"ALVARO! Ini sudah kedua kalinya dalam satu minggu kamu masuk ruangan saya. Kamu tau tidak, kamu itu masih murid baru, belum ada satu bulan kamu di sekolah ini, kamu sudah pintar membuat masalah. Mau jadi apa kamu? Preman sekolah?"
Alvaro yang menunduk meremas kuat-kuat celana yang dia gunakan. Ternyata semuanya sama saja. Alvaro kira, saat sudah masuk SMA semua akan berubah, ternyata tidak. Seperti sekarang, siapa yang sebenarnya membuat masalah siapa yang dipanggil kepala sekolah?
Alvaro sangat membenci hal ini.
"Kamu dengar saya tidak, Alvaro?" tanya kepala sekolah lagi dengan tegas.
Kepala Alvaro perlahan mengangguk. "Dengar," balasnya lirih.
Kepala sekolah sampai geleng-geleng tidak percaya. Hanya anak ini yang berhasil menyibukkannya dalam seminggu terakhir. Lantas beliau bangkit dari kursinya dan berjalan ke sisi lain ruangan ber-AC tersebut.
Sadar kalau Kepala sekolanya sudah tak ada di hadapannya lagi, Alvaro pun mendongak, melihat dari belakang apa yang Kepala Sekolahnya tengah lakukan.
"Ini ada surat panggilan orangtua lagi buat kamu. Saya harap kali ini mereka dapat datang tanpa diwakilkan seperti kemarin."
Alvaro menatap gamang amplop putih di meja yang diserahkan kepadanya. Bayangkan memberikan itu kepada orangtuanya, Alvaro nunjukin penghargaan saja tidak ada yang peduli.
"Saya sampai tidak habis pikir, apa orangtuamu nggak pernah ngajarin kamu bagaimana cara bersikap yang benar?"
Alvaro terkekeh. "Pertanyaan Ibu salah. Harusnya Ibu bertanya, apakah orangtua saya pernah, mengajari saya?"
"Maksud kamu?"
"Kalau Ibu mau tau, bahkan orangtua saya nggak pernah ngajarin saya apa pun dari kecil. Saya cuma belajar dari pembantu, jadi maaf kalau sikap saya seperti ini," papar Alvaro seketika berhasil membungkam kepala sekolah.
Tatapan mata yang semula tajam, kini menjadi redup.
"Memangnya ... ke mana orangtuamu?" tanya Kepala sekolah berusaha hati-hati.
Alvaro terkekeh sekali lagi disertai gelengan kecil. "Orangtua saya ada, tapi yang saya rasakan adalah mereka udah hilang dari lama."
Mata kepala sekolah Alvaro lantas memicing curiga. "Kamu jangan membuat drama baru ya Alvaro," tekannya takut Alvaro hanya membual untuk dikasihani.
Sayangnya ekspresi dan cara bicara yang Alvaro tunjukkan seperti tak sedang berbohong. "Untuk apa juga saya buat drama baru kalau hidup saya sendiri aja udah banyak drama dengan episode yang selalu menyedihkan. Kalau Ibu anggap saya bohong juga saya nggak masalah, karena mau bicara kayak gimana juga nggak bakal ada yang percaya."
"Orangtuamu yang pengusaha terkenal itu kan? Kamu telah menyertakan profilnya saat pendaftaran, saya cukup tau mereka loh Alvaro."
Anak itu tak menampik apa yang kepala sekolahnya katakan. "Benar Bu, tapi apa yang Ibu lihat hanya profilnya saja, sementara Ibu nggak pernah tau apa isi di dalamnya."
Bungkam, tanpa mampu berkata-kata, itulah definisi kepala sekolah sekarang setelah mendengarkan apa yang anak muridnya baru saja katakan.
Melihat perubahan raut wajah kepala sekolah, Alvaro jadi sadar kalau dirinya sudah terlalu banyak bicara. Dia pun bangkit dari duduknya, tak lupa menggapai apa yang kepala sekolah telah berikan kepadanya. Surat panggilan, Alvaro membawanya.
"Kalau udah nggak ada yang ingin dibicarakan lagi soal kenakalan saya, saya permisi duluan, Bu. Surat panggilannya nanti akan saya coba untuk berikan ke mereka," ucap Alvaro sebelum pergi.
Tak kunjung mendapat balasan, Alvaro dengan senyum terpaksanya kemudian mengangguk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa—wa'alaikumsalam." Baru kepala sekolah menjawab dengan sedikit terbata.
Di depan, Alvaro menarik napasnya dalam-dalam. Usai menutup pintu ruangan, Alvaro menatap datar amplop pada genggamannya. Ini sudah yang dua kali. Benar, kemarin yang datang bukan Mommy-nya, tapi Bi Hanum.
Bukan Mommy Alvaro tidak mau datang, hanya saja Alvaro yang tidak bilang kalau dia dapat peringatan dari sekolah. Pikirnya, untuk apa juga dirinya bilang? Toh, Mommy maupun Daddy-nya tak akan pernah peduli. Yang akan mereka berdua perhatian hanya tentang perusahaan, tentang bisnis, dan saham, sementara anaknya ditelantarkan.
"Kayak t*i!" umpat Alvaro sambil memasukan surat panggilan itu ke dalam saku celananya.
Ketika akan jalan kembali ke kelas, entah sengaja atau tidak, di depan matanya sudah berdiri seseorang dengan gaya songong.
"Mau apa lagi? Nggak capek gangguin gue terus?" tegur Alvaro dengan mimik muka dan suara datar.
"Dapat hukuman apa?" tanya si lawan bicara.
"Kepo!"
"Gue cuma tanya. Salah?"
Alvaro tersenyum miring sembari sedikit membuang muka ke samping. "Mending jangan banyak nanya. Lo sebenarnya puas kan lihat gue kena masalah lagi?"
"Iya, itu lo udah tau, tapi nggak gangguin lo sehari, bisa-bisa badan gue meriang. Gangguin anak pungut kayak lo itu seru tau Alvaro. Gampang emosian, jadi mudah deh buat lo dipanggil kepala sekolah," katanya meledek.
"Dewa, gue nggak tau ya kita sebelumnya ada masalah apa. Ini bener-bener dari SD loh, nggak capek?"
Dewa menggeleng sambil berdekap. "Nggak! Yang ada malah nagih."
"Nagih, nagih, mending benerin otak dulu sana. Miring kayaknya mau lepas, ntar kalo nggak ada otak takutnya lo malah makin g****k. Capek sendiri gue ngeladenin orang stres kayak lo. Udah ah, bye!" Tanpa mempedulikan Dewa lagi, Alvaro langsung beranjak dari tempatnya meninggalkan Dewa begitu saja yang sudah menggeram kesal.
"WOI, DASAR ANAK PUNGUT! ANJING LO, SINI KALAU BERANI?!" teriak Dewa merasa kesal.
Alih-alih menoleh, Alvaro malah menutup kedua telinganya dengan kedua tangan. Jalannya semakin cepat, cukup hari ini dia berurusan dengan Dewa.
"HUUUU DASAR ANAK PUNGUT!"
****
"Surat panggilan lagi, Den? Perasaan dua hari yang lalu Bibi udah datang ke sekolah, ini kok malah dikasih lagi?" tanya Bi Hanum keheranan saat Alvaro yang baru pulang sekolah langsung memberinya surat cinta tersebut.
Alvaro jalan menuju meja makan setelah ambil air dalam kulkas. Dia duduk di atas meja menghadap Bi Hanum.
"Masalahnya beda Bi sama yang kemarin," ujarnya usai meneguk habis air minumnya.
"Aden buat masalah lagi?"
Tanpa pikir panjang Alvaro mengangguk. "Iya."
Bi Hanum menghela napasnya. Diletakkannya surat itu di atas meja. Bi Hanum menatap Alvaro dengan serius. "Kenapa sih Den kok buat masalah terus? Aden kan baru masuk sekolah, masa harus dapat merah lagi, Den?"
"Masalahnya bukan aku Bi yang mulai. Dewa tuh yang cari gara-gara, mancing aku biar mukul dia, eh malah aku yang kena," ujar Alvaro berusaha menjelaskan.
Wanita yang telah enam belas tahun berkerja untuk Alvaro, mengasuh Alvaro dari kecil itu sangat paham dengan kehidupan Alvaro, masalah Alvaro, dan semua tentang Alvaro. Masalah Alvaro dengan cowok bernama Dewa-Dewa itu apalagi, khatam Bi Hanum.
"Sekarang gini, kalau emang Dewa niat mancing, nyari masalah sama Aden, dan Aden tau itu, kenapa nggak menjauh aja?"
"Udah kok," balas Alvaro cepat. "Cuman Dewa aja yang sinting ngintilin aku terus. Tau deh, suka kali dia sama aku," lanjutnya ngasal, tapi memang benar. Dewa yang tidak mau lepas dari Alvaro. Buktinya, dari SD, SMP, hingga sekarang SMA, Dewa selalu mengikuti ke mana Alvaro bersekolah.
Menyebalkan bukan?
"Hush!" Refleks Bi Hanum memukul paha Alvaro membuat tuan mudanya itu meringis. "Sakit, Bi!" adunya.
"Lagian ada-ada saja. Mana ada laki-laki suka sama laki-laki?"
"Ada kok, banyak malah."
"Ck, jadi ke mana-mana kan bahasnya. Intinya Den, kalau ada Dewa yaudah kamu ngejauh aja. Jangan diladenin anaknya, nanti juga capek sendiri."
Alvaro memutar kedua bola matanya malas. Capek memang kalau ngomong sama Bi Hanum. "Tau ah, Bi. Dewa itu gila Bi, mana ada kata capek dalam kamus hidup dia."
"Terus? Mau berantem, musuhan sampai kapan kamu sama Dewa?"
Cowok itu mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Entah, sampai mati kali," jawabnya sambil melompat turun.
Alvaro lalu meraih tasnya yang tadi dia buang sembarangan. Tak mempedulikan apa-apa lagi, Alvaro segera jalan menuju kamar. Badannya cukup lelah hari ini. Alvaro ingin istirahat sebentar.
Sementara Bi Hanum sendiri hanya bisa mengusap d**a, cukup sabar dia dengan Alvaro.