2 Terkejut

1091 Kata
Veli duduk di dalam taxi dengan gelisah. Ia terus menatap layar ponsel yang terdapat dua pesan singkat dari nomer yang tidak ia kenal. Telapak tangannya kini mulai berkeringat. Veli, terus membolak balikan ponsel yang kini ia simpan di atas paha, mengelap basah keringat yang berasal dari tangannya. Saat ini ia sangat gugup. Rasa gugupnya bercampur dengan rasa sakit yang perlahan muncul dari dalam hatinya. Entah isi dari pesan singkat ini benar atau tidak, tapi yang jelas, saat ini Veli merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Ia tidak sabar ingin segera sampai di sana dan memastikan dengan mata kepalanya sendiri tentang kebenaran dari isi pesan tersebut. "Pak, bisa lebih cepat?" "Baik, Nona!" Mobil melaju dengan kencang di jalan raya yang tidak terlalu ramai. Hawa dingin dari AC mobil sungguh tidak terasa, Veli tetap merasa kepanasan dan keringat dari dahi masih bercucuran. Kecemasannya semakin meningkat ketika dari kejauhan Veli melihat sebuah gedung bertingkat dengan tulisan besar berwarna kuning keemasan, ada di depan matanya. 'HOTEL WINS' Ya, itu adalah hotel milik ayah Fabian. Veli tahu itu! 'Apa benar Fabian berada di salah satu kamar itu?' Veli menatap salah satu kaca jendela yang berbentuk persegi, di atas sana. Hatinya merasakan sakit bagai diiris dengan pisau. Ketika mobil berhenti di halaman hotel, Veli segera turun dan membayar. Dengan langkah besar ia berjalan masuk ke dalam gedung hotel, mencari sebuah lift di sana. Di dalam lift, dengan tangan bergetar, Veli mulai menekan angka yang sesuai dengan isi pesan singkat dari ponselnya. * Di sisi lain, Fabian dan Naila berada di sebuah kamar hotel mewah yang didominasi warna emas, dilengkapi dengan furnitur premium. Di dalam kamar terdapat dua zona yang memisahkan area istirahat dan hiburan. Kamar tidur utama memiliki kasur super besar yang dibalut seprai berbahan sutra, serta bantal Nancy Corzine edisi terbatas dan barang-barang dekoratif karya Jay Strong. Fabian yang baru keluar dari dalam kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih di pinggang, menatap penuh tanya kepada wanita yang baru berjalan masuk ke dalam kamar dengan menggunakan jubah mandi berwarna merah terang. "Naila, kau dari mana? Apa ada sesuatu?" Fabian menatap Naila, yang kini terlihat sedikit gugup. 'Mengapa dia gugup? Apa dia gugup karena kita akan memulainya? Apa ini pertama kali untuknya?' Fabian bertanya dalam hati. Tidak ingin membut Fabian curiga, Naila segera mendekat. Ia memeluk Fabian untuk mengalihkan perhatiannya. "Tidak! Aku tadi hanya melihat setiap sudut kamar ini. Memang sungguh kamar yang mewah!" Naila mendongakan kepala menatap Fabian. Fabian menunduk, ia tersenyum, "Ya, aku sengaja memilih kamar terbaik untuk kita, malam ini!" Fabian mengangkat tubuh Naila, membawanya sampai ke atas tempat tidur. Ia membaringkannya di sana. Fabian menatap Naila dari dekat, ada keraguan yang melintas dipikirannya. Terasa Naila merangkul lehernya, menariknya masuk ke dalam pelukannya. Terdengar Naila berbisik di telinganya, "Apa kau pernah mengajak Veli ke kamar ini juga?" Mendengar nama Veli disebut, Fabian merasakan dadanya sesak dan ada rasa sakit di sana. Seolah ada penyumbatan di dalamnya, ia merasa sulit untuk bernafas. Ia diam sejenak, menarik nafas untuk mengontrol emosinya, kemudian ia menjawab, "Tidak!" "Apa? Tidak?" Naila tertawa kecil penuh ejekan. "Seorang Fabian Kavindra tidak pernah mengajak kekasihnya sendiri ke kamar hotel? Aku tidak percaya!" "Ya, tidak! Hanya malam ini aku membawa seorang wanita ke sini, dan itu adalah kau!" Jawabannya membuat Naila tersenyum dengan bangga. Naila bertanya, "Waw ... berarti, aku termasuk wanita yang beruntung?" Fabian mengangkat kedua bahunya, "Mungkin!" "Baiklah! Sebagai gantinya, malam ini aku akan memuaskanmu!" Naila memeluknya dengan erat, hingga Fabian berada di atas tubuhnya dan menekannya. Mendengar hal itu, Fabian kembali bersemangat. Rasa ragunya kini menghilang entah kemana. Ketika Fabian akan membuka penutup di pinggangnya, terdengar suara pintu yang terbuka dengan keras, diiringi suara teriakan yang begitu tidak asing di telinganya. "Fabian Kavindra! b******k! Apa yang kau lakukan?" Suara teriakan itu sontak membuat Naila dan Fabian terkejut. Fabian segera bangun dan memutar badan untuk melihat. Ia semakin terkejut ketika matanya menangap sosok wanita yang berdiri di ambang pintu penuh dengan kemarahan menatapnya. "Vel-veli? Se-sedang apa kau di sini? Bagaimana kau bisa masuk?" Fabian sungguh merasa aneh. 'Mengapa Veli bisa masuk semudah ini.? Darimana dia mendapatkan kunci kamar?' "Bagaimana aku bisa masuk?" Veli mengangkat sudut mulutnya penuh ejekan, "Apa kau tidak ingin bertanya, bagaimana aku bisa sampai di sini?" Fabian masih diam di tempat, merasa terkejut dengan kedatangan Veli ke dalam kamar. Naila yang berada di atas tempat tidur, perlahan menggeser tubuhnya untuk turun dari sana. Ia tidak ingin terlibat dalam pertengkaran mereka. Ia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, dan mengunci diri di sana. Veli sekilas menatap kepergian Naila. Hatinya merasakan sakit yang teramat besar. Apalagi dirinya saat ini melihat Fabian yang hanya mengenakan sehelai handuk di pinggangnya. Mungkin jika dirinya terlambat 20 menit saja, dirinya akan menyaksikan Fabian yang sedang berolah raga malam bersama dengan Naila di kamar ini. Memikirkan hal itu, Veli merasakan sesak di d**a. Perlahan air mata menetes bagai rangkaian mutiara yang terlepas dari tali, tidak bisa di tahan ataupun dikendalikan. Fabian segera tersadar dari rasa terkejutnya ketika melihat wanita yang berada di depannya menangis dengan sedih. ia berjakan menghampiri Veli, meraih tangannya, dan segera memeluknya. "Veli, aku minta maaf!" Suaranya bergetar, penuh rasa bersalah. Tiba-tba Veli mendorong tubuh Fabian, ia melayangkan satu samparan tepat di pipinya. Plak .... Veli bertanya dengan penuh kemarahan, "Maaf? Apa semudah itu mengucapkan kata maaf? Hah?" Air matanya masih berlinang. Nafasnya semakin memburu, menahan setiap rasa marah dan sakit dari dalam hatinya. Tidak menyangka, Fabian akan melakukan hal ini di belakangnya. Merasakan satu tamparan dari Veli, Fabian tidak merasa direndahkan. Dirinya memang pantas mendapat satu tamparan darinya. Mungkin sepuluh tamparan pun tidak bisa mengganti kesakitan Veli karenanya. "Veli, aku sungguh minta maaf! Aku salah, aku minta maaf!" Fabian menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Veli. Ia menunjuk pipinya sendiri, "Tampar, tampar aku lagi sampai kau lelah. Aku tidak akan melawan. Aku memang pantas mendapatkannya." Veli melihat sebuah pipi ada di depan matanya, ia segera memalingkan muka ke sisi lain. Tiba-tiba ia melihat sebuah kantong besar berwarna hitam di pojok ruangan. Ada nama besar di depan kantong itu Teg .... Hatinya kembali merasa ada yang mencubit. Tanpa pikir panjang, Veli segera meraih kantong itu, ia membuka isi di dalamnya. Ada sebuah tas baru di sana. Sebagai wanita ia tahu itu merek apa dan semahal apa harganya. Veli mengambilnya, tanpa aba-aba ia segera melayangkan pukulan ke tubuh polos Fabian menggunakan kantong itu. Tak ... tak ... tak. Fabian menerima pukulan dari Veli. Diiringi suara teriakan, "Dasar b******k! Kau pantas mati ... kau pantas matiiii, Fabian!" Fabian merasakan pukulan demi pukulan terus mendarat di tubuhnya. Ia tidak menolak ataupun menghalangi Veli. Karena dirinya pantas mendapatkan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN