(01) Mommy nggak bangga sama Varo?

1066 Kata
"Kamu tuh gimana sih? Kenapa kamu tolak gitu aja tawarannya? Kamu udah nggak mau uang? Udah ngerasa kaya, huh?" Heldan—Daddy Alvaro mengusap wajahnya dengan sangat kasar. Dari kantor hingga rumah, istrinya itu terus saja marah-marah. Mengomel sepanjang jalan membuat telinga Heldan terasa pengang. "Mas, kalau kamu nggak niat ikut rapat tadi, harusnya kamu bilang ke aku, biar aku aja yang gantiin. Kalau kamu capek bilang, jangan malah asal mutusin sepihak seenaknya kayak tadi. Rugi besar tau nggak?! Kalau Papa tau, aku yakin dia bakal marah sama kamu!" "Stop Alice!" bentak Heldan berbadik badan. "Lo bisa diem nggak, sih? Pusing kepala gue denger mulut lo ngoceh terus dari tadi. Iya gue tau gue salah, gue minta maaf, tapi yaudah sih, toh, masih ada yang lain. Ribet amat," cerca Heldan yang menurut Alice—Mommy Alvaro sekaligus istrinya itu terkesan meremehkan. Alice malah semakin mendelik tajam sekarang hingga telunjuknya dengan sangat enteng menoyor kepala Heldan begitu saja. "Yaudah yaudah, jangan ngentengin kamu!" "Berisik!" "Hei, mau ke mana?!" panggil Alice ketika sumianya beranjak pergi. Wanita berparas cantik dengan tampilan sangat modis itu mengikuti dari belakang. "Kamu selalu lari dari masalah. Berhenti Heldan!" "Heldan!" Panggilan Alice sama sekali tidak dihiraukan. Peduli apa? Heldan lelah dengan istrinya itu. Kalau bukan karena tuntutan masing-masing orangtuanya dulu, sungguh, Heldan sangat tidak ingin menikah dengan wanita cerewet, keras kepala, seperti Alice. "Heldan, sumpah ya aku bakal ngadu ke Mama sama Papa kalau kamu main asal pergi seenaknya habis buat kesalahan! HELDAN!" Alice berhenti mengejar Heldan. Suaminya itu sudah pergi melaju dengan mobilnya entah akan ke mana. Napas Alice memburu, tangan lentik wanita cantik itu mengepal. Heldan memang sangat menyebalkan, kenapa dulu Alice harus terima saat dinikahkan dengannya? Alice menyesal sekarang. "Awas aja lo Heldan!" umpatanya memilih kembali masuk ke dalam rumah megah nan mewah bergaya Eropa tersebut. Di sisi lain, seorang anak laki-laki baru saja terbangun dari tidur siangnya saat mendengar suara tidak asing masuk ke dalam indera pendengarannya. Anak itu mengerang sebentar sambil mencari sisa-sisa kesadaran. Setelahnya dia langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersila dengan tangan yang senantiasa mengucak mata. "Mommy pulang ya?" gumamnya masih belum sepenuhnya sadar. Sampai ketika mata sayunya berhasil menangkap piala yang baru saja dia peroleh hari itu, Alvaro segera bangkit. Dengan sangat bersemangat Alvaro menyabet piala serta piagamnya. Anak itu begitu antusias saat akan menunjukkan semua yang dia dapat kepada sang Ibu. "MOMMY!" teriak Alvaro sembari menuruni anak tangga. Alice yang sedang membaca majalah di depan televisi pun menghela berat. Anak itu lagi, dia muak dengan bocah itu. "Mommy baru pulang?" tanya Alvaro masih dengan raut wajah riangnya. Senyum lebar itu mengembang sempurna, sangat indah kala dipadukan dengan wajahnya yang begitu tampan. "Menurut kamu?" Alice balik tanya tanpa melihat ke arah buah hatinya. Hati Alvaro rasanya sedikit mencelos, semangatnya jadi berkurang karena balasan yang Alice berikan. Namun, Alvaro tetap bersikap seperti semula, dia tetap tersenyum. "Mom, lihat aku bawa apa?" ujarnya mengangkat piala yang berada di tangannya. Harapan besar Alvaro taruh untuk Mommynya. Alice hanya mendengus dan mengubah posisinya jadi duduk tegak menatap Alvaro datar. "Mommy udah lihat, terus kenapa? Udah sana, jangan ganggu Mommy istirahat." Kini senyum Alvaro telah benar-benar luntur. Bahunya merosot kecewa. Kenapa Mommynya malah seperti itu? Kenapa tidak ada kata selamat untuk Alvaro. "Nungguin apalagi Varo? Udah sana, Mommy udah lihat kan? Mau apa lagi sekarang?" Alice malah membentak Alvaro yang nyalinya jadi semakin ciut. Manik indah itu sontak berkaca-kaca. "Mommy kenapa nggak bilang selamat buat Varo? Varo berhasil menang lomba melukis loh Mom, mewakili kelas." Alice tersenyum miring. Hanya mewakili kelas, apa yang perlu dibanggakan? "Yaudah, selamat," ucap Alice asal-asalan tidak niat. Meski begitu, Alvaro tetap berusaha menerimanya. Dia kembali tersenyum meski tak selebar tadi. "Makasih, Mom." "Ya ya ya, udah sana, jangan gangguin Mommy. Mommy lagi capek!" Tanpa menunggu apa-apa lagi, usai mengatakan itu, Alice langsung beranjak dari duduknya. Wanita itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Alvaro dengan bulir air mata yang mulai mengalir membasahi pipi gembulnya. "Mommy nggak bangga ya sama aku?" cicitnya dengan kepala menunduk. Bahunya perlahan bergetar sampai tangisnya pecah. Bocah itu membungkam mulutnya, tidak mau terdengar isakannya, takut Mommy akan semakin marah kalau dia bersisik. Alhasil, Alvaro menangis dalam diam sembari berjalan gontai menuju kembali ke kamarnya. Alvaro kecewa, jelas sekali kecewa. Ini adalah pertama kalinya Alvaro mendapatkan piala. Alvaro kira, Mommynya akan suka, memeluknya, bilang bangga kepadanya, mencium kepalanya seperti apa yang dilakukan ibu teman-temannya diluar sana, tetapi rupanya tidak. Alvaro tidak sebodoh itu untuk tidak tau arti dari akspresi yang Mommy berikan barusan. Sesampainya di kamar, Alvaro meletakkan kembali pialanya di tempat semula. Anak laki-laki itu menarik napas dalam-dalam supaya tidak menagis lagi. Dia mengusap bekas air matanya dengan punggung tangan. Menatap nanar piala indah itu menurutnya. "Nggak pa-pa, masih banyak hari supaya Mommy lihat aku di sini," ujarnya memberi semangat untuk diri sendiri. Anak sekecil Alvaro, kasihan dia harus merasakan semua itu di usianya yang masih begitu sangat muda. Lantas untuk menghilangkan semua rasa sedihnya, Alvaro berjalan ke pojok kamar. Di sana dia mengambil bola basket miliknya, lalu dengan semangat yang kembali membuncah, Alvaro lari keluar, berteriak memanggil semua pelayan rumahnya. "BIBIII AYO TEMENIN VARO MAIN BOLAAA!" begitu kedengarannya. Suara kencang dan melengking itu, sukses membuat tiga pelayannya datang secara tergesa-gesa ke lapangan luas yang ada di belakang rumah. Ketiganya dengan sangat sabar menemani Alvaro. Mulai dari mengambil bola kalau terlempar terlalu jauh, memberi minum kalau Alvaro haus, bahkan juga membantu mengelap keringat tuan muda itu. Ah, andai saja Alice seperti itu kepada Alvaro, pasti Alvaro akan jadi anak paling beruntung di dunia. Sayangnya, itu hanya bisa terjadi di dalam mimpi indah Alvaro. "Aden, jangan kencang-kencang larinya nanti jatuh!" "Den Varo jangan jauh-jauh, Den!" "Hati-hati Aden, lihat langkahnya jangan sampai jatuh." Teriakan-teriakan itu membuat Alvaro kecil tertawa bebas. Bukannya menuruti ucapan para pelayannya, Alvaro malah semakin menjadi-jadi. Dia semakin berlari kencang, semakin berlari menjauh, yang mana membuat ketiga pelayan itu ketar-ketir sendiri, repot sendiri. Namun meski begitu, mereka merasa senang, karena setidaknya, anak itu dapat tertawa bebas tanpa beban. "BIBIIIII HUAAAAAA!" Atau tidak? Ah, baru sebentar melihatnya tertawa, kini anak itu sudah menagis lagi. Dia baru saja terjerembab, mencium tanah karena tersandung bolanya sendiri. Semua pelayan dibuat panik karena hidung Alvaro berdarah, keduanya siku tangannya terluka, dan bibirnya sobek. Di balik itu, Alice yang mendengar tangisan anaknya, hanya mengintip dari balik tirai jendela kamar. Iya, hanya mengintip lalu menghela dan tidak peduli. Membaca majalah lebih dia pilih ketimbang lari untuk menolong buah hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN