu yang memicu perpecahan,” kataku. Annaliese pun menganggukkan kepalanya, “Lalu, kita harus bagaimana, Badrun?” tanya Annaliese. Aku menggelengkan kepalaku. “Untuk saat ini, aku belum tahu mengenai apa yang harus aku lakukan namun yang jelas aku harus bertemu dengan Pangeran Rama terlebih dahulu,” kataku. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. “Aku akan temani kamu,” kata Annalies.e Lagi-lagi aku menolak tawarannya, “Tidak perlu, Ann, ini adalah urusan laki-laki,” kataku. “Kamu terus saja mengatakan hal seperti itu,” kata Annaliese sambil mengerucutkan bibirnya. “Sudah, percaya saja padaku,” kataku kepada Ananliese. Tak lama kemudian, seorang pengawal Pangeran Rama datang dan menghampiriku dan juga memanggilku. Katanya aku dipanggil oleh Pangeran Rama Mau tak mau aku pun langsung berjalan menemui Pangeran Rama. Sepeetinya ini adalah waktu yang tepat untuk aku bisa meranyakan kelanjutan dari permintaan Raja Rahwana. “Pangeran, saya datang,” kataku. “Duduklah!” kata Pangeran Rama. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku dan duduk di hadapan Pangeran Rama. Kali ini Pangeran Rama tyerlihat seperti kebingungan, “Ikutlah denganku sebenatar, saya ingin membicarakan sesuatu, karena aku tidak bisa membicarakannya di sini,” kata Pangeran Rama. Aku pun menganggukkan kepalaku karena mengerti arah pembicaraannya. Aku seakan mengerti kalau apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Rama adalah masalah mengenai Raja Rahwana. Kemudian, kami pun pergi. Aku hanya bisa mengikuti PAngeran Rama. Pangern Rama memerintah kepaa pengawalnya untuk tidak mengikutinya. “Badrun, besok saya akan pergi menemui ibu tiriku. Aku akan membereskan kekacauan yang telah terjadi,” kata Pangeran Rama. Aku pun menganggukkan kepalaku. Aku kira hal pertama yang akan dia ucapkan adalah mengenai perjanjian itu. “Sepertinya itu adalah hal yang bagus, Pangeran. Namun, mohon izinkan saya bertanya mengenai Putri Shinta. Bagaimana dengan Putri Shinta? Apakah Pangeran akan mengantarkannya kepada Raja Rahwana?” tanyaku. Aku tahu aku lancang namun aku tidak bisa memendam rasa penasaran semakin lama lagi. “Tentu saja tidak,” kata Pangeran Rama. Aku pun terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Pangeran Rama. “Bagaimana?” tanyaku. “Iya, walauypun aku menyetujui tawaran itu, namun itu hanya siasat saja agar kita pergi dari sana dalam keadaan baik-baik saja,” kata Pangeran Rama. Aku terdiam mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Pangeran Rama. “BEsok saya akan pergi mendatangi ibu tiri dan merebut kembali kerajaan, dan kalau sudah kurebut maka akan kukibarkan bendera perang lagi dengan Raja Rahwana,” kata Pangeran Rama. Aku benar-ebanr tidak mengerti jalan pikiran pangeran Rama. Bukankah janji seoang laki-laki adalah hal yang paling dijun jung tinggi oleh para laki-laki? Maksudku, aku bukannya sedang mengompori Pangeran Rama untuk menyerahkan Pustri Shinta yang notabenenya adalah istrinya kepada Raja Rahwana. Namun, hanya saja, ah, aku tidak bisa melanjutkan kalimat itu. “Bukankah itu akan memicu hal yang lebih besar? PErtempuran darah bukanklah akan terjadi lagi, Pangeran?” tanyaku. “Lantas kau ingin aku menyerhakan istriku begitu saja?” tanya Pangeran Rama. Aku hanya terdiam, “Bukan seperti itu maksud saya, Pangeran,” kataku. “Sudah, lebih baik kau bantu aku. Kau harus menjaga istriku selama aku pergi. Aku akan mengusahakan kalau aku akan lekas kembali dna menyelesaikan masalah dengan Raja Rahwana,” kata Pangeran Rama. Kalau sudah begini akus duah tidak bisa memberikan nasihat apa-apa lagi. karena Pangeran Rama sepertinya sudah mantap. Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada Pangeran Rama maupun Putri Shinta untuk kedepannya. “Kau harus menemani istri saya kemanapun dia pergi. Lakukan penjagaan ketat padanya,” kata Pangeran Rama. “Baik, Pangeran.” Jawabku. Karena malam semakin larut, Pangeran pun menyudahi pembicaraan ini. Kemudian kami pun langsung pergi menuju ke rumah yang kami tempati. Aku pun mulai masuk ke dalam sebuah kamar yang memang sudah dipersiapkan untukku. “Badrun!” panggil Annaliese. “Astaga aku sangat terkejut mendengar suaramu,” katakue terkejut. Aku tidak menyadari kalau di dlaam kamar itu ada Annaliese. “Kau tidur di sini?” tanya Annaliese. Aku pun terdiam sebentar, kemudian menggelengkan kepalaku. Lebih baik kau todiur di luar saja. Aku tentu tidak bisa tidur dengan seorang gadis yang walaupun aku tahu kalau dia hanyalah seorang hantu perempuan. “Aku akan tidur di luar,” kataku. “Bagaimana kalau kau tidur di sini dan aku saja yang tidur di luar? kamu tentu sangat lelah,” kata Annaliese. Aku menggelengkan kepalaku, aku adalah seorang laki-laki jadi aku tidak boleh membiarkan perempuan tidur diluar begitu saja. “Tidak perlu. Lebih baik kamu tidur saja,” kataku kepada Annaliese. Aku pun langsung kelaur dari kamar dan langsung tidur di ruang depan kamar. Aku memilih tidur dalam kondisi duduk. Namun, belum geanap aku memejamkan mtaa, Annaliese pun datang dengan sbeuah bantal dan sebuah selimut. “Ini pakailah.” Ata Annaliese yang melebarkan selimut dan meleytakkan bantal yang dia bawa di atas selimut tersebut. “Kau harusnya tidak perlu repot-repot,” kataku. “Aku tidak merasa repot, Badrun. Lagi pula aku merasa senang membantumu,” kata Annaliese. “Terima aksih,” kataku tulus. Ananliese pun tersenyum dengan sangat riang, “Sama-sama.” Jawabnya. *** Keesokkan harinya, Pangeran Rama pun langsung melancarkan aksinya. Aku hanya bisa mengantarkan Pangeran Rama ketika hendak pergi. Putri Shinta pun kali ini menangis karena merasa tidak tega dengan suaminya yang harus pergi menyelesaikan masalah lagi. “Jangan menangis,” kata Pangeran kepada istrinya. “Cepatlah kembali aku merindukanmu,” kata Putriu Shinta yang tengah menangis. Aku bsia meengrti bagaimana perasaan Putri shinta. Karena bagaimanapun mereka adalah pasangan suami istri baru jadi mereka tentulah sedang dimabuk asamara. Namun, ntah mengapa kali ini aku memikirkan Annaliese. ntah mengapa aku jadi ebrpikir meengnai apakah dirinya juga merindukanku atau tidak. Ah, berpikir soal apa aku ini? “Badrun, istriku tidak boleh keluar 5 meter dari rumah ini. Aku sudah membuat pelindung yang sangat kuat agar tidak ada orang luar yang bisa masuk ke rumah ini,” kata Pangeran Rama. “Baik, Dokter,” jawabku. Setelahnya Pangeran Rama pun pergi bersama dengan pengawal-pengawalnya. Sedangkan aku masih berada di rumah, menjaga Putri Shinta dan tentunya Anbnaliese. *** Esok hari pun datang, aku memang sellau berjaga berkeliling karena untuk memastiakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku suidah diberikan amanat oleh Pangeran rama untuk melindungi dan terus berada di samping Putri Shinta jadi aku harus menurut. “Badrun, aku akan pergi bersama dengan Putri Shinta menuju ke sungai. Putri ingin main air sungai,” kata Annaliese yang tiba-tiba datang. “Putri Shinta ke sungai?” tanyaku. Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya. Skeetika aku pun membelalakkan mataku. Annaliese yang melihat ekspresiku pun langsung terkejut juga, “Jangan-jangan,” katanya. “Aku harus menyusul Putri Shinta!” kataku. “Aku ikut!” kata Annaliese. Aku dan Annaliese pun langsung keluar dari rumah. Ini adalah benar-benar situasi yang sangat gawat. Aku tidak mau gagal mengamankan Putri Shinta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN