Hari pembagian raport, sekaligus kelulusan bagi murid Sekolah Dasar kelas enam itu akan dilaksanakan hari ini. Serentak di semua wilayah. Harusnya, Alvaro merasa senang akan hal itu, sayangnya, di hari yang menurutnya penting ini, justru orang yang Alvaro harap-harapkan hadir, malah tidak bisa datang untuk menemaninya. Alhasil, terpaksa seperti tahun-tahun sebelumnya, Bi Hanum lah yang menemani Alvaro untuk datang ke sekolah.
"Nggak pa-pa Den, mungkin Mommy sama Daddy-nya Aden emang masih sibuk, masih banyak kerjaan di kantor. Sabar, ya?" ucap Bi Hanum bermaksud menenangkan.
Mendengar itu, Alvaro malah semakin mendekatkan dirinya ke pintu mobil. Pandangannya dia buang keluar jendela. Tangannya terlipat di depan d**a dengan bibir monyong lantaran kesal.
"Sibuk, sibuk, sibuk terus! Kapan mereka pernah nggak sibuk? Dari dulu selalu kerja, kerja, dan kerja! Apa kertas-kertas itu lebih penting dari aku?!" gerutunya.
Bi Hanum mengulas senyum tipis, tangan itu kemudian mengusap lembut surai hitam sedikit kecoklatan milik Alvaro.
"Nanti, pasti mereka akan punya waktu buat Aden."
Alvaro menghela, dia menoleh menatap Bi Hanum dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Tapi nantinya itu kapan, Bi?! Aku udah dua belas tahun, sebentar lagi tiga belas, selama itu Bi, aku nggak pernah bisa dekat sama mereka. Selama itu aku nggak pernah punya waktu sama mereka. Terus aku harus nunggu berapa lama lagi, Bi? Harus berapa lama lagi aku sabar? Aku juga mau kayak temen-temen yang ke sekolah selalu diantar Papanya. Aku mau kayak temen-temen yang kalau ambil raport selalu ditemani Mamanya. Aku mau liburan kayak keluarga temenku yang lain. Aku mau ... aku mau dipeluk, dicium, apa nggak bisa?" Ucapan Alvaro mulai bergetar. Tangis anak laki-laki itu siap untuk pecah.
"Sebenarnya ... aku ini anak mereka apa bukan sih, Bi?"
Hati Bi Hanum, sakit mendengar perkataan seperti itu lolos dari bibir Alvaro. Selama ini, Alvaro selalu tersenyum, tidak pernah banyak minta, tidak pernah menuntut, hingga baru kali ini, Bi Hanum mendengarkannya sendiri, bagaimana Alvaro, mungkin sedang mengeluarkan isi hatinya.
"Aku iri Bi, sama temen-temen aku, hiks ...." Akhirnya tangis Alvaro tumpah. Isakannya terdengar menyakitkan.
"Yang sabar ya, Den." Wanita itu lantas meraih tubuh Alvaro untuk dipeluknya. "Pasti nanti Aden akan bisa kayak teman-teman." Hanya itu yang sanggup Bi Hanum katakan.
"Capek sabar terus Bi, kayaknya mereka emang nggak sayang sama aku."
"Enggak Den, Mommy sama Daddy Aden pasti sayang kok. Cuma, belum ada waktu aja."
Pelukan keduanya kemudian terlepas. Bi Hanum tangkup wajah Alvaro menggunakan kedua tangannya. Bi Hanum juga mengusap air mata yang mengalir di pipi chubby tuan mudanya itu. Sambil tersenyum, Bi Hanum bantu tarik kedua ujung bibir Alvaro, memaksa Alvaro untuk tersenyum juga.
"Jangan sedih ya, Den? Masa mau ambil raport matanya merah habis nangis gini? Nggak malu sama teman-temannya?"
Alvaro lalu mengangguk, dia singkirkan tangan Bu Hanum dari wajahnya. Lalu Alvaro tarik sendiri kedua ujung bibirnya. "Lihat? Udah senyum kan? Udah ganteng kan, Bi?"
"Sip! Itu baru keren!" Bi Hanum acungkan dua jempol untuk Alvaro.
Keduanya lalu sama-sama tertawa. Melupakan haru yang tadi sempat menghampiri. Alvaro yang malang, semoga saja anak itu cepat mendapatkan kebahagiaan sederhana yang dia inginkan.
****
Setibanya di sekolah, dengan langkah riang Alvaro menarik tangan Bi Hanum untuk segera menuju aula di mana raport akan dibagikan. Anak itu terlihat sangat bersemangat, tiap langkahnya selalu diiringi oleh senyum yang indah. Matanya juga jadi menyipit karena silauan cahaya matahari. Pipi gembulnya jadi sedikit pink sebab kulitnya yang putih terkena panas.
"Ayo Bi, buruaaannn!" pekik Alvaro tidak sabaran.
Bi Hanum keteteran sendiri saat harus menyamakan langkahnya dengan Alvaro yang kelewat aktif itu.
"Pelan Den, nanti jatuh."
Bruk!
Benar saja, belum ada semenit mulut Bi Hanum terkatup, majikannya sudah tersungkur saja di lantai.
"Astaga Aden!" Buru-buru Bi Hanum membantu Alvaro berdiri.
Anak laki-laki itu sedikit meringis kesakitan sambil menatap lututnya. Dia baru saja bertabrakan entah dengan siapa, Alvaro belum sempat melihat orangnya. Yang Alvaro tengah perhatikan adalah bagaimana darah segar mengucur dari balik kulit kakinya.
"Sakit Bi," cicit Alvaro mengaduh.
Bi Hanum lantas berjongkok. Pelayan Alvaro memang selalu siaga kapan saja. Seperti saat ini, Bi Hanum telah mempersiapkan segalanya. Dia membuka tasnya lalu mengambil tisu dan air. Bi Hanum bersihkan detik itu juga luka Alvaro.
"Tahan ya, Den."
Alvaro mengangguk, menggigit bibir bagian bawahnya sekuat tenaga.
"Nah, selesai!" Bu Hanum kemudian berdiri, menatap bangga hasil kerjanya. Sebuah plester telah terpasang menutupi luka anak itu.
"Mangkanya, hati-hati lain kali kalau jalan, ya?" ucap Bi Hanum memberi pesan.
"Iya Bi."
Setelah itu, mimik wajah Alvaro berubah datar kala dia melihat siapa yang telah membuatnya terjatuh. Pelaku itu masih berdiri di tempatnya, dia bersedekap d**a menatap Alvaro dengan tidak suka.
"Ngapain masih di sini?!" sentak Alvaro.
"Nungguin kamu lah! Lama, dasar manja, jatuh gitu doang sakit. Aku mau lewat, tapi kamu ngehalangin," balasnya. Anak laki-laki yang satu pantaran dengan Alvaro itu bernama Dewa. Dia yang sering cari masalah dengan Alvaro tidak tau apa alasannya.
"Jalan masih lebar! Kamu nggak punya mata?!" delik Alvaro tak mau kalah.
Bi Hanum cepat menarik Alvaro berharap anak itu mau mengalah, tapi ternyata tak mudah. Alvaro enggan beranjak dari posisinya.
"Kalau mau lewat, ya udah lewat aja. Nih samping aku masih ada jalan," kata Alvaro melirik jalan di sampingnya yang memang masih lega, dan cukup untuk dilewati bahkan sampai dua orang.
Dewa malah menggeleng. "Nggak! Aku maunya kamu minggir. Dasar cengeng!"
"Kok ngeledek?"
"Kenapa? Nggak suka? Mau marah? Mentang-mentang dikawal terus. Jadi cowok kok manja."
Amarah Alvaro langsung menguar begitu saja. Dia tidak suka dibilang cengeng, Alvaro juga tidak suka dibilang manja. Lantas, dia berjalan mendekati Dewa dengan langkah besarnya.
"Aku nggak cengeng! Aku juga nggak manja!" Alvaro tarik kerah baju bagian depan Dewa.
Bi Hanum telah menarik Alvaro, tapi anak majikannya itu terus memberontak.
"Lepas, Bi!" bentak Alvaro kepada Bi Hanum.
"Kamu mau apa? Pukul aku? Ayo pukul sini, aku nggak takut."
Alvaro murka, tanpa banyak bicara lagi, Alvaro lesatkan begitu saja pukulannya. Untuk ukuran anak kecil, pukulan itu memang tidak terlalu kuat, hanya saja cukup untuk membuat pipi cenut-cenut.
"Aden!" pekik Bi Hanum detik saat Alvaro berulah.
"Aden nggak boleh gitu! Ayo ikut Bibi!" Bi Hanum tarik paksa akhirnya dengan sekuat tenaga Alvaro supaya menjauh. Tidak peduli dengan Alvaro yang merengek dan mencak-mencak di tempatnya. Bi Hanum terus menyeretnya hingga sekarang keduanya berada di taman sekolah.
Di sana, Bi Hanum menatap Alvaro dengan tegas.
"Aden nggak boleh kayak gitu. Nggak baik, Den," tutur Bi Hanum mencoba sehalus mungkin agar Alvaro juga tak salah paham.
Bibir Alvaro sudah melengkung ke bawah. Siap-siap untuk menangis lagi.
"Den, nanti Mommy sama Daddy Aden bisa marah kalau Aden kayak gini. Lain kali nggak boleh ya, Den asal pukul kayak tadi?"
"TAPI DEWA YANG CARI GARA-GARA!" teriak Alvaro membantah. "Jalan masih lebar, kenapa Dewa malah nungguin aku? Ngata-ngatain aku? Dia juga yang minta dipukul. Salah aku di mana? Bibi lebih belain Dewa daripada aku? Hiks ... Bibi sama aja kayak Mommy sama Daddy! Nyebelin!"
Bi Hanum melotot seketika saat Alvaro lari menjauh dari hadapannya. Bi Hanum sudah mengejar. Namun, langkah kaki mungil Alvaro lebih gesit sampai-sampai tak tergapai oleh Bi Hanum. Wanita itu pun pasrah, membiarkan Alvaro untuk menenangkan dirinya dulu. Harusnya memang Bi Hanum tak bicara seperti tadi kepada Alvaro. Dari dulu, Alvaro tak pernah dibentak sepertinya barusan. Meski bentakan BI Hanum masih sangat-sangat halus. Anak itu terlalu perasa.