Takut ketahuan Ren yang mengendap-endap itu semakin terasa cemas. Meski ia menyayangi Jimmy, namun dengan seperti ini Ren sedikit ragu dengan sahabatnya itu. Apa lagi Jimmy tak mengatakan apapun pada Ren. Ia tidak meminta bantuan Ren padahal mereka sangat dekat. Padahal selama ini Ren selalu menceritakan segala masalah yang ia hadapi pada Jimmy.
Sementara Jimmy malah menghilang dan tak menceritakan apapun yang saat ini mungkin sedang ia hadapi. Apa yang Jimmy lakukan membuat Ren semakin kecil hati. Menibulkan keraguan akan ketulusan yang selama ini Jimmy berikan.
"Kenapa kamu tidak datang padaku?"
"Kenapa tidak meminta bantuanku?"
"Kenapa kamu malah menghindariku?"
Banyak pertanyaan menghantui Ren, banyak pula keraguan yang muncul dari apa yang Ren saksikan saat ini.
Berniat membantu sang sahabat, kini Ren malah kehilangan arah. Ia tidak bida meyakini dirinya jika apa yang saat ini Ren lakukan adalah sebuah tindakan yang benar.
Kepastian ingin Ren dapatkan. Setelah ia mendekati kantung besar itu, Ren memastikan bahwa Jimmy dan Arisa sedang sibuk pada penggaliannya yang sedikit masuk ke dalam hutan.
"Semoga saja itu bukan mayat."
Berapa kali pun Ren mencoba meyakinkan namun apa yang terlihat dari kantung tersebut sungguh membuat hati Ren ketir. Apa lagi di saat Ren mendekat, aliaran air dan juga teteas darah keluar dari kantung tersebut.
"Darah!"
Ren pun semakin yakin dengan apa yang ia saksikan, aroma menyengat itu juga sudah mutlak menusuk hidungnya. Ren bisa memastikan jika di dalam kantung tersebut teradapat sebuah mayat.
Lari pontang panting tanpa memeriksa isi dai dalam kantung itu dengan benar. Ren menggigil di dalam mobilnya. Ia melajukan mobilnya dengan sesak yang terus mencekik lehernya.
"Apa itu tadi? Mayat, itu benar sebuah mayat?"
Tubuh Ren masih gemetar, pikirannya tidak bisa fokus. Bayangan kantung itu terus terngiang dalam benaknya. Belum lagi aroma menusuk itu yang terus tercium hidungnya meski ia tahu aroma itu tidak nyata. Hanya saja, kesan akan hal tersebut membuat Ren seolah masih bisa mencium aroma busuk itu.
"Sebenarnya kamu terlibat dengan apa Jimmy? Kenapa ada mayat seperti itu?"
Ren semakin yakin jika hal berbahaya kini berada tepat di hadapannya. Namun, sekali lagi Ren dihadapkan pada sebuah kenangan yang menyayat hati Ren tiap kali ia berpikir ulang.
"Tapi, aku harus tahu apa yang terjadi sebenarnya sebelum sembarangan menyimpulkan?"
"Aku tidak boleh menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan apa yang aku pikirkan dan lihat sebentar?"
Berusaha untuk tetap berpikir positif Ren mencoba menyingkirkan bayangan kantung misterius dan aroma menyengatnya itu. Ia berharap Jimmy bukan pelakunya. Mungkin saja, Jimmy terjerat seperti Ren yang tak takut lepas dari Ariisa. Bisa saja jika Jimmy juga mengalami hal itu.
Meski begitu, Ren sedikit tidak mengerti. Kenapa Jimmy malah meminta bantuan Arisa dan bukannya dirinya. Padahal selama ini Ren yakin, Jimmy tak pernah membahas tentang Arisa sedikit pun. Ia hanya pernah membawanya ke rumah dengan urusan yang Ren juga tidak mengerti. Tapi, selepas itu Ren yakin jika Jimmy tak pernah bercerita apapun mengenai Arisa.
"Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan Jimmy?"
"Kenapa aku malah berputar pada hal yang sangat tidak aku mengerti?"
Seolah jalan ditempat Ren kini tak bisa mengetahui apa yang sebenarnya Jimmy lakukan, ia tidak berani membahasnya dengan Arisa, belum lagi Ren yang semakin hari semakin menyadari jika Arisa adalah orang yang berbahaya. Sehingga Ren sendiri terjebak dalam jebakannya pada Arisa.
"Aku tidak bisa lepas dari Arisa dan juga tidak bisa pula untuk mengabaikan kamu Jimmy?"
Masih teringat jelas dalam ingatan Ren saat tak ada yang berpihak kepada Ren, saat ia harus terpuruk sendirian dan tak ada satu orang pun yang mengulurkan tangannya pada Ren. Namun, bak sebuah buih soda dingin di siang hari. Jimmy hadir menepuk pundak Ren, merangkulnya dan memberikan kesegaran yang manis. Seorang teman yang hanya menemani tanpa banyak bertanya tentang apa yang sedang Ren hadapi. Hanya berdiam di sisi Ren dengan senyumannya yang cerah.
Ren mengakui sosok Jimmy yang berjasa untuknya. Jimmy yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Sahabat yang mungkin akan melakukan hal yang sama bila berada di posisinya. Setidaknya, Ren berusaha untuk tetap mengejar Jimmy sampai semua kenyataan terbongkar.
"Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus meraih kepercayaan Arisa dan memikirkan cara yang lain untuk bisa mengatahui info tentang Jimmy!"
Bersama dengan kenangannya dan rasa takutnya itu, Ren pun memiliki tekad yang baru. Pikirannya terus terpecah dan ia mencoba datang ke rumah Arisa dengan tubuh yang masih gemetar.
Ada satu hal yang terpikirkan olehnya, ia ingin membuat Arisa semakin terpikat olehnya. Ren ingin bersikap lebih manja pada Arisa, tidak hanya sekedar menjadi pria yang menghibur Arisa, Ren ingin memastikan bila Arisa akan memberikan hati dan juga jiwanya untuk Ren. Semua itu butuh proses dan memang begitulah seorang Ren. Memburu dengan giat hingga mendapatkan apa yang ia inginkan, setelah itu Ren akan mempertimbangkan lagi apa yang akan ia lakukan pada sosok Arisa.
"Toh, mau Arisa atau bukan itu tidak masalah bagiku. Aku hanya harus terus bertahan."
Setidaknya bagi Ren tidak penting adanya cinta atau tidak. Semua sama saja, hakikat manusia itu sama. Bertahan hidup dan memiliki keturunan. Tak peduli siapa pasangannya yang jelas hidup juga akan terus bertahan.
"Hanya mengikuti arus kehidupan, selama pasangannya tidak bersikap kasar, Aku yakin jika hubungan itu akan bertahan."
Keputusan itu membuat Ren semakin ingin terlibat dengan Arisa, tak peduli apapun karena dia sudah bertekad.
Sambil menunggu Arisa dengan resah, Ren berdiri di depan gerbang tersebut. Matahari bahkan nyaris menyembul, namun Ren tidak bergeming, ia harus menunggu Arisa pulang dan menjalankan rencananya.
"Ren ...." suara Arisa lirih terdengar.
Setelah beberapa waktu menunggu Arisa akhirnya pulang. Arisa tampak terkejut karena Ren gelisah dan mondar-mandir di depan pintu gerbang rumah Arisa.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Ya ampun, kenapa kamu ada di sini?"
Pertanyaan bertubi-tubi dilayangkan oleh Arisa. Tapi, Ren yang masih gemtar ketakutan itu hanya bisa menatap sendu ke arah Arisa. Tatapan yang seolah tak bisa Ren ucapkan dengan mudah.
"Apa kamu menungguku?"
Anggukan dari Ren pun menjawab pertanyaan Arisa. Tanpa kata dan hanya bersisa tatapan mata yang sedih.
Arisa sejujrunya bertanya-tanya, ia juga menduga-duga apa yang mungkin sedang terjadi, tapi sungguh Arisa tidak bisa mengerti kenapa Ren ada di rumahnya saat ini. Padahal, Arisa tahu jika seharian Ren pasti kelelahan. Ia berburu hari ini, dan tadi mereka juga sempat berpadu kasih sesaat. Lantas, kali ini bukannya Ren pulang ke apartemennya dia malah muncul di rumah Arisa.
Akan tetapi di saat Arisa menatap ke arah Ren yang sudah terlihat begitu menyedihkan. Arisa pun akhirnya hanya bisa sesegera mungkin untuk mempersilahkan Ren masuk ke rumahnya.
"Sudah masuk dulu.. Kita bicara di dalam saja!"
Tanpa menunggu jawaban dari Ren, Arisa langsung menarik tubuh Ren ke dalam rumahnya.
Jujur, Ren tadi sempat berharap jika Arisa pulang di antar oleh Jimmy dan ia ingin berakting saat melihat kedekatan mereka berdua. Namun, siapa sangka jika Arisa justru pulang dengan mengendarai taksi. Sehingga Ren tidak punya alasan atau kesempatan yang tepat untuk bertanya tentang Jimmy pada Arisa.
Walau hal itu terjadi, Ren tidak goyah pada rencananya. Ia yakin pada keputusannya itu. Jika memang Jimmy terus mencari Arisa, Ren pun yakin jika suatu saat nanti Jimmy akan kembali dan mencari Arisa.
"Dari beberapa kali Jimmy mencoba mendekati Arisa, aku yakin pasti akan ada satu kesempatan untukku."
Ren meyakini hal tersebut, ia mempercayai keberuntungannya. Ia yakin bila suatu saat nanti usahanya akan membuahkan hasil. Justru yang terpenting dari rencananya itu adalah Arisa. Ren ingin memastikan dulu Arisa benar-benar menjadi miliknya. Memastikan jika Arisa juga akan mempertahankan Ren di sisinya. Dengan kata lain, Ren menunggu sampai Arisa sendiri yang menceritakan tentang Jimmy.
Oleh sebab itu, kali ini Ren bertindak serius dengan perbuatannya. Ia harus bisa benar-benar menaklukan Arisa.