PPW 35 – Perjalanan

1191 Kata
Aku mulai berkemas, aku tidak membawa banyak barang, aku hanya membawa satu pakaian yang akan aku gunakan untuk ganti pakaian. Kemudian, aku pun mulai berpamitan dengan Raja Rahwana. Beliau terlihat tidak tega melihatku namun mau bagaimana lagi. ini semua memang harus aku lakukan. “Ini, bawalah ini,” kata Raja Rahwana yang memberikan sebuah gulungan kertas kepadaku. “Apa ini, Raja?” tanyaku. “Itu adalah peta. Aku berharap dengan peta itu, kamu bisa sampai di tujuan dengan selamat dan dengan cepat,” kata Raja Rahwana. “Terima kasih, Raja,” kataku. Raja Rahwana pun menganggukkan kepalanya, “Hati-hati di jalan,” kata Raja Rahwana. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku lagi. Kemudian, aku pun langsung bergegas untuk pergi. “Tunggu Badrun! Bawalah ini juga bersamamu,” kata Rja Rahwana ketika seorang dayang smapai diantara kami. Aku pun menganggukkan kepalaku. Kali ini aku tidak bertanya mengenai apa yang beliau berikan kepadaku. Karena sungguh aku sudah tidak tahan terus berada di sana. Mereka memang sangat baik kepadaku namun aku masih sangat mencemaskan Annaliese. Aku takut kalau terjadi sesuatu yang buruk kepadanya, karena itulah aku tidak bisa berlama-lama. “Terima kasih, raja,” kataku. Di depan istana sudah ada sebuah kuda yang ntah sejak kapan di persiapkan. “Bawalah dia akan menjadi teman perjalananmu,” kata Raja Rahwana. Aku kembali menganggukkan kepalaku dan berterima kasih, “Terima kasih, Raja,” kataku. Sebetulnya, Raja Rahwana memanglah orang yang sangat baik. Hal itu bisa aku ketahui dari bagaimana beliau memepelakukan aku dan Annaliese. Beliau sangat baik kepada kami. AKu bahkan merasa beruntung bisa berkenalan dengan seorang laki-laki yang seperti beliau. Kini aku mulai menunggangi kuda tersebut. Sejujurnya ini adalah kali pertama aku berkuda namun ntah mengapa karena rasa inginku aku bisa menunggangi kuda ini dengan baik. Kuda ini pun benar-beanr jinak. Aku tidak merasa kesulitan sama sekali. “Bawalah aku ke Istana Kosalan, Kuda. Kau adalah kuda yang sangat baik dan terbaik yang pernah aku tunggangi,” kataku. Seakan mengetahui apa yang aku katakan, Kuda itu pun langsung menguik begitu saja dan mulai mempercepat langkah kakinya. Aku pun mulai berpegangan dengan sangat kencang. Wajahku mulai tertampar Angin, namun untungnya keadaan hutan selalu bisa membuatku merasakan kesejukan meski kami melintas pada siang hari. Di perjalanan, yang aku pikirkan hanya Annaliese saja. Aku tidak tahu bagaimana nasibnya. Setelah lelah berjalan dan laju kuda yang kian melambat, aku pun langsung memutuskan untuk berhenti karean aku tahu kalau kuda yang membawaku merasa haus. Aku mencari sungai agar kuda ini bisa meminum dan aku bisa beristirahat sebetar. Aku mengikat kudaku di sebuah pohon, lalu kudaku mulai meminum air sungai seperti benar-benar merasa kehausan. Aku pun mengeluarkan pembelakan yang diberiakan oleh Raja Rahwana, kemudian, aku pun langsung membuka isinya, dan ternyata Raja Rahwana menyiapkan makanan untukku. Aku yang memang kelaparan langsung memakan makanan itu. “Raja Rahwana benar-benar baik,” kataku. Aku menatap kuda bmilik Raja Rahwana yang diberkan kepadaku. Aku sangat tahu kalau kuda ini adalah kuda paling penurut dan juga lincah di kerajaan Alengka. Kuda milik orang nonor satu di kerajaan tersebut, yakni Raja Rahwnaa. “Aku tidak tahu siapa namamu, namun aku snangat berterima kaih kepadamu karena kamu mau menemani perjalananku,” kataku kepada kuda. Biarkah kalau memang aku terlihat seperti ornag gila yang berbicara dengan binatang namun aku memang merasa harus berterima kasih dengan kuda ini. “Ini makanlah.” Kayaku memberikan sepotong kue kepada kuda tersebut, kuda tersebut pun langsung memakannya, aku langsung mengusak kepada kuda tersebut hingga kuda tersebut langsung menguik lagi. Kuda yang benar-benar pintar. Aku melanjutkan acara makanku dan kuda tersebut juga melanjutkan aktivitasnya yang sedang makan rumput di sekikar kakinnya. Tali kuda tersebut cukup panjang sehingga kuda tersebut masih memiliki ruang gerak yang cukup leluasa. Setelah aku kenyang, aku memilih untuk menyimpan bekal maknaan itu kembali, mengikatnya dengan kain dan mulau melenpangkan kain tersebut di punggungku. Ikatannya sudah cukup kencang sehingga tidak akan membuatnya terjatuh. Setidaknya sudah aku coba sebelumnya dan memang tidak jatuh, semoga saja ikatanku juga sekuat ikatan sebelumnya. “Hari ini aku akan menamaimu Badrun. Seperti namaku. Aku berharap dengan nama yang sama kau akan menyukaiku dan membantuku bertemu dengan Annaliese. Aku akan mencontohmu yang sangat kuat. Aku yakin kalau aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. “Mari kita kembali melanjutkan perjalanan,” kataku mengusap kepalanya. Kuda tersebut pun langsung menguik lagi seakan mengeerti apa yang aku katakan. “Bagus,” kataku memujinya sambil melepaskan tali kuda dengan pohon yang aku ikatkan sebelumnya. Kemudian, aku pun langsung memegangi pelana kuda tersbeut dan langsung naik ke atas pelana tersebut dengan mudah. “Baiklah, Badrun. Mari kita berangkat menyelematkan Annaliese,” kataku. Kuda mulai berlari lagi. Aku langsung mencengkeran pagangan lalu kuda melesat dengan baik dan cerdas seperti sebelumnya. Malam pun datang. Aku tentu tidak bisa melanjutkan perjalanan pa amalam hari karena aku sangat tahu kalau pada malam hari, hewan buas sedang banyak yang mengincar mangsa mepuk. Aku tidak mau bertemu dengan babi hutan yang bisa membunuhku dan kudaku dengan tragis. “Kita harus bermalam dulu, Badrun! Kita isi tenaga kita dengan beristirahat sejenak,” kataku kepada Badrun yang tak lain adalah kudaku. Malam pun terus berlanjut. Aku memang merasakan ketakutan berada di dalam htan sendirian namun aku selalu teringat pada Annaliese dan Annaliese selalu membuatku merasa berani. Ntah mengapa. Kudaku sudah mulai tertidur dan meringkukkan badannya. Aku hanya bisa mengusap-usap kepalanya begitu saja. Kemudian, tak lama kemudian, aku pun mulai mengantuk dan tidur di dekat Badrun (baca: kuda). Aku mulai bermimpi tentang Annaliese. Di dalam mimpi tersebut Annaliese sangatlah antik. Namun, dia terlihat meras asedih dan meminta tolong kepadaku. “Ann, ada apa?” tanyaku kepada Annaliese. Annaliese hanya bisa menangis seraya berkata, “Cepat bebaskan aku, Badrun. Aku mohon,” kata Annaliese. “Itu adalah hal yang sedang aku lakukan. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu semua,” kataku. Aku mencoba mendekati Annaliese, namun Annaliese pergi begitu saja. Aku pun mau tak mau langsung mengejar Annaliese, karena tujuanku memang datang mencari Annaliese yang kini keberadaannya tidak diketahui. “ANNALISE!” teriakku terkejut. Aku langsung membuka mata dan langsung mendangkap suasana hutan rindang yang tampak sangat menyejukkan mata. Aku pun langsung terkejut dan langsung menoleh ke kanan dan ke kiri belum menyadari keberadaanku sekarang. “Di mana aku?” tanyaku kepada diriku snediri. Aku benar-benar tidak ingat dengan apa yang terjadi. Nyawaku masih tercecer belum kembaliu seutuhnya. Kemudian, aku mendapati Badrun di sisiku. Seketika aku langsung teringat semuanya. Aku teringat tentang perjalananku, aku bahkan sangat ingat kalau aku sudah menami kuda pemberian dari Raja Rahwana itu dengan nama Badrun. “Asatag, jam berapa sekarang?” tanyaku menatap matahari yang sudah mulai unjuk gigi. Aku pun langsung menghembuskan nafasnya sendiri setelah mendengar apa yang diakatakan  oleh dirinya sendiri tersebut. Dia sudah tidak memiliki jam tangan. Di zaman ini bahkan tidak ada yang memilikinya. “Aku lupa di zaman ini belum ada jam,” kataku. Aku pun menghela napas dan mulai menunggangi kuda lagi dan mencari sungai. Kemudian, aku pun kembali memakan bekal yang dibawakan oleh Raja Rahwana lagi. Rasa makanan itu sudah berubah namun aku harus tetap memakannya karena aku tidak memiliki makanan lain. Namun kali ini aku tidak memberikan Badrun sama sekali karena takut dia sakit perut dan membuatku merasa repot.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN