PPW 44 – Masa Lalu Annaliese

2211 Kata
Malam kembali berjalan lambat, aku dan Annaliese sama-sama tidak bisa tidur dengan tenang. Ntahlah, banyak sekali hal yang kami pikirkan di dalam kepala kami. Kalau aku, aku seketika ingin pulang ke duniaku. “Badrun, kamu pernah melihat ibunya Malin?” tanya Annaliese memecah keheningan. Aku menoleh ke samping kananku, di hotel ini memang tidak ada kasur yang tinggi seperti biasanya, kami hanya diberikan sebuah kasur yang mirip dengan matras. “Iya, aku pernah melihatnya, apa kamu tidak pernah meliatnya?” tanyaku kepada Annaliese. Annaliese menggelengkan kepalanya, “Tidak, Badrun. Aku belum pernah melihatnya,” kata Annaliese. “Bukankah sebelum ke sini kita harus melewati mesin waktu? Kenapa kamu tidak melihatnya?” tanyaku kepada Annaliese. “Ntahlah, aku tidak pernah melewati itu, saat aku datang, aku hanya sudah berada di dalam kapal selama berhari-hari hingga akhirnya aku bertemu denganmu,” kata Annaliese. Aku menganggukkan kepalaku, pantas saja dia tidak melihat bagiamana ibunya Malin. “Apa dia adalah orang yang jahat, Badrun?” tanya Annaliese. Aku langsung menggelengkan kepalaku. Sejauh aku bertemu dengan Mande Rubiyah aku tahu kalau beliau adalah orang yang sangat baik. “Bukan, An, beliau adalah orang yang sangat baik, beliau juga sangat menyayangi Malin,” kataku. “Lalu, kalau ceritamu benar kalau Malin akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya, maka apa yang menyebabkannya begitu? Lalu ke mana ayahnya?” tanya Annaliese. “Malin sudah tidak memiliki ayah, An, dia hanya tinggal bersama dengan ibunya saja,” kataku. “Lalu kenapa Malin bisa jadi seperti itu?” tanya Annaliese. Aku meliriknya, dia cantik sekali hari ini, mungkin karena ini sudah malam jadi aku merasa kalau semua orang yang aku lihat cantik, contohnya Annaliese. “Aku tidak tahu, mungkin keserakahan, namun aku tidak bisa memastikannya untuk saat ini,” kataku. Annaliese pun menganggukkan kepalanya begitu saja. Dia sepertinya mulai memikirkan bagaimana Malin, aku pun bisa mengerti, aku pun kalau tidak tahu apa-apa dan kalau aku belum pernah mendengar kisah tentang Malin. Aku akan menganggap kalau Malin adalah orang yang baik. Hal itu bisa aku lihat dari bagaimana sikapnya yang baik kepada semua orang. “Tidurlah, An. Ini sudah malam. Kamu harus tidur,” kataku. “Lalu, bagaimana dengan kamu?” tanya Annaliese. “Aku juga akan tidur. Lihat mataku sudah aku pejamkan,” kataku. Annaliese pun terkekeh begitu saja, lalu dia pun mulai menganggukkan kepalanya setelah aku meliriknya, “Baiklah, kalau begitu aku akan tidur. Selamat malam, Badrun,” kata Annaliese. “Iya, selamat malam, Annaliese.” Jawabku. “Mmm, Badrun,” kata Annaliese. Aku menoleh pada Annaliese. Kali ini wajah Annaliese terlihat sedikit muram. Dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu. “Ada apa?” tanya Annaliese. “Apa kamu merindukan orang tuamu?” tanya Annaliese. Wajah Annaliese terlihat sedih. Kali ini aku memutuskan untuk mengubah posisiku menjadi menghadap Annaliese. “Ada apa?” tanyaku. “Aku merindukan orang tuaku, Badrun, aku ingin bertemu dengan kedua orang tuaku lagi, namun aku tidak tahu cara bertemu dengan kedua orang tuaku,” kata Annalis.e Wajahnya begitu muram. Aku tahu kalau saat ini Annaliese sangat merindukan kedua orang tuanya karena mungkin dirinya tidak pernah bertemu lagi setelah dia meninggal dunia. “Kamu meridukan orang tuamu?” tanyaku. Annaliese menganggukkan kepalanya pelan, sepertinya dia memang sangat merindukannya, “Selama ini aku kesana kemari tapi tidak pernah bertemu dengan kedua orang tuaku,” kata Annaliese. “Bukankah seorang hantu bisa bertemu dengan siapa saja dengan mudah?” tanyaku. “Ntahlah, mungkin hantu selain aku karena buktinya sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan orang tuaku,” kata Annaliese. “Kalau boleh tahu bagaimana sampai akhirnya kamu meninggal?” tanyaku. Aku pikir-pikir meski aku sudah lama bersama dengan Annaliese, namun aku tidak pernah tahu bagaimana dan apa yang menyebabkan Annaliese meninggal. “Dulu, aku pernah diculik, Badrun. Saat itu, semua orang begitu membenci semua orang yang berwajah orang Belanda dan saat itu pula orang tuaku hendak pergi kembali ke Belanda.” Annaliese seperti sedang mengenang masa lalunya. “Lalu, aku disekap dan dianiaya karena merupakan anak keturunan Belanda. Hingga akhirnya aku dijadikan sebuah tumbal ketika sekolahmu didirikan. Aku tidak paham, aku tidak tahu mengapa manusia bisa selicik itu. Dia seperti tidak ber-Tuhan ketika dia mempercayai hal-hal mistis seperti itu.” Terang Annaliese. Annaliese pun langsung murung kembali. Kali ini aku tahu, aku seakan merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Annaliese. Dia terlihat begitu sedih. Aku jadi marah dan malu menjadi seorang manusia. Aku juga merasa bingung, namun bisa mengetri karena mungkin saja pada zaman itu karena Belanda masih menjajah negeri ini sehingga semua orang masih belum bisa menerima bahkan membenci semua orang Belanda, baik orang Belanda asi maupun hanya seorang keturunan. “Itu pasti terasa menyakitkan. Kamu masih ingat wajahnya, An? Aku akan membantumu untuk mencari orang yang menculikmu,” kataku yang mencoba membantu Annaliese. Annaliese menatap langit-langit, aku yang merasa kasihan memilih untuk duduk, tidak jadi mengantuk, aku ingin mengetahui lebih jauh mengenai apa yang terjadi pada masa lalu Annaliese. Aku menatap Annaliese, dia terlihat sangat sedih. “Kamu tahu kapan aku lahir, Badrun?” tanya Annaliese. Aku terdiam, benar juga aku tidak mengetahui mengenai kapan Annaliese lahir, aku hanya mengetahui kalau Annaliese adalah seorang gadis yang meninggal ketika masih memakai seragam sekolah. “Tidak.” Jawabku jujur. “1928.” Jawab Annaliese. Aku terkejut bukan main. Astaga. Aku tidak pernah menyangka usia Annaliese jauh lebuih tua dari tahun kemerdekaan. Kalau aku hitung-hitung, itu artinya dia sudah berusia 17 tahun ketika negara ini merdeka. Annaliese melirikku dan tersenyum miring, dia memutuskan untuk berbalik badan memunggungiku, “Tidurlah, Badrun. Kamu pasti takut padaku,” kata Annaliese. Aku menggelengkan kepalaku. Aku sama sekali tidak takut. Aku memang mengakui kalau misal aku mengetahui hal ini pada saat kami awal bertemu, aku tentu akan merasakan ketakutan namun kali ini aku tidak measakannya karena aku memang tidak takut mengenai hal itu. “Tidak, aku tidak takut, An. Aku berharap orang yang menculikmu akan mendapatkan ganjarannya,” kataku. Annaliese kali ini tidak menjawabku, namun aku bisa melihat kalau tubuh Annaliese bergetar, dia sepertinya tengah menangis. Aku jadi merasa bingung saat ini aku tidak mungkin menghampirinya dan memeluknya, aku takut kalau dia berpikir kalau aku adalah laki-laki m***m. “An?” panggilku dengan lembut. “Kenapa harus ada manusia seperti itu, Badrun? Kenapa mereka melakukan ini padaku? Apa mentang-mentang aku adalah seorang keturunan Belanda, lantas mereka merasa kalau aku tak pantas hidup?” katanya sambil menangis dan terisak. Aku memejamkan mataku sebentar. Lalu aku memilih untuk berjalan menuju Annaliese dan mengusap lengannya. “Aku memang tidak tahu mengenai apa yang kamu rasakan. Tapi mereka memang tidak adil. Aku janji, An, kalau aku berkesempatan bertemu dengan orang yang menculimu, aku tidak akan pernah melepaskan mereka. Aku akan membuat mereka meminta maaf padamu dan mendapatkan hukuman yang setimpal,” kataku. *** Aku merasakan sebuah tangan melingkar di perutku, aku pun langsung membuka mata dan terkejut setengah mati saat melihat Annaliese yang terlihat memejamkan mata sambil memelukku seperti memeluk guling. “Astaga, kenapa tangannya harus seperti ini sih.” Gumamku. Aku langsung menyingkirkan tangan Annaliese yang langsung masuk ke kamar mandi, aku tidak mau kalau situasi kami membuat kami canggung nantinya. Seusai mandi, aku pun kembali lagi ke tempat tidur. Di sana, aku langsung melihat Annaliese yang masih tertidur, pulas sekali sampai aku tidak tega untuk membangunkannya. Aku jadi teringat kisahnya yang dia ceritakan semalam. Cerita yang belum tentu bisa aku lewati kalau aku berada di posisi Annaliese. “Aku akan cari makanan untuk kita. Kamu tunggulah dulu di sini, jangan ke mana-mana,” kataku kepada Annaliese. Namun, tidak ada sahutan karena Annaliese memang sedang tertidur. Masih pulas, orang pulas tentulah tidak akan mendengar suara orang lain bukan? Aku pun langsung mencari makanan dan membelinya dengan cepat karena aku takut Annaliese terbangun sebelum aku sampai. Bisa-bisa dia berpikir kalau aku meninggalkannya. Syukur-syukur kalau dia tidak pergi. Kalau dia pergi maka aku akan repot. Sesampainya di dalam penginapan, aku melihat Annaliese yang masih tertidur. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku karena Annaliese kuat sekali tidurnya. Ini kali pertama dirinya seperti ini, padahal biasanya dia akan bangun pagi-pagi, bahkan lebih pagi dari aku. “An? Kamu belum bangun juga?” tanyaku kali ini. Annaliese tak menjawab dengan kata-kata melainkan dengan rintihan. Aku pun terkejut setengah mati. Aku langsung mengamati wajahnya yang kini terlihat pucat, hidungnya memerah dan air matanya turun terus menerus. “An? Bangunlah,” kataku. Annaliese pun akhirnya terbangun, matanya terbuka, namun dia kembali memejamkan matanya dan menangis. Aku pun langsung menempelkan tanganku di atas dahinya mencoba mengecek suhunya dan ternyata suhu tubuhnya tinggi sekali. “Astaga, An, sepertinya kamu demam.,” kataku yang langsung mengecek pipi Annaliese yang semuanya panas, begitu juga dnegan tangan Annaliese. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Kalau sudah begini aku ahrus pergi ke mana? -pertanyaan ini terus menerus berseliweran di kepalaku. Aku benar-benar merasa bingung saat ini. “Kamu tunggulah di sini, aku akan mencarikan obat untukmu. Tunggu aku akan kembali dnegan cepat,” kataku. Aku memilih untuk keluar dari kamar tersebut dan meminta air panas dan handuk kecil untuk dapat mengompres Annaliese yang kini sedang demam tinggi. Aku sudha menanyakan mengenai di mana tempat orang berjualan obat namun mereka mengatakan kalau tempat berobat sangat jauh dan di sekitar popelabuhan tidak ada yang menjual obat karena di sana sangat sulit mencari seorang peramu obat. “An, bertahanlah sedikit, aku akan mencoba mengompresmu,” kataku. Aku langsung mengompres dahi Annaliese. Annaliese menggigil kedinginan, aku pun mencoba semampuku untuk merawatnya. Setelah aku mengompresnya dan memberikan selimut berupa handuk kering yang aku tumpuk di atas tubuhnya dia pun tertidur. Aku menghela napas, ini kali kedua Annaliese seperti ini. Aku jadi merasa takut sekali. Ntah mengapa aku sekarang merasa trauma begitu dalam karena apa yang terjadi di zaman sebelumnya. Aku sangat trauma dengan Annaliese yang dahulu pernah sakit sampai meninggal. Aku tidak mau hidup sendiria, aku tidak mau kehilangan Annaliese. Jadi kali ini aku mencoba menupayakan yang terbaik untuk Annaliese. Beberapa jam kemudian, demam Annaliese mulai turun. “Syukurlah kalau demammu tidak seperti sebelumnya,” kataku. “Terima kasih, Badrun,” kata Annaliese sengan lirih, Aku hanya bisa menganggukkan kepalanya. Kemudian, Annaliese terlihat ingin bangun dari tidurnya lalu akupun langsung membantunya untuk duduk. Meski demamnya sudah turun, suhu tubuhnya masih terasa panas meski tak sepanas sebelumnya. Aku buru-buru mengambilkan Annaliese minum air mineral, “Minumlah dulu,” kataku menyodorkan air minum kepada Annaliese. Annaliese pun langsung meminumnya, “Terima kasih, BAdrun. Maaf karena aku harus merepotkanmu,” kata Annaliese. Bukan ini yang seharusnya aku dengar dari ibir Annaliese. Aku tidak mau kalau Annaliese merasa sungkan padaku. “Tidak perlu berterima kasih. Ini sudah kewajibanku untuk membantu dan merawatmu,” kataku. Annaliese pun tersenyum begitu saja. Bibirnya pucat. Ini kali pertama aku ingin Annaliese tidak tersenyum, sebab senyumannya terlihat dipaksakan dan palsu. Aku tahu kalau dia tengah merasakan sakit yang luar biasa, “Apa yang kamu rasakan, An?” tanyaku kepada Annaliese. “Aku sudah tidak apa-apa, Badrun,” kata Annaliese. Aku pun menghela nap[as dan menggelengkan kepalaku. Apa yang dikatakan oleh Annaliese tentulah yang yang tak bisa aku percayai. “An, kamu tidak perlu berbohong kepadaku. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja,” kataku. “Kamu bukan cenayang Badrun,” katanya mencoba bercanda. Aku jadi mendengus sebal mendengar Annaliese yang mencoba untuk melucu di waktu yang tidak tepat. Aku hendak mengatakan sesuatu namun aku teringat sesuatu. Aku teringat kalau Annaliase blum makan, aku harus menyuruhnya untuk makan. “Kamu lebih baik makan dulu, agar perutmu terisi,” kataku. Annaliese menggelengkan kepalanya, “Aku sedang tidak ingin makan, Badrun. Lagi pula mulutku pahit sekali,” kata Annaliese. Aku dapat memakluminya, kalau aku sakit, aku juga biasanya merasakan hal serupa. Makan tidak enak dan semuanya segrba malas. “Kamu ahrus makan, biar aku yang menyuapimu,” kataku. Pokoknya walaupun perutnya sedang terasa tidak enak namun Annaliese harus makan, aku tidak mau kalau dia semakin sakit. Annalsie menggelengkan kepalanya. “An, jangan seperti ini, kamu harus makan agar perutmu terisi. Kalau kamu tidak makan, yang ada kamu malah jadi tambah sakit,” kataku kepada Annaliese. Akhirnya setelah aku terus membujuknya akhirnya dia pun mengalah dan mau untuk makan. Kemudian, seperti janjiku, aku pun langsung menyuapinya makan. “Aaa, bukan mulutmu, An,” kataku menyodorkan sendok berisi makanan. Iya, aku menyuapinya dnegan sendok kayu yang aku pinjam dari pihak penginapan. Annaliese pun langsung membuka mulutnya dan mulai mengunyah. “Maaf Badrun aku jadi merepotkan kamu,” kata Ananlise. “Paahal aku sudha besar,” kata Annaliese. “Cepatlah sembuh kalau kamu tahu ini merepotkan,” kataku. Annaliese pun langsung cemberut begitu saja. aku hanya bisa tersenyum singkat dan kambeli menyuapinya. Annaliese pun menurut dan mulai memakan lagi. “Kalau kamu begini terus, aku jadi senang. Pokoknya kamu harus sehat terus, An,” kataku kepada Annaliese. “Cepatlah lulus dan ambil jurusan kedokteran, Badrun agar kamu bisa mengobatiku,” kata Ananlise. Kali ini aku terkekeh begitu saja, aku ingin mengatakan kalau hal itu sangatlah lucu karena kalau kami kembali ke masa kami, aku tentu tidak bisa mengobati seorang hantu, namun sepertinya aku tidak bisa mengatakannya untuk saat ini. “Kenapa kamu tertawa, Badrun? Apakah ada yang lucu?” tanya Annaliese. “Tidak apa-apa. Lucu saja, kita saja belum bisa keluar dari sini. Nantilah kalau sudah benar-benar keluar dari sini maka aku akan jadi dokter seperti yang kamu inginkan,” kataku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN