PPW 46 – Pekerjaan untuk Kami

1090 Kata
Aku kembali memulai petualanganku dengan Annaliese. Gadis itu memang terlihat begitu semangat ketika berada di dekatku. Aku kadang berpikir kalau dia menyukaiku. Astaga, pemikiran macam apa ini? Aku dan Annalise bertekad untuk pergi mencari keberadan Malin, bagaimanapun caranya aku harus terus bertemu dengannya, bagaimana pun caranya. “Aduh, Badrun, meski aku suka berjalan-jalan, namun kali ini kakiku benar-benar sakit sekali.” Keluh Annalise. Annaliese pun langsung membungkuk dan memijit kakinya. Aku sangat tahu kalau dirinya tengah kelelahan setengah mati karena aku mengajaknya melewati perjalanan. Kami sudha turun dari Badrun, aku merasa tidak enak kalau aku trus menerus menunggangi Badrun selama berhari-hari karena hal itu sama saja menyiksanya. Jadi, aku memutuskan hanya menunggangi badrun ketika hari-hari tertentu saja. “Badrunn, ntah ini adalah keajaiban atau bukan, lihatlah siapa yang ada di sana!” kata Annalise. Mendengar apa yang dikatakan oleh Annaliese, aku pun langsung mengarahkan pandanganku kea rah yang ditunjuk oleh Annaliese. dan seketika aku pun mendapati Malin ada di sana bersama dengan seorang perempuan cantik. “Siapa dia?” tanyaku. Annaliese hanya bisa mengangkat bahunya, tidak tahu siapa perempuan cantik yang kini berada di samping Malin. “Mungkin dia calon istrinya,” kata Annaliese, “Tapi aku kurang tahu juga sih,” katanya. Aku dan Annaliese tidak bisa maju menemui Malin saat ini karena Malin tentu akan merasa curiga melihat aku yang terus-terusan datang menemunya. Saat sedang mengamati Malin dari jauh, seseorang pun menghampiri aku dan Annaliese. “Anak muda!” sapa seorang pria paruh baya. Aku pun langsung menoleh karena aku merasa kalau panggilan itu ditujukan kepadaku. Kemudian, aku pun langsung menoleh karena merasa ada yang memanggilku. “Iya, Pak? Ada apa ya?” tanyaku. “Tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin menawarkan pekerjaan. Kamu sepertinya memiliki kuda jadi aku ingin menawarkan apakah kamu mau menjadi pengantar surat? Aku sedang membutuhkan satu orang karyawanj lagi untuk membantuku mengerjakan usahaku,” kata pria paruh baya tersbeut. Annalise dan aku pun berpandangan. Menurutku ini bisa aku manfaatkan. Aku bisa menjadi pengantar surat dan kemungkinan aku akan mengantarkan surat kepada Malin. Namun bagaimanapun ini hanyalah dugaan semata namun setidaknya harus aku coba. Karena berdasarkan buku yang abu cara. Ibunya malin dan Malin akan sering berkiriman surat karena di zaman ini belum ada ponsel. “Bagaimana, Nak? Kalau mau kamu datanglah ke rumah yang kujadikan kantor pos di sana,” kata pria paruh baya itu kepadaku. Beliau juga menujukkan di mana rumahnya. “Baik, terima kasih,” kataku. Aku tentu akan mendatanginya namun sebelum itu, aku harus berunding terlebih dahulu dengan Annalise. Kalau memang Annalise setuju maka aku pun akan langsung mendatanginya. Setelah pria itu pergi, aku pun langsung menoleh kea rah Annalise. Di sana matanya belum pelas dari punggung laki-laki tersebut. “Bagaimana?” tanyaku kepada Annaliese. Annaliese menoleh kepadaku. “Aku terserah kamu saja, Badrun, kan kamu yang akan bekerja. Tadinya aku ingin bertanya kepadanya Badrun apakah aku bisa ikut menjadi karyawannya juga atau tidak, namun mengingat beliau hanya membutuhkan satu karyawan saja jadi aku tidak bisa ikut.l” kata Annalise. Aku pun tersenyum dan menggelengkan kepalaku, “Hahahah An, An, ini pekerjaan laki-laki. Kamu kan perempuan, jadi sudah tentu tidak akan bis amelakukannya,” kataku. Mulut Annalise mulai cemburu lagi, dia merasa kesal atas apa yang aku katakan, “Enak saja. Semua yang dilakukan oleh laki-laki itu semuanya bisa dikerjakan ooleh anak perempuan tahu?” katanya. “Tentu saja tidak,” kataku. “Terserah kamu saja deh,” katanya terlanjur kesal. Aku hanya bisa terkekeh melihat bagaimana dia merasa kesal, “Jadi bagaimana? Menruutmu, baiknya aku terima saja atau tidak?” tanyaku. “Ada untungnya kah buat kita?” tanya Annalise. “Tentu banyak, An, pertama kita bisa mendapatkan uang, aku bisa membelikanmu makan, siapa tahu kita dapat tempat tinggal, dna yang terpenting kita bisa melihat surat yang dikirimkan Malin kepada ibunya dan sebaliknya. Bagaimana?” tanyaku. Annalise berpikir sebentar kemudian, dia pun langsung menganggukkan kepalanya, “Maaf ya, Badrun kamu jadi bekerja sendiri hanya untuk mencukupi kebutuhan kita,” kata Annalise. “Iya, tidak apa-apa,” kataku. “Baiklah kalau begitu aku mengizinkan,” kata Annalise. Aku pun menganggukkan kepalanya. Kemudian, kami pun langsung pergi mengajaknya ke kantor po itu dna langsung mengatakan kepada pemiliknya kalau akum au bergabung dnegan mereka. “Permisi, Pak. Saya ingin memberitahukan kalau saya mau bekerja sebagai pengantar surat,” kataku. Pria peruh baya itu pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja, beliau merasa ini adalah keputusanku yang sangat hebat. “Tapi, Pak. Apakah kami bisa mendapatkan tempat tinggal? Kamu belum punya rumah dan …” kataku. “Kalian tidak perlu memikirkan itu. Itu semua biar kalian srahkan kepada saya. Lagi pula saya sudah menyiapkan tempat. Kalian bisa tidur di rumah ini karena rumah saya berada sekitar 1km dari sini,” kata pria paruh bay aitu. Aku dan Annalise pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja padahal menurut Annaliese dan juga aku, jawak itu sangatlah jauh namun mau bagaimana lagi. “Oh begitu, syukurlah kalau begitu. Jadi saya bisa tinggal di sini dna bekerja mulai kapan, Pak?” tanyaku. “Tentu saja mulai hari ini. Surat-surat sudah banyak yang datang jadi kita harus cepat mengantarnya,” kata pria itu. “Oiya, sebelum boleh saya tahu nama bapak?” tanyaku. Kalau dipikir-pikir, sejak pertemuan sampai aku bekerja kepadanya saat ini, aku belum tahu siapa namanya. Jadi aku akan menanyakan kepadanya. “Oh nama saya Sanjaya. Haahahahaha maaf ya, saya sangat bingung mencari karwayawn sehingga saya bahkan lupa memberikan nama saya, siapa namamu?” tanya Pak Sanjaya. “Nama saya, Badrun, dan ini Annaliese, Pak,” kataku. Pak Sanjaya pun langsung menganggukkan kepalanya, “Salam kenal,” katanya. Aku dan Annaliese pun menganggukkan kepalanya, “Terima kasih karena kalian sudah menerima kami,” kataku. “Sama-sama.” Jawab Pak Sanjaya. “Begini saja, apakah istrimu juga mau bekerja?” tanya Pak Sanjaya. Aku snagta terkjeut dan emrasa bingung mengenai dari mana Pak Sanjaya tahu kalau Annalise adalah istriku namun kali ini sepertinya tidak penting jadi aku tidak mau membahasnya lebih lanjut. “Mau, Pak. Apakah ada pekerjaan untukku?” tanya Annalise. Mata Annalise berbinar-binar. Ntah mengapa dia sangat berharap kalau dia akan dapat pekerjaan agar tidak hanya aku yang mencari uang. Aku melirik Annalise, semoga saja Pak Sanjaya mengtaakan tidak ada. Namun semuanya ada di tangan Pak Sanjaya. “Ada, bagaimana kalau kamu menjaga kantor saj sealam kami pergi. Pengantar paket dan surat ini tentu bukan hanya Badrun melainkan saya juga. Jadi kalau kamu mau, kamu bisa berjaga di sini, mencatat barang yang masuk dan keluar,” kata Pak Sanjaya. “Baik, saya mau, Pak,” kata Annaliese
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN