Setelah Annaliese mengantarakan Mande Rubiyah ke kamar, selanjutnya dia pun menghampiriku yang sedang duduki di luar. Sudah mulai siang. Karena masalah ini pula aku belum bisa berkeliling mengantarkan paket.
“Sebetulnya ada apa, Badrun?” tanya Annaliese kepadaku.
“Seperti yang kita tahu, Malin tidka mau mengakui ibunya,” kataku.
“Aku benar-benar bingung. Mengapa Malin bisa berubah sepetri ini ya, Badrun? Padhala kitra tahu kalau Malin adalah anak yang baik,” kata Annaliese.
Aku sebetulnya juga tidka tahu persis mengenai mengapa Malin sangat jahat kepada ibunya meski MAlin adalah anak yang sangat baik.
“Aku sebetulnya tidka tahu, Ann, hanya saja kalau aku melihat apa yang terjadi, aku rasa hal itu karena materi.” Ucapku.
“Maksudmu?” tanya Annaliese.
“Mungkin dia baru merasakan hidup enak sehingga dia sampai seperti ini namun untuk lebih jelasnya, kita harus tanyakan kepadanya secara langsung,” kataku.
Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. Tiba-tiba aku menguap. Wajar saja demikian mengingat aku yang memang tidak tidur-tidur sejak semalam.
“Lebih baik kamu istirahat, Badrun,” kata Annaliese.
“Sepertinya begitu,” kataku.
“Ya sudah, kamu tidur saja dulu. Biar aku saja yang mengantarkan paket-paket yang datang,” kata Annaliese.
Aku pun langsung menggelengkan kepalaku. Bagaimana pun, meski pun aku harus beristirahat namun aku tidak akan membiarkan Annaliese menggantikan posisiku. Sejujurnya, aku sendiri saja yang merupakan seorang anak laki-laki merasa sangat lelah mengerjakan pekerjaan ini.
“Tidak. Jangan. Kalau kamu pergi tidak ada yang mengerti pencatatan kalau ada yang datang,” kataku berdalih.
“Aku akan mengajarimu sebelum pergi,” kata Annaliese.
“Kalau hal itu sampai terjadi, aku tentu tidak akan bisa tidur,” kataku.
Kali ini Annaliese langsung terdiam. Sepertinya dia mulai menyetutikio apa yang sedang aku katakan.
“Kamu benar juga, Badrun,” kata Annaliese.
“Aku akan tidur sebentar, tolong bangunkan aku kalau sudah dua jam ya,” kataku kepada Annalies.e
Annaleise yang mendengar apa yang aku perintahkan pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. Mungkin dia tahu kalau tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain itu. Lagi pula aku lebih suka begini. Dengan dia menurut aku bisa cepat tidur.
Mataku seperti ada lemnya, minta tidur terus.
“Yasudah kamu tidurlah, Badrun,” kata Annalieese.
Aku pun langsung menganggukkan kepalaku. Kemudian, aku pun langsung berjalan menuju ke pojok ruangan kantor tersebut dekat dengan tempat Annaliese berjaga. Di rumah itu kamarnya hanya ada satu dan kini tengah ditempati oleh Mande Rubiyah. Aku tentu tidak bisa tidur dengan Mande Rubiyah mengingat aku sudah besar dan tahu sopan santun.
“Kasihan sekali kamu, Badrun.” Ucap Annaliese hali ini hanya kalimat itu sajalah yang bisa aku dengar.
***
Aku terkejut melihat di mana aku sekarang. Aku sangat tahu dan sadar kalau aku kini berada di rumahku. Di rumah di dunia nyataku. Air mataku pun jatuh begitu saj, ntah mengapa aku sangat merindukan keluargaku.
Tak lama kemudian, aku melihat ibuku yang keluar dari rumah sambil membawa sapu. Lalu ibuku menyapu di halaman rumahku. Aku yang merasa sangat senang melihat kehadiran ibu langsung merasa senang.
“Ibu!” seruku begitu saja.
Aku pun langsung berlari begitu saja menuju ibuku. Sesampainya di sana aku langsung memeluk ibuku dengan sangat erat. Aku menciumi pipi kanan dan kiri ibuku. Aku merindukan ibuku.
“Nak? Kamu pulang?” tanya ibuku.
Aku pun langsung menangis mendengar suara ibuku tersebut, “Iya, Ibu. Ini anakmu. Aku sudah pulang,” kataku.
Aku pun merasa bersyukur karena ibuku masih mengenali aku. Namun ntah mengapa tiba-tiba ibuku langsung melepaskan pelukannya kepada diriku.
“Tidak, kamu bukan anakku!” seru ibuku tiba-tiba.
Aku pun terkejutr bukan main. Mata ibuku yang awalnya terlihat teduh kini berubah menjadi asing, beliau seperti benar-benar tidak mengenaliku lagi.
“Bu, ini aku, anakmu, Bu,” kataku.
“Tidak! Anakku sudah tidka ada, dia sudah meninggalkan aku bertahun-tahun lamanya,” kata ibuku sambil menangis.
Aku pun langsung berjalan menuju ke arah ibuku. Di sana aku langsung mencoba memeluk ibuku untuk menyadarkan ibuku kalau aku benar-benar anaknya. Aku tentu tidak mau kalau sampai tidak diakui sebagai anak oleh ibuku sendiri.
“Bu, ini aku, Badrun, anakmu,” kataku.
“Tidak, anakku pergi ketika kami bertengkar, dia tidak mau lagi pulang ke rumah setelah itu. Jadi kamu bukanlah anakku. Aku sudah kehilangan anakku,” kata ibuku yang kian berteriak.
Aku yang melihat apa yang terjadi di hadapanku akhirnya menitikkan air mata. Bagaimana mungkin ibuku bisa seperti ini? Namun, satu hal yang membuat aku tidak bisa menyalahkan ibuku. Orang yang pergi meninggalkan ibuku juga keluargaku adalah aku sendiri.
Aku jadi merasa bersalah sekali mengingat ibuku yang masih teringat mengenai kejadian terakhir kali kami bertemu di mana aku marah-marah kepada ibuku. Aku benar-benar merasa bersalah sekali.
“Bu, maafkan aku. Aku benar-benar menyesal,” kataku mencoba meluluhkan hati ibuku.
Namun, bukannya luluh, ibuku justru langsung pergi begitu saja meninggalkan aku untuk masuk ke dalam rumah. Aku pun mencoba mengejar ibuku namun ntah mengapa aku tidak bisa berhari. Aku pun jatuh terduduk dan langsung mencoba sekuat tenaga untuk sampai di depan pintu rumahku yang sudah tertutup.
Aku pun langsung mengetuk pintu rumah tersebut, “Bu, buka pintunya, Bu. Ini Badrun! Maafkan Badrun, Bu!” seruku.
Namun, aku tidak mendengar jawaban apapun dari dalam rumahku. Kemudian aku pun langsung menangis begitu saja.
“Bu- Ibuu!!!” seruku yang terus memanggil-manggil ibuku.
***
“Badrun! Badrun bangun! Badrun!” seru seseorang.
Aku pun langsung membuka mata. Aku langsung mencari keberadaan ibuku, “IBU!” seruku.
Annaliese yang ada di depanku langsung mengusap-usap bahuku, “Badrun, kamu pasti habis bermimpi ibumu ya?” kata Annaliese.
Aku tak langsung menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Annaliese. Aku memilih untuk mengusap wajahku dengan menggunakan telapak tanganku. Kemudian, aku pun langsung mencoba menenangkan diriku sendiri.
Annaliese tiba-tiba memelukku, ntah kenapa, “Kamu pasti merindukan ibumu ya, Badrun? Kamu yang sabar ya, semoga kita bisa cepat pulang dan kamu bisa kembali ke orang tuamu,” kata Annaliese.
Aku tertegun sebentar mendapatkan perlakuan manis dari seorang Ananlise. Aku pun tidak bisa menyembunyikan rasa senangku, aku pun tersenyum dan menganggukkan kepalaku, “Iya, An, makasih ya?” kataku.
Annaliese pun langsung menganggukkan kepalanya.
Di saat kami tengah asyik berpelukan sseseorang pun masuk dan mengucap salam, “Assalamualaikum!” salam orang itu.
Aku dan Annaliese sontak langsung melepaskan pelukan masing-masing. Kami tentulah merasa malu dengan apa yang terjadi.
“Waalaikumsalam.” Jawabku dan Annaliese. kami berdua pun langsung berdiri. Annalieese langsung berjalan menuju ke mejanya.
“Dasar anak muda. Main berpelukan di siang hari. Kalau mau berpelukan tutuplah pintu terlebih dahulu agar tidak ada yang mengganggu.” Ucap bapak-bapak yang masuk ke kantor.
Aku dan Annaliese hanya bisa salah tingkah, dan aku mendengar Annaliese yang mengatakan maaf begitu saja. dalam hati rasanya aku ingin menertawakan Annaliese saat ini juga namun apa daya, karena aku sendiri pun turut menjadi bahan ceramahan tersebut.
Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal