PPW 45 – Makan Siang Bersama

1100 Kata
Setelah Annalise sembuh, aku pun mengajaknya untuk menemui Malin Kundang untuk melihat keadaan. Aku juga akan mengatakan kalau aku sebelumnya pernah berkenalan dengan ibunya Malin. Namun, sesampainya di warung nasi tersebut, aku dan Ananlsie tidak melihat keberadaan dari Malin. “Kemana Malin, Bdrun?” tanya Annalise. Aku menggelengkan kepalaku aku juga tidak tahu kemana Malin pergi. “Aku tidak tahu. KAmu duduklah dulu, aku akan memesankan makanan dan kita akan tahui ke mana Malin. Annalise pun menganggukkan kepalanya, “Oke, Badrun.” Kata Annalise. Aku mengintip keluar untuk memastikan kalau kudaku, Badrun, masih ada di sana. Setelah memastikan kalau Badrun masih ditempatnya sambil memakan rerumputan segar aku pun langsung memesan makanan. Tentu saja untuk aku dan juga Annalise. Setelah aku memesan menu nasi dan juga ayam goreng selanjutnya akupun kembali menghampiri Annaliese. “Aku memesankanmu ayam goreng, apa tidka apa-apa?” tanyaku. “Annalise terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “Kamu aneh sekali, Badrun, tentu saja tidak apa-apa, memangnya kenapa?” tanya Annalise. “Nona Belanda bukannya makannya roti? Aku takut kamu tidak bisa memaskan nasi dan ayam.” Kataku sengaja membuat Annalise kesal. Dan, beanr saja kalau kini wajah Annalise mulai asam. Dia sepertinya kesal dengan apa yang aku katakan, namun biarlah tetap seperti itu karena hal itu terlihat menggemaskan di mataku. Katakanlah aku jahat bamun itulah yang aku rasakan. “Ck, kamu menyebalkan sekali, Adrun. Baiklah nanti kalau ada roti kamu tidak boleh memkannya karena makanan pokok kamu nashi.” Kata Annalise marah. Aku pun terkekeh begitu saja, “Aku akan menyembunyikan roti itu darimu, tenang saja.” kataku. Annalise pun terasa kesal setengah mati, aku bisa melihat dari rautnya, namun aku tidka peduli, sudah ku katakan bukan kalau dira memang snagat menggemasakan. “Kamu tidak akan berhasil. Aku akan memakai kaca pembesar agar bisa melihat gerak-gerikmu.” Kata Annalise dengan kesal. Aku terkekeh lagi, “Kamu pikir aku apa? Plankton?” “Bukan, bulu babi.” Ucap Annalise. Mendengar apa yang dikatakan oleh Annalise membuat aku kembali tertawa terpingkal-pingkal. Annalise lucu sekali. Tak lama kemudian, ada pelayan warung yang datang dan membawakan kami makanan yang aku pesan sebelumnya, namun pelayan itu bukan Malin, aku langsung menghentikan aksi tertawaku karea takut kalau pelayan itu tersinggung dan mengira kalau aku menertawakannya padahal aku sama sekali tidak melakukan itu. “Permisi tuan dan nona ini makanan anda.” Kata pelayan tersebut yang menghidangkan makanan. “Terima kasih.” Jawabku dan Annalise secar bersamaa. “Bang, di mana Malin ya? aku tidak meliahtnya sejak tadi?” tanyaku. “Oh, Malin sudah tidak bekerja di sini lagi, Bang. Dia diajak oleh saudagar kaya merantau ketempat yang sangat jauh, tapi aku tidak tahu dibawa ke mana dia.” Kata pelayan tersebut. “Oh begitu.” Kataku. Pelayan tersebut pun menganggukkan kepalanya, “Memang kenapa, Bang, ada hutang dia sama abang?” tanya pelaytan tersebut. Aku langsung menggelengkan kepalaku, “Tidak, hanya saja ada hal yang ingin aku sampaikan kepadanya tentang ibunya. Kalau seperti ini aku sendiri bingung harus mencarinya ke mana.” Kataku yang mencoba memancing informasi mengenai alamat Malin. “Ah, seperti itu, Malin ini agaknya sangat istimewa. Tapi maaf, Bang. aku tidak tahu keberadaannya, aku hanya tahu dia pergi bersama dengan Tuan Hamzah ke ibu kota.” erang pelayan tersebut. Aku terkejut dan sempat meliirk Annalise, Annalise pun mulai merasa dan mulai memikirkan hal yang sama sepetri apa yang aku pikirkan, aku bisa menduganya dari bagaimana dia menatapku. “Siapa nama lengkap tuan Hamzah?” tanyaku. “Sebentar aku ingat-ingat dulu, agaknya aku mengenal nama lengkap beliau karena BEliau adalah orang terpandang,” katanya smabil berpikir, “Ah, kalau tidak salah, nama beliau adalah Hamzah Syahbana. Iya, Tuan Hamzah Syah’bana.” Terangnya. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku, setidaknya aku masih ingat di kota mana beliau berada meski tetap saja aku tidak tahu mengenai di mana alamat persisnya. “Baiklah, terima kasih atas informasinya.” Kataku. Pelayan itu menganggukkan kepalanya dan pamit, “Kalau begfitu saya pamit akan menyelesaikan pekerjaanku yang lain.” Katanya. Aku pun menganggukkan kepalanya. Kemudian, aku pun langsung menatap makananku, padahal aku mengira kalau Malin akan berada di sini, kami berbicara, lalu selesai, misi ini selesai. “Apakah Tuan Hamzah yang diucapkan oleh pelayan itu adalah Tuan Hamzah yang kita kenal, BAdrun? Pemilik dompet yang aku temukan?” tanya Annalise. Aku pun menganggukkan kepalaku, “Iya, pemilik dompet yang kamu buang ke tempat sampah yang sanghat bau.” Kataku sengaja memperjelasnya. Annalise kali ini nyengir lembar. Aku tahu senyumannya mengandung rasa bersalah. “Baiklah, BAdrun, sepetrinya kita harus makan dengan segera dan mulai perjalanan kita lagi.” kata Annalise. Annalise pun langsung melipat lengan bajunya bersiap-siap untuk makan karena dia tidak mau kalau bajunya terkena sambal. Aku pun tak memiliki banyak pilihan sata ini sehingga aku memil;ih untuk menganggukkan kepalaku, “Baiklah, aypo kita makan, makan yang banyak agar kita bisa jadi orang yang snagat kuat.” Kataku. “Setidaknya kuat menjalani kehidupan yang aneh ini.” Kata Annalise sambil terkekeh. Aku pun ikut tertawa karena ulahnya. Annalise memang seperti itu, selalu mebuatku tertawa. Aku jadi membayangkan bagaimana dirinya saat dia masih hidup. Namun, aku tidak mau merusak acara makan siang kami karena aku takut menyinggung perasaannya, bagaimanapun aku tidak mau kalau dia merasa sedih dan justru tidak ingin makan. “Kamu tahu tidak Ann…” kataku. “Apa?” tanya Annalise mendongak ke arahku. “Apa yang paling aneh di sini?” tanyaku. “Apa?” tanya Annalise. “Lihatlah, bukankah aneh melihat pelayan yang terlihat sibuk namun tidak banyak tamu yang datang berkunjung?” tanyaku. Annalise pun menganggukkan kepalanya mengerti pertanyaanku dna menyetujui pendapatku, “Sepertinya mereka yang masuk ke sini hanya ornag kaya saja, Badrun.” Kata Annaliese. “Berarti kita orang kaya?” tanyaku smabil terkekeh. Annalise yang mendengar pertanyaanku pun juga ikut tertawa begitu saja, “Sepertinya begitu.” Jawab Annalise sambil terkekeh begitu saja. “Sudah-sudah, lebih baik kita abiskan makanan kita da langsung kembali melanjutkan perjalanan kita.” Kataku. Annalise pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. “Baik, Badrun.” Kata Annalise. Aku menganggukkan kepalaku dan kembali melanjutkan acara makanku. Aku mengamati Annalise yang kini tengah memakan ayam gorengnya dnegan lahap. Aku menggelengkan kepalanya, Annalise terlihat seperti ornag yang tidak pernah makan ayam sebelumnya. “Apa enak sekali sampai kamu seperti itu, An?” tanyaku. Annalise terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “Ini enak sekali, BAdrun.” Kata annalise. Aku mengambil ayam gorengku yang baru aku makan sedikit lalu kuberikan kepada Annalise. Aku meletakkannya di piring Annalise. Annalise pun menatapku bingung. “Makan saja, aku bosan sekali makan ayam. Aku hanya perlu makan sayur.” Kataku. Wajah Annalise pun seketika cerah begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN