PPW 30 – Kebosanan

1609 Kata
Aku yang melihat hal ini langsung berjalan menuju Pangeran Rama, aku tidak mau kalau hal ini sampai memunculkan kesalahpahaman. Kalau Pangeran Rama tetapo mengajak untuk saling melancarkan serangan, ini akan menjadi hal yang seirus. “Pangeran Rama, kali ini sepertinya anda juga harus menghentikan pengawal-pengawal anda. Sebab, Raja Rahwana memang berniat untuk mengantarakan Putri Shinta kembali ke rumah. Raja Wahwaba tidak bermaskud untuk menjahati Putri. Niat Raja Rahwana kali ini baik,” kataku mencoba menjelaskan dengan sejelas mungkin. “Saya tidak percaya!” seru Pangeran Rama dengan emosi. “Silakan ditanyakan kepada istrimu,” kata Raja Rahwana. Pangerna Rama langsung menoleh ke arah Putri Shinta dan langsung meminta jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi, “Apa benar apa yang dikatakan oleh mereka?” tanya Pangeran Rama. “Betul, Suamiku. Raja Rahwana memang tengah mengantarkanku pulang,” kata Putri Shinta. Akhirnya, singkat cerita Putri Shinta pun pergi bersama dengan suaminya, sedangkan kami rombongan Raja Rahwana hanya bisa berhenti di sana sampai rombongan Pangeran Rama pergi dan hilang dair pandangan. Kemudian kita kembali ke kerajaan. Aku melirik Annaliese. kali ini Annaliese meminta satu joli denganku. “Sepertinya Raja Rahwana ini masih memiliki hati dan bahkan sepertinya Raja Rahwana adalah orang yang sangat baik,” kata Annaliese. “Iya, aku pun berpikir demikian. Sepertinya Raja Rahwana memang orang yang sangat baik. Hanya saja karena ulah Pangeran dia menjadi seperti ini,” kataku. Annaliese menganggukkan kepalanya. Menyetujui apa yang aku katakan. *** Aku sangat bosan, kerjaanku hanya duduk dan melihat Raja Rahwana yang terlihat sekali merana memikirkan Putri Shinta. Sepertinya beliau ini memang sangat mencintai Putri Shinta jadi kalau dalam bahasa kami sepertinya Raja Rahwana ini sedang galau. “Raja, … apakah aku boleh keluar?” tanyaku. “Kau tetaplah di situ temani saya,” kata Raja Rahwana. Aku mengaduh dalam hati. Sebetulnya yang paling membuat aku merasa tidak nyaman adalah pakaian yang kukenakan. Pakaian ini aneh dan berat saat digunakan, benar-benar tidak nyaman dipakai. “Penasihat, katakanlah bagaimana caranya aku bisa mendapatkan hati Putri Shinta,” kata Raja Rahwana kepadaku. Aku mengaduh dalam hati. Dari mana aku tahu? Aku bahkan belum pernah berpacaran, mana aku tahu apa yang disukai oleh seorang wanita. Aku pun langsung memutar otakl. Dan seketika otak cerdasku langsung memunculkan nama Annaliese, Aku bisa melibatrkan Annaliese dalam hal ini jadi aku rasa kalau aku meminta kepada Pangerna untuk memanggil Ananliese tidk akan maslah. “Untuk urusan hati, tentulah kita harus mengetahui apa yang disukai oleh orang yang kita cintai. Dan seorang wanita biasanya lebih mengetahui apa yang disukai opleh wanita lain,” kataku mencoba mengatakan dengan prolog yang semoga saja baik di indra pendengaran Raja Rahwana. Kalau aku langsung mengatakan kepada Raja Rahwana kalau aku ingin menghadirkan Annaliese dan menanyakannya kepada Annaliese tentulah sangta tidak bagus. “Bagaimana maksudmu?” tanya Raja Rahwana yang sepertinya tidak mengerti arah pembicaraanku. “Maksudku adalah kita harus menanyakan hal itu kepada seorang perempuan,” kataku. “Baiklah, aku akan memanggil dayang,” kata Raja Rahwana. “Tunggu, Raja. Kalau dalam hal ini perlu seseorang yang lebih dekat dengan Putri Shinta. Jadi tidak sembarang perempuan,” kataku memutar cara agar bisa menghadirkan Annaliese. “Siapa dia?” tanya Raja Rahwana. “Annaliese, temanku. Selama ini kami tinggal bersama dengan Putri Shinta. Sehingga Annaliese memang sangat dekat dengan Putri Shinta dan mengetahui apa yang Putri Shinta suka,” kataku. “Kau benar juga. Kita harus memanggil temanmu untuk datang ke sini,” kata Raja Rahwana. “Kalau begitu biar saya panggilkan,” kataku. Akhrinya aku memiliki alasan untuk keluar dari dalam ruangan itu. Aku benar-benar tidak tahan kalau harus duduk berjalm-jam di kamar itu, aku ingin menghirup udara sehat. Lagi pula kalau duduk saja aku takut lama-lama aku akan terkena penyakit ambeien. Sebab, kata orang penyakit itu mudah datang pada orang terlalu banyak duduk. “Tidak, tidak usah!” kata Raja Rahwana. Aku mengeluh dalam hati padahal, aku hampir saja bisa keluar dari sana, tapi ternyata semuanya tidak seindah harapan. “Biar pengawalku saja yang memanggilnya. Pengawal! Panggil Nona Annaliese ke sini!” titah Raja. “Baik, Paduka!” sahut pengawal Raja Rahwana. Aku memandangi kepergian pengawal itu dan akhirnya duduk kembali. Kalau aku terus begini, apakah aku bisa benar-benar pulang ke zaman asalku? Kenapa aku mulai menyangsikan hal ini. Tak lama kemudian, Annaliese datang, dan Annaliese yang melihatku langsung berwajah ceria. “Badru!” panggilnya. Aku meringis dalam hati. Padahal tak jauh dari tempatku ada Raja Rahwana namun Annaliese hanya memanggil namaku. “Ann, sapa Raja.” Bisikku tak ketara. Annaliese pun seketika langsung menganggukkan kepalanya dan meringis, dia sepertinya hampir lupa, “Maaf, Raja. Aku lupa menyapa. Selamat siang, Raja,” kata Annaliese. Raja Rahwana menganggukkan kepalanya tak mempermasalahkan itu. Meski cara menyapa Annaliese terlihat begitu aneh namun itu semua beliau maklumi. “Ada apa, Badrun?” tanya Annaliese kapdaku. “anyalah pada Raja. Raja yang memanggilmu,” kataku. Aku jdi berpikir apakah pengawal yang membawa Annaliese tidak mengatakan kepada Annaliese kalau orang yang memanggil Annaliese adalah raja atau tidak karena Annaliese seperti tidak lupa. Bahkan tidak tahu. Sepertinya ini hal yang tidak penting. “Ada yang bisa saya bantu, raja?” tanya Annaliese. Raja pun menganggukkan kepalanya, “Aku sedang ingin bertemu dan membuat Putri shinta jatuh hati, dan Badrun mengtatakan kau lebih tahu banyak soal Putri Shinta dan mengetahui mengenai apa yang disukai oleh Putri Shinta. Apa benar kau mengetahuinya?” tanya Raja Rahwana. Aku mengaduh dalam hati karena Raja Rahwana membawa-bawa namanu namun aku tidak bisa menyalahkan beliau karena ini semua memang ideku. Jadi bagaimanapun apa yang dikatakan beliau adalah hal yang benar. Annaliese menoleh ke arahku. Dia sedikit terkejut namun aku tidak membiarkan hal itu berlarut-larut karena aku langsung memberikan isyarat kepada Annaliese untuk membenarkan apa yang dikatakan oleh Raja Rahwana. “Betul, Raja. Aku memang selama ini bersama dengan Putri Shinta jadi kemungkinan saja saya tahu apa yang Putri Shinta sukai,” jawab Annaliese. “Baiklah, apa yang Putri Shinta sukai?” tanya Raja Rahwana. Annaliese kembali melirik ke arahku. Aku pun langsung mencoba berpikir. Namun, aku memang benar-benar tidak tahu. Aku ahrap Annaliese bisa menjawabnya. “Katakan saja, Ann, misal makanan yang Putri Shinta suka,” kataku. Aku mencoba membantu Annaliese. “Oh, ya, saya sangat tahu kalau Putri Shinta menyukai makanan rakyat bisa, Tuan. Beliau pernah memintaku diam-diam membuatkan nasi jagung dengan 7 macam lauk yang terdiri dari ayam, ikan, sayur, dan telur,” kata Annaliese. Aku tidak tahu apakah Annaliese sedang berbohong atau tidak, namun raut wajahnya memang terlihat serius, jaid aku berkesimpulan kalau hal iu memang benar adanya. “Biaklah, kalau begitu, kau harus membantuku menyiapkan makanan-makanan itu,” kata Raja Rahwana. “Baik, Raja,” kata Annaliese. Aku langsung memberikan kode pada Annaliese agar dia juga mengajakku keluar. Aku benar-benar bosan berada di ruangan dan duduk begitu saja seperti patung. “Ajaklah aku,” kataku berbicara tanpa suara. Annaliese pun manganggukkan kepalanya dan langsung menoleh ke arah Raja Rahwana, “Raja, namun aku butuh bantuan Badrun untuk melaksanakan tugasku. Bolehkah dia ikut denganku?” tanya Annaliese. “Sebentar, biar kita tanya dulu kepada Penasihat, akrena dia memiliki peran yang penting dalam kerajaan ini. Bagaimana penasihat apakah kau mau membantunya?” tanya Raja Rahwana. Aku pun langsung menganggukkan kepalanya, “Dengan senang hati, Rajha. Ini adalah kali pertama anda ingin membuat Putri Shinta terkesan jadi saya tentu harus berupaya semaksimal mungkin agar semuanya berjalan dengan lancar,” kataku. “Baiklah kalau begitu,” kata Raja Rahwana. Kemudian aku dan Annaliese pun berpamitan kepada Raja untuk berjalan menuju ke dapur kerajaan. Di sana sudah ada dayang-dayang namun aku dan Annaliese meminta kepada semua dayang dan semua orang yang ad adi dapur untuk mengosongkan dapur sebab yang akan memasak semuanya adalah Annaliese. Tentu saja ku akan membantunya. Kami tidak bisa membiarkan ada satu dayang pun ada di dapur karena aku ingin mengobrol bebas dengan Annaliese. “Untung kamu mengajakku ke sini, kalau tidak aku bisa gila di sana.” Gerutuku. Annaliese yang mendengar apa yang aku katakan langsung terkekeh begitu saja, “Oh ya? memangnya ada apa?” tanya Annaliese. “Ya, kamu bisa bayangkan bukan bagaimana aku yang harus duduk di sana lama-lama? Lama-lama bisa ambeien aku,” kataku. Annaliese terkekeh lagi mendengarkan apa yang aku katakan. Sepertinya ini semua sangat membuat Annaliese terhibur. Benar-benar hantu yang menyebalkan. “Badrun-badrun. Kamu ini benar-benar lucu sekali. Aku kira kau enak karena terus berada di samping raja,” kata Annaliese. “Enak dari mana? Aku diminta untuk duduk di sana sepanjang hari dan aku tidak bergerak sedikitpun. Pergerakanku diawasi benar-benar tidak bisa bebas,” kataku. Aku kini mulai seperti pengadu yang handal. Aku merasa kalau aku benar-benar merupakan pengadu yang handal. Aku seperti tengah mengadu kepada ibuku. Aku langsung menghentikan aduanku karena aku sadar kalau aku adalah seorang laki-laki dan seorang laki-laki seharusnya bukan tukang ngadu. “Iya juga sih. Aku juga jadi susah untuk bertemu denganmu, Badrun. Menyebalkan sekali,” kata Annaliese. Aku menganggukkan kepalaku. “Yasudah mumpung pergerakanmu tidak dibatasi, bagaimana kalau kau bantu aku memasak ini dan itu?” kata Annaliese. “Asataga, memasak?” tanyaku tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Annaliese. Annaliesepun menganggukkan kepalanya, “Jangan salah, Badrun. Koki-koki terbaik biasanya adalah seorang laki-laki loh. Jadi, memasak itu bukanlah sesuatu yang sifatnya bergender. Memasak bisa dilakukan oleh siapapun, bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki,” kata Annaliese. Aku hanya bisa menggelengkan kepalanya, “Kamu semakin pintar, Ann,” kataku, mencoba menyirnya lewat pujian. “Aku memang sudah pintar sejak aku amsih hidup, Badrun,” kata Annaliese, “Setidaknya ibuku yang mengatakannya,” kata Annaliese. Aku pun terkekeh, “An, aku yang jelek begini saja, ibuku memujiku tampan. Jadi kalau pujian dari seorang ibu tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN