Tangan gemetar Ren yang dingin itu memegang erat Arisa. Suaranya parau dan hanya menyebutkan nama Arisa berulang kali.
"Arisa ..."
Suara parau itu tak henti memanggil nama Arisa. Jujur, Arisa sedikit bingung dengan kehadiran Ren yang tiba-tiba. Tapi, melihat reaksi dari Ren yang terlihat begitu menyedihkan malah semakin membuat Arisa penasaran.
"Sebenarnya kamu kenapa?"
"Kenapa kamu malah ke rumah dengan tubuhmu yang seperti ini?"
Pertanyaan kembali Arisa lontarkan untuk Ren secara bertubi-tubi dan Ren tak melakukan hal lain selain mendekati Arisa dan memeluk tubuh mungil itu dengan erat.
Faktanya tubuh Ren tak bisa berhenti gemetar. Ia masih terngiang dengan sosok mayat yang mungkin saat ini sudah di kubur oleh Jimmy dan Airsa. Namun, hal itu malah membuat Ren memiliki kesempatan untuk bisa mendekati Arisa. Ren tentu tidak akan mengakui hal itu. Ia akan mengambil kesempatannya dan menjalankan tujuan awalnya.
"Kenapa?"
Arisa bingung dengan pertanyaan yang dibalikkan oleh Ren tersebut. Matanya membulat menatap lurus ke arah Ren dengan teguh.
"Kenapa kamu pergi meninggalkan aku?"
"Kenapa kamu berbohong padaku?"
"Aku kira kamu akan pulang. Tapi, kamu bahkan tidak ada di rumah?"
Suara parau itu kian bergetar dan nyaris tak mengeluarkan suara, hanya bisikan samar yang semakin menusuk ke hati.
"Jangan tanya aku, aku datang justru karena kamu!"
"Jawab aku Arisa?"
"Kenapa?"
Arisa hanya terdiam, baru kali ini ia melihat sosok Ren yang sangat tidak terkendali. Kacau dengan tubuh yang juga terlihat begitu menyedihkan.
"Ma-maksudmu?"
Tidak yakin dengan pendapatnya Arisa pun bertanya kembali. Tapi, ekspresi Ren malah terlihat sangat tidak senang.
"Ah... Arisa, kenapa kamu tidak mengerti juga?"
"Kenapa masih tidak faham juga?"
"Berapa banyak lagi kata 'kenapa' yang harus aku utarakan sampai kamu benar-benar faham Arisa?"
Tampaknya Ren sudah pada batas kesabarannya. Ia memeluk Arisa semakin erat.
"Apa aku tidak ada artinya selain sebagai umpan buruanmu Arisa?"
Seketika itu Arisa terdiam. Ia tidak menyangka dengan apa yang Ren ucapkan. Hatinya ikut sakit saat mendengar hal tersebut. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari bibir merahnya itu.
"Kamu melupakan aku tepat setelah kamu mendapatkan buruanmu."
"Lalu di saat aku hendak menyerahkan segala yang aku miliki hanya untukmu. Kamu pergi begitu saja meninggalkan aku."
Sesak memenuhi hati Arisa dan Ren juga tampak tak ingin berhenti dari segala curahan hatinya.
"Kenapa kamu melakukan ini padaku Arisa?"
Tak terlihat ragu Ren pun akhirnya meraih pundak Arisa dan sedikit menggoyangkan bahu tersebut dengan kuat, hanya untuk mempertanyakan apa yang terjadi.
Puuuuk...
Ren merebahkan kepalanya di pundak Arisa dengan putus asa. Ia tak mengeluarkan sedikit pun suara lagi. Seolah seluruh harapannya pudar.
"Padahal aku sangat mencintaimu Arisa!" seruan itu terdengar sangat putus asa. Samar bersama hembusan angin pagi yang ikut menusuk ke kulit. Terasa dingin hingga ke tulang dan menyesap jauh hingga membuat tubuh kaku.
"Ren ...."
Suara Arisa samar terdengar, lirih memanggil nama Ren. Namun Ren masih diam tak menjawab apapun seolah menanti sentuhan hati yang akan membelai jiwanya.
Entah apa yang membuat mulut Arisa kelu dan tak bisa bersuara. Bahkan di saat ia memanggil nama Ren suaranya seakan tercekat, tenggorokannya mendadak kering da ikut serak meski sebelumnya baik-baik saja.
"Ren ..." sekali lagi Arisa memanggil nama Ren dengan suara seraknya yang lirih.
Ren hanya diam, ia tidak menjawab sapaan tersebut. Tubuh gemetarnya masih tidak terkendali, kepala yang ia tenggelamkan dalam bahu Arisa masih melekat pada tubuh wanita itu.
"Huuuuuft ..."
Hembusan napas berhembus dari Ren, membelai leher Arisa yang kaku. Ren mengangkat kembali kepalanya, ia tertunduk dengan dalam dan tak melihat sedikit pun ke arah Arisa.
"Maaf!" kata Ren yang langsung berbalik arah dan meninggalkan Arisa yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Saat pintu rumah itu terbuka, angin dingin pagi hari menerobbos masuk menerpa wajah Arisa yang sudah kaku, pintu yang seakan melahap habis tubuh Ren dan tertelan bersama tertutupnya pintu tersebut.
Tepat di saat pintu tertutup, Arisa merasakan kehampaan yang menyelimutinya. Ia tidak mengerti apa itu , ia tidak mengerti kenapa perasaannya bisa sangat kacau, atau apa yang membuat sosok Ren bisa begitu mempengaruhi perasaannya.
Akan tetapi, perlahan Arisa mulai menyadari yang sebenarnya. Perasaan yang kerap mengusik dirinya dan membuat Arisa semakin tidak bisa melepas Ren sama sekali.
"Ren, aku mencintai kamu Ren. Dia.. Dia pasti sedang kecewa padaku!"
Sesal itu terus bertambah seiring dengan segala kenangan yang terus berputar.
"Tidak, tidak.. Aku tidak berniat menganggapnya hanya sebagai alat buruan!"
Kepanikan mulai menjalar dari Arisa, ia pun menyegerakan langkah kakinya, tergopoh-gopoh untuk menyusul Ren yang sudah keluar dari tadi.
"Ren ..."
"Ren ..."
Teriakan itu terus menggema, berulang kali. Namun, tak ada satu pun jawaban dari Ren.
Tanpa alas kaki dan hanya terfokus pada pintu gerbang pagar rumahnya, Arisa menatap hampa sosok Ren yang sudah lenyap. Hanya menyisakan satu per satu kendaraan yang berlalu lalang di sana.
Rasa hampa itu kembali dirasakan oleh Arisa. Sesal terus menebal dan hatinya ikut remuk akan hal tersebut.
"Tidak, Ren.. Aku tidak bermaksud seperti itu."
Air mata jatuh tak terbendung. Air mata yang rasanya mustahil menetes dari Arisa itu benar-benar mengalir dengan deras.
Sungguh, Arisa tidak pernah berniat menjadikan Ren sebagai alat buruannya. Ia memang harus mencari darah segar manusia, ia bersenang-senang dengan buruan yang Ren dapatkan dengan begitu mudah. Bahkan semalam, Arisa cukup sadar jika tubuh Ren yang indah itu seharusnya tak disentuh oleh wanita lain. Arisa menyadari rasa cemburu akan tubuh Ren yang tersentuh oleh jejak wanita lain. Ia mulai ingin memiliki Ren seutuhnya. Ia memang menginginkan sosok Ren yang hanya akan terus melihat padanya.
Oleh sebab itu, ide gila itu muncul. Ide di mana Arisa meminta Ren menjadikan orang-orang yang menerima paket antarnya sebagai korban buruan. Tanpa harus susah payah memancing mereka.
"Apa karena itu?"
"Apa Ren benar-benar menganggap jika dirinya hanya aku manfaatkan saja?"
"Ren marah karena itu?"
"Apa lagi aku dengan mudah meninggalkannya tadi malam. Dia pasti merasa jika dirinya tidak berarti apapun untukku."
Arisa histeris dengan pikirannya. Ia tidak menyangka sesuatu yang ia anggap remeh itu jika dipikirkan kembali benar-benar terasa sangat menyakitkan.
Merasa jika Ren tidak akan meninggalkan dirinya, Arisa tidak pernah berpikir seperti apa perasaan yang melanda Ren selama ini. Ia terlalu fokus pada yang lain sehingga tidak memerhatikan perasaan dari Ren.
Bukan hanya penyesalan, kali ini Arisa benar-benar terluka. Hatinya remuk dan hancur hanya dengan bayangan punggung Ren yang semakin samar. Bahkan tubuh gemetar Ren saja masih menjadi pertanyaan sendiri oleh Arisa. Tubuh yang seolah tidak bisa berbohong yang membuatnya menahan gejolak emosi pada tubuh Ren. Kala Ren yang mungkin saat ini sangat ingin berontak akan sikap yang Arisa tunjukkan kepadanya.
"Tidak, Ren.. Maafkan aku.."
Arisa yang panik itu langsung mengambil ponselnya. Mencoba menghubungi Ren secepat mungkin. Ia ingin memeluk pria itu, memohon maaf padanya dan merangkulnya erat.
Akan tetapi, saat telepon Arisa terhubung. Suara ponsel yang nyaring dan familiar itu terdengar di sekitar halaman rumah Arisa.
"Ini, suara ponsel Ren?"
Penuh tanda tanya, Arisa pun mulai menggerakkan kakinya yang lunglai. Mencari arah sumber suara dari ponsel tersebut. Ia berharap jika Ren masih ada di sana.
"Reeeeen ..."
Suara itu parau, saat melihat ponsel yang sudah retak dengan bercak sebelah sepatu yang terlepas. Sepatu yang juga familiar bagi Arisa.
"Ti-tidak Ren!"
Perasaan tidak enak pun muncul. Pasti ada sesuatu yang saat ini sedang terjadi. Tidak mungkin ponsel itu jatuh hanya karena Ren yang lunglai akan patah hati dan kecewanya.
"Pasti ada hal yang lain yang membuat ini terjadi!"
Arisa yakin dengan pendapatnya. Secepat kilat, ia berlari mencari jejak Ren. Mencari sedikit bayangan tubuhnya. Lalu, siapa sangka. Arisa samar mendengar suara berat Ren dari keajuhan. Itu pun setelah Arisa menggunakan kemampuan vampirnya.
"HHHHmmmp... hmmmp..."
Suara yang Arisa yakini berasal dari Ren. Ia pun bergegas dan mencari sumber suara itu. Lalu, pandangan Arisa terfokus pada mobil Van yang terparkir tak jauh dari rumah Arisa.
Sebuah kaki tiba-tiba menyembul dari balik kaca mobil yang pecah. Hanya sebelah kaki saja dan tak lama kaki dengan sepatu lengkap pun menyembul. Sepatu yang jelas adalah pasangan dari sepatu yang saat ini Arisa pegang. Sepatu milik Ren.
Kaki itu terus menendang keluar. Di dalam mobil dengan kaca gelap itu terlihat Ren yang di bekap oleh beberapa orang, dengan Ren yang terus berontak.
"Oh Tidak!"
Arisa sudah menyadari keberadaan Ren yang ada di mobil tersebut. Ia langsung berlari kencang menyeberangi jalan menuju ke mobil tersebut. Namun, mobil yang memang sudah bersiap untuk melaju itu pun benar-benar sudah jalan, tepat saat ia memastikan Ren sudah tidak berontak lagi atau di saat mereka yang berhasil melumpuhkan Ren.