“Kamu masuk dulu lah, Istriku. Aku akan mengobrol dengan Malin.” Kata Malin kepada istrinya.
Ibunya Malin pun langsung bangun begitu saja. Beliau pun seketika melihat Malin dan langsung bangkit dan berjalan menuju ke Malin. Mata beliau sudah berkaca-kaca mungkin karena saking rindunya kepada anaknya.
“Anakku!” seru Ibunya Malin.
Malin terkejut bukan main, hal ini bisa aku rasakan dari bagaimana raut awajah Malin ketika memandang ibunya.
Istri MAlin yang mendengar suara ibunya Malin pun langsung menghentikan langkahnya untuk masuk ke dalam. Istrinya malin langsung berbalik dan mencoba mencari tahu mengenai apa yang terjadi.
“Anakku?” tanya Istrinya MAlin.
Malin langsung berjalan menuju ke istrinya, “Kamu salah paham, Istriku. Aku tidak memiliki ibu.” Kata Malin.
DEG!
Jantungku berdegup dnegan snagat kencang, meski aku tahu kalau inti dari kisah ini adalah kedurhakaan seorang anak kepada ibunya namun aku tetap saja terkejut melihatr hal itu terjadi di hadapanku sendiri. Bagaimana mungkin Malin bisa mengatakan itu.
“Nak, ini ibumu. Apakah kamu lupa pada ibu?” tanya Ibunya Malin.
“Lebih baik kamu masuk dulu saja, biar aku yang membereskan ini. Mungkin ibu ini salah alamat jadi aku akan mengantarkannya kepada anaknya.” Kata Malin kepada Istrinya.
Istri Malin menatap Malin dan melirik Ibunya MAlin yang sudah menutikkan air mata. Aku hanya bisa mengusap bahu ibunya Malin mencoba menenangkan Ibunya MAlin.
“Baiklah kalau begitu.” Kata Istrinya Malin.
Sari atau istrinya Malin pun langsung masuk ke dalam. Kini di luar rumah hanya menyisakan aku, ibunya malin, dan juga malin.
Malin berjalan mendekat, ibunya Malin sudah menangis.
“Saya tidak kenal siapa kamu. Silakan pergi dari rumah saya!” seru ibunya malin.
Ibunya Malin menggelengkan kepalanya, “Nak, ini ibumu. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan ibu yang telah melahirkan kamu? Ini ibu, Nak. Ini ibu.” Kata Ibunya Malin yang mencoba mengingatkan anaknya siapa tahu anaknya lupa kepada beliau.
Aku memandang Ibunya Malin dengan tatapan iba. Beliau sudah jauh-jauh datang dari kampung namun sesampainya di kampung dia diperlakukan seperti ini.
“Malin, kamu janganlah keterlaluan kepada ibumu snediri!” kataku yang sudha tidak tahan melihat apa yang terjadi.
“Pergilah! Ini uang untuk kalian!” kata Malin.
Malin merogoh sakunya dan mengeluarkan uang yang snagat banyak dari sana. Selanjutnya Amlin langsung menarik tangan ibunya untuk mengambil uang yang Malin berikan kepada Ibunya tersebut. Aku pun hanya bisa menggelengkan kepalaku begitu saja. MAlin benar-benar orang yang sangat tidka memiliki hati. Bagaimana mungkin dia melakukan hal ini kepadaku?
“Astaga!” seruku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Malin melenggangkan kakinya menuju ke dalam rumahnya. Aku pun buru-buru menahannya, aku tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Aku akan menyadarkannya kalau dia salah, “Jangan sepetri ini, Malin! Bagaimanapun beliau adalah ibumu. Ibu yang harus kamu hormati, kamu tidka boleh durhaka seperti ini. Beliau jauh-jauh dari kampung datang ke sini untuk bertemu dneganmu.” Kataku.
Aku sungguh merasa kesal bukan main. Karena bagaimana pun aku tidka tega melihat Mande Rubiyah diperlakukan speetri ini. Beliau sudha aku anggap sebagai ibuku sendiri karena beliau snagatlah baik kepada diriku. Aku bahkan tidak tahu mengenai bagaimana lagi aku bisa menjelaskan kebaikannya.
“Kamu tidka usah ikut campur! Pulanglah bawa dia pergi dari rumah saya dan pastikan tidak akan ke rumah saya lagi!” seru Malin.
“Kamu benar-benar sudah gila, Malin, beliau adalah ibumu. Bagaimana mungkin kamu memperlakukan beliau seperti ini, hah?” tanyaku.
MAlin menggelengkan kepalanya, “PErgilah sebelum kesabaranku habis.” Kata Malin.
Mande Rubiyah pun menangis tersedu-sedu melihat kelakukan anaknya yang sama sekali tidak mau mengakui beliau sebagai ibunya padahal Mande Rubiyah sudah mengorbankan segalanya demi bertemu dengan Malin.
“Nak, ini ibumu, mengapa kamu melukapan ibumu?” tanya Mande Rubiyah.
Malin memilih untuk masuk ke dalam rumah. Mande Rubiyah pun mencoba mengejar Malin namun beliau haya menemui pintu yang tertutup. Aku pun menatao iba kepada Mande Rubiyah.
“Mande, lebih baik kita pulang saja. Percuma saja kita ada di sini.” kataku yang sudah merasa kesal setengah mati kepada Malin.
“Nak, Mande harus menjelaskan kepada Malin kalau Mande itu ibunya. Mungkin dia lupa, Nak.” Kata Mande Rubiyah.
“Mande, lebih baik kita pulang dulu saja. Siapa tahu kalau kita memberikan waktu kepada Malin, dia akan ingat lagi.” jawabku yang mencoba menenangkan.
Aku memang sangat tahu dan sadar kalau selamanya Malin akan seperti ini. Dan aku juga tidak bisa mengatakan kepada Mande Rubiyah kalau Malin sebetulnya bukan tidka ingat ibunya melainkan Malin tidak mau mengingat dna mengakui ibunya lagi mungkin karena malu kepada istrinya.
“Anakku.” Kata Mande Rubiyah.
“Iya, nanti kita datang lagi, Mande. Tapi lebih baik kita kembali ke kantor pos dulu.” Kataku.
Ak uterus membujuk Mande Rubiyah dan akhirnya Mande Rubiyah pun menganggukkan kepalanya dna menyetujui untuk pulang. Lalu kami pun kembali ke kantor Pos. selama perjalanan aku melihat bagaimana Mande Rubiyah yang terus menangisi MAlin, si anak tidka tahu diuntung tersebut.
“Mande, tidka ada rencana untuk kembali ke kampung?” tanyaku.
“Mande sudah tidka memiliki rumah ataupun sawah di kampung, NAk. Sudah Mande jual untuk pergi ke sini.” kata Mande Rubiyah.
Aku terkejut setengah mati, ternyata Mande sudah snagat habis-habisan demi menemui anaknya yang durhaka. Aku jadi merasa tidak tega kepada Mande Rubiyah. Bagaimana pun beliau terlihat sayang skelai kepada anaknya.
“Astaga, Mande. Kenapa di jual? Nanti Mande bagaimana?” tanyaku bingung dnegan apa yang dipikirkan oleh Mande Rubiyah ketika menjual semua asset penting miliknya.
“Mande tidak apa-apa, Nak. Mande bisa tinggal bersama dnegan MAlin di sini.” kata Mande.
Aku rasanya ingin mengatakan kepada Mande Rubiyah kalau hal itu tidka akan mungkin mengingat bagaimana Malin memperlakukan Mande Rubiyah sebelumnya.
Namun, aku tidka mengatakan itu karena kau takut kalau Mande akan merasa sedih. Terlebih harapan Mande terhadap Malin sudah sangat besar.
Aku tak bisa berkata-kata namun aku jadi memiliki tujuan kali ini. Aku akan mencoba membuat Malin bisa menerima Mande Rubiyah. Aku ingin bisa membuat Mande Rubiah bisa bahagia hidup bersama dengan putranya yang snagat beliau sayangi.
Akhirnya kami pun smapai di pos. Di sana lagi-lagi sudah ada Annaliese yang menunggu kedatangan kita. Annaliese pun langsung menghampiri kami, lalu masuk ke dalam kantor pos.
“Bagaimana?” tanya Annaliese.
Aku meringis mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Annaliese. padhaal aku baru saja ingin mengatakan kepadanya kalau dia tidka boleh menanyakannya namun ternyata dia justru sudah terlebih dahulu menanyakannya.
“Malin lupa kepadaku. Mungkin karena kamu baru pertama kali bertemu.” Jawab Mande Rubiyah yang langsung menyeka air matanya.
Annaliese yang sebelumnya memandang kami dnegan mata berbinar langsung melirikku meninta jawaban. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku mencoba meminta Annalies euntuk tidka menanyakan hal yang lebih jauh mengenai pertemuan kami dengan Malin saat ini.
“Kenapa?” tanya Annaliese yang bertanya tanpa suara.
Aku menggelengkan kepalaku. Aku tentu pasti akan mengatakan apa yang terjadi kepada Annaliese namun bukan sekarang. Aku akan mengatakannya nanti setelah Mande Rubiyah istirahat.
“Lebih baik Mandi istrirahat saja.” kataku mengusulkan.
“Oh, iya, Mande. Mande kan ikut berkeliling dengan Badrun jadi Mande pasti lelah, ayo biar aku antar ke kamar.” Kata Annaliese cepat tanggap.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku dan membenarkan tindakannya. Untunglah dia mengerti situasi. Kalau tidak ntah apa yang harus aku katakan kepada dirinya.